Share

Bab 2 Amplop untuk Kang Surya

"Lauknya hanya dengan ikan, gak apa-apa, Neng?" lanjutku, setelah tadi menggantung ucapan.

"Nggak apa-apa, Bu. Nasi tanpa lauk juga enggak apa-apa, kok." Neng Rahma menjawab cepat pertanyaanku.

Sebagai seorang ibu, hatiku merasakan ada yang tidak beres dengan Neng Rahma.

Aneh. Dia seperti bukan Neng Rahma yang sering aku jumpai. Mata tajam ketika dia melihatku, kini berubah sendu dengan penuh harap dan ratap.

Ada apa sebenarnya dengan Neng Rahma?

"Ya–yasudah, mari, ikut Ibu ke dapur." Aku berucap terbata.

Tanpa berucap lagi, Neng Rahma langsung berdiri dan mengekor di belakangku. Dia aku persilakan duduk di kursi plastik yang menghadap ke meja kayu.

Aku mengambil piring, mengeluarkan gulai ikan hasil tangkapan Kang Surya kemarin malam. Lalapan serta sambal pun turut aku suguhkan pada putri sambungku yang tengah diam seraya menatap makanan di atas meja.

"Dimakan, Neng. Maaf, cuma ada ini di rumah Ibu," kataku.

Neng Rahma mengalihkan pandangannya ke arahku. Matanya berkaca-kaca, lalu mengangguk seraya mengambil nasi beserta lauknya.

Namun, tangannya tak kunjung bergerak menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. Dia justru malah menuangkan air ke dalam gelas, lalu menegaknya hingga tandas.

Aku mencoba menyelami perasaan gadis yang duduk di bangku SMA itu. Aku tersenyum, lalu menepuk pundak Neng Rahma dengan pelan.

"Dimakan, ya Neng? Ibu tinggal ke rumah Mak Nia dulu, gak apa-apa, ya? Mau ambil si dedek," kataku.

Neng Rahma mengangguk dengan seulas senyum. Sepertinya dia memang malu jika aku menungguinya.

Aku keluar dari dapur, membiarkan Neng Rahma menikmati makanan yang aku berikan. Namun, kaki tidak melangkah pergi ke rumah Mak Nia. Sengaja aku berdiri di balik gorden yang terbuka setengah untuk melihat anak sambungku itu.

Kepala aku gelengkan dengan tangan di dada saking tidak percaya dan kagetnya dengan apa yang aku lihat sekarang.

Neng Rahma, dia makan begitu lahap seperti orang yang sangat kelaparan. Sesekali dia terbatuk karena menyuapkan nasi dengan cepat.

Berbagai tanya muncul dalam benakku saat ini. Ke manakah ibunya hingga membiarkan Neng Rahma kelaparan seperti itu?

Apa yang terjadi sebenarnya pada putri sambungku, hingga dia tiba-tiba datang dan minta makan? Hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Seperti merasakan kehadiranku, Neng Rahma menoleh ke arahku berada, dan sesegera mungkin aku lari meninggalkan tempatku tadi.

Aku keluar dari rumah, berjalan cepat menuju rumah Mak Nia seraya terus memikirkan putri dari suamiku itu.

"Sah, mau ke mana?"

"Astaghfirullah!" Aku berseru seraya mengusap dada. Kaget, juga tersadar jika aku telah melewati rumah Mak Nia.

"Kamu ngelamunin apa, Sah?" tanya Mak Nia. "Oh ... pantesan kamu bengong, ada anak itu lagi?" Wanita paruh baya itu kembali berucap dengan pandangan ke rumahku.

"Ah, tidak, Mak. Bukan gara-gara itu, kok." Aku duduk di teras rumah Mak Nia seraya tangan mengambil Saga, putraku.

"Tidak usah menyangkal, Isah. Emak sudah paham betul watak kamu. Kenapa? Dia nyakitin kamu lagi? Hina-hina kamu lagi?"

"Tidak, Mak. Hanya saja ... aku melihat ada yang aneh saja dari dia."

"Aneh? Aneh gimana, Isah?"

"Tidak apa-apa, Mak. Mungkin hanya perasaanku saja," kataku, tidak ingin menjelaskan yang tadi aku lihat di rumah.

Sebelum menceritakan pada orang lain, aku harus menceritakan hal ini kepada Kang Surya terlebih dahulu. Iya, suamiku harus tahu jika ada yang tidak beres dengan putrinya itu.

Saat aku sedang ngobrol dengan Mak Nia, Neng Rahma keluar dari rumahku. Jarak rumahku dan Mak Nia yang dekat, membuatku bisa dengan jelas melihat gadis itu.

"Ibu!"

Aku dipanggilnya.

Seraya menggendong Saga, aku menghampiri Neng Rahma yang sudah turun dari teras rumah. Dia menghampiri sepeda motor matic yang dibelikan Kang Surya, dua tahun yang lalu.

"Sudah makannya, Neng?" Aku berbasa-basi.

"Sudah. Makasih, ya, Bu? Emh ... gulai ikan Ibu, enak. Tadi aku nambah banyak, jadi ... maaf, jika lauk dan nasinya sisa sedikit."

Itu kata terpanjang yang Neng Rahma ucapkan tanpa emosi dan tatapan benci.

Aku terpaku. Merasa tidak percaya dengan apa yang kudengar saat ini. Dia memuji masakanku? Dan dia mengucapkan maaf?

"Bu, boleh minta tolong lagi, gak?"

"Hem? Minta tolong apa, Neng?" tanyaku, menatap sepasang mata berbulu lentik itu.

"Minta tolong ... berikan ini pada Bapak."

"Ini apa, Neng? Tagihan dari sekolah, bukan?" Aku kembali bertanya seraya menatap kertas yang Neng Rahma sodorkan.

"Bukan, Bu. Pokoknya Ibu berikan saja pada Bapak. Jangan dibuka, kalau Bapak gak ada. Aku harus pulang."

Neng Rahma naik ke motornya, siap untuk pergi. Namun, lagi-lagi dia berpesan padaku, mewanti-wanti agar aku menyampaikan amanah darinya.

"Ingat, ya, Bu. Berikan pada Bapak!"

"Iya, Neng," kataku, seraya menatap punggung gadis tujuh belas tahun itu.

Neng Rahma sudah tidak aku lihat lagi. Aku pun masuk ke dalam rumah seraya terus melihat amplop putih yang tadi diberikan Neng Rahma.

Berbagai pertanyaan lagi-lagi muncul. Jika bukan tagihan dari sekolah, lalu apa?

Surat kelulusan?

Masa iya, surat kelulusan menggunakan amplop yang biasa dijual di warung?

Aku terus menatap amplop tersebut dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.

Untuk menghilangkan rasa ingin tahuku, aku menyimpan pemberian Neng Rahma itu di atas tivi. Aku pun membereskan bekas makan Neng Rahma tadi, lalu memandikan Saga dan memberi makan balitaku yang sudah mulai MPASI.

Semakin lama, rasa penasaran semakin menjadi. Aku terus saja bolak-balik memegang amplop itu seraya membayangkan isinya.

Jika dibuka, aku akan menjadi orang yang tidak amanah. Namun, untuk menunggu Kang Surya pulang pun, masih sangat lama.

Aku tidak sabar ingin tahu isinya.

"Buka aja kali, ya? Nanti beli amplop baru seolah-olah aku belum melihat isinya? Duh, penasaran banget," kataku.

Aku yang baru saja duduk di lantai, kembali berdiri dan mengambil amplop yang tadi kusimpan.

Dadaku berdebar, mata melirik ke sana kemari memastikan hanya ada aku dan Saga di rumah ini.

"Astaghfirullahaladzim!!" ujarku lantang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status