Kia turun untuk makan malam. Sepertinya agak terlambat, karena meja sudah dihuni penghuni rumah lain. Ada Evan, Lidia dan sepupunya Lidia.
Saat akan menarik kursi di sudut ujung, yang berseberangan langsung dengan Evan, Kia diinterupsi. Evan memang tidak bicara, tetapi menatapnya terus-menerus. Lurus, ke arah dada.
Ingat kejadian di rumah makan kemarin, Kia dengan sigap menyilangkan lengan di depan dada. "Ada. Aku pakai."
Alis Evan naik satu, pria itu masih tak membuka mulut, tetapi tatapannya sangat mengganggu Kiandra.
"Apanya yang ada, Ki?" tanya Lidia sembari menaruh piring di depan Kia.
Kiandra menggeleng. Ia mengambil piring yang tadi Lidia berikan. "Aku bisa sendiri," ucapnya tak ramah.
Kebiasaan Lidia itu, yang Kia paling tidak suka adalah, selalu bersikap baik. Bagaimana pun Kia berusaha ketus, tak acuh atau sengaja menyebalkan, istri pertama Evan itu tak pernah marah.
Tadi itu, kalau
Kia menatap waspada pada lelaki itu. Apa Damar ingin melakukan pembalasan atas sikapnya pada Lidia?"Sini, aku bantu." Damar mengambil kapas dari tangan kiri Kia. Membasahinya dengan alkohol, lalu menarik lengan kanan gadis itu."Aku bisa sendiri." Kia berusaha menjauhkan lengan."Aku bantu." Damar sedikit melotot. Memaksa, hingga akhirnya gadis di depan tak lagi protes.Ada jeda yang diisi hening sekitar beberapa menit, sampai akhirnya Damar bersuara."Menurut kamu, Lidia itu sok baik?"Kan! Kia sudah menebak. Sepupunya Lidia ini pendendam. Tidak menjawab, Kia meringis sebab Damar sengaja menekan luka."Kamu bisa nolak dengan baik-baik kalau enggak mau dibantu. Kenapa harus ngatain?" Damar meniup luka di siku kanan si gadis.Damar melirik lutut Kia yang juga lecet. Pria itu menarik kaki si gadis, ditaruh di atas paha."Dia keras kepala. Tiap hari ditolak, tiap hari s
"Yang bener dikit, Ki. Apa, sih, yang bisa kamu kerjain dengan benar?" Evan menoleh dengan sorot galak ke belakang. Pada istrinya yang malas-malasan memijat punggung."Ini udah benar, Evan!" Kia menekan kuat di punggung si suami."Yang kuat. Kamu punya banyak tenaga untuk membantah, tapi untuk mijit aja enggak bisa benar."Mengerahkan seluruh tenaga, Kia memicit punggung dan bahu Evan."Yang kuat, Kia!""Ini udah kuat, Evan! Badan kamu aja yang kayak kayu!" Telapak tangan Kia memukul punggung si lelaki.Evan menengok, dahinya berkerut tak senang. "Kamu enggak boleh makan kalau aku enggak puas."Mengancam, mengancam dan mengancam. Hanya itu yang bisa Evan gunakan. Sial sekali Kia harus melalui Sabtu malam begini bersama si lelaki jahat itu.Terpaksa, demi perut yang sudah keroncongan, Kia berusaha memijat punggung dan bahu Evan lagi. Jemarinya sudah terasa kebas dan terlihat memera
Warning! 18+ Kiandra terperanjat. Perempuan itu menengok ke belakang sambil memegangi dada yang berdebar karena terkejut. "Mau ajak makan. Kamu habis mandi?" Dilihatnya Damar mengenakan kaus tanpa lengan dan handuk sebagai bawahan.Damar melirik benda-benda di atas kasur. Ia meneliti wajah Kiandra. "Di rumah ini, memang harus makan malam bareng-bareng, ya?"Damar berjalan menuju sisi kasur yang bersebrangan dengan posisi Kia berdiri. Pria itu membuka kausnya, mengambil gantinya dari tas ransel.Selesai mengenakan pakaian, Damar berbalik. Melempar senyum penuh maksud pada si perempuan yang tengah memasang raut heran."Kenapa? Enggak pernah lihat bekas luka?"Kia menggeleng. "Itu karena apa?" tanyanya tak bisa mengendalikan rasa ingin tahu. Ada bekas luka memanjang di punggung Damar tadi. Ia sempat melihat saat si lelaki berganti pakaian."Berke
Geram sekali, Evan yang tak bisa menahan diri akhirnya menendang pintu di hadapan. Pria itu berteriak memanggil nama perempuan di dalam ruangan."Aku mau tidur, Kia! Buka pintunya!"Ini Minggu. Masih jatah Evan bersama Kia. Pun, Evan sebenarnya hanya ingin tidur. Besok Senin, banyak pekerjaan yang harus diurus, ia perlu menghemat tenaga. Namun, dasarnya Kiandra alergi membuat rumah ini tenang. Perempuan itu malah tak mengizinkan Evan masuk ke kamar itu."Tidur sama Lidia! Aku enggak mau kasih kamu masuk, sebelum kamu setujui aku kerja di rumah makan kamu!"Teriakan dari dalam dibalas pukulan oleh Evan di pintu. Pria itu menarik napas. Merapikan helai rambut yang sudah beberapa kali diacak."Ini rumahku, Kia. Ini kamarku. Buka pintunya, atau kudobrak." Pelan, tetapi penuh ancaman. Evan mendoktrion diri untuk mewujudkan ucapan barusan, jika si istri tetap tak mengalah."Dobrak aja! Uangmu
"Di sini aja, mau?" Evan menunjuk sofa santai. Bibirnya menampilkan seringai sempurna."Orang gila!" Menghentak kaki, Kiandra memukul lengan Evan dengan tangan yang bebas.Evan tergelak saja. Pria itu berjalan, menuntun Kia menuju kamar perempuan itu. Ia bahkan sempat mengejek Kiandra karena terus memukuli punggung dan lengannya. "Katanya enggak mau, tapi dipegang-pegang juga."Kiandra meratapi nasib sembari mengekori langkah Evan menuju kamar. Ia tak tahu apa kesalahan fatal yang sudah diperbuat, hingga harus menanggung hukuman seberat ini, berada dalam jeratan pria seperti Evan.Niatnya ingin mendapatkan sesuatu, malah dipaksa kalah dan harus rela melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Kiandra hampir menangis, saat Evan mengganjal pintu yang dirusak tadi dengan kursi, agar bisa tertutup rapat."Kamu itu laki-laki paling jahat di dunia, Evan! Cuma orang gila yang bisa tahan sama ka
Kiandra adalah orang yang pantang menyerah. Gadis itu keras kepala, jika menyangkut sesuatu yang memang sangat diinginkan.Salah satu bukti, sewaktu ia berusaha menolak dinikahkan dengan Evan. Selain kabur dari rumah, Kiandra juga pernah nekat akan lompat dari atap rumah. Nyaris akan benar-benar melompat, sebelum akhirnya sang ayah memohon sambil menangis.Saat itu, takut menjadi anak durhaka, Kiandra turun dari atap rumah. Namun, dengan beberapa syarat yang harus Evan penuhi agar mereka bisa menikah.Sekarang pun, Kiandra masih tak suka menyerah sebelum mengerahkan segala cara. Pada Evan, ia kembali membuka percakapan soal pekerjaan.Sengaja Kia mendatangi si suami yang sedang santai di ruang tengah sendirian. Meminta diberi satu posisi, berjanji akan membagi gajinya nanti sebesar 20 persen pada Evan."Aku yang gaji kamu, kamu pikir aku bakal senang dapat bagian 20 persen? Yang paling tep
Kiandra memekik, lalu meringis. Perempuan itu berpegangan pada besi tangga untuk bisa berdiri tegak, setelah tadi sempat terpeleset.Ia mengangkat kaki yang tadi salah menapak dan terpleset. Merah terlihat di dekat mata kaki. Sedikit lecet karena sempat bergesekkan dengan pinggiran anak tangga.Mengabaikan rasa sakit itu, Kiandra berjalan tertatih menuju ruang makan. Ia butuh sarapan, sebelum berangkat kerja. Sepatu yang tadi dibawa ditaruh di dekat kursi.Hore. Karena hari ini Kia resmi bekerja di salah satu toko roti milik teman Evan. Tidak serunya, ya, ini. Tidak ada yang membangunkan, Kiandra jadi terlambat bersiap-siap."Kamu kunci kamar, Ki. Jadi, aku enggak bisa masuk." Lidia membantu Kiandra, mengambilkan sarapan."Masih keburu, ya, 'kan? Aku masuk jam sembilan."Lidia melirik jam. Sekarang delapan lebih tiga puluh. "Kamu naik motor aja. Biar bisa cepat." Perempuan itu menaruh sepiring nasi goreng
Tahu jika Kiandra sudah sampai di rumah, Evan yang tadinya sudah berbaring di kamar, keluar dan menemui perempuan itu. Tentu setelah memberi jeda sekitar sepuluh menit.Kia ada di ruang makan. Tengah menikmati semangkuk mi instan. Tanpa diminta, Evan duduk di depan gadis itu."Salah bungkus pesanan pelanggan."Kia yang menyeruput kuah mi berhenti sejenak. Perempuan itu menengok pada orang di hadapan. Apa bosnya melapor langsung pada Evan? Kenapa pria itu bisa tahu jika Kia melakukan kesalahan tadi?"Kamu tahu seberapa penting kepuasan pelanggan di usaha kuliner begini, Ki?" Dagu Evan terangkat. Mata pria itu lurus pada Kia."Tadi lumayan ramai. Aku sempat bingung. Masih belum hapal nama kue dan roti di sana juga."Salah membungkus pesanan pelanggan, itu sepenuhnya bukan kekeliruan Kia. Harusnya bertugas di belakang mesin kasir, tadi itu toko lumayan ramai dan salah satu da