Evan berjalan cepat menuju halaman belakang. Genggaman jemarinya pada pinggir keranjang sampah yang dibawa menguat. Gurat kemarahan tampak di wajahnya yang memang berkarakter tegas."Evan! Kamu mau apakan obat itu?"Pada teriakan sang istri yang berusaha menghentikan langkah, Evan berpura tuli. Ia marah, jika Kia ingin tahu. Dan pada obat yang ada di dalam keranjang sampah, Evan berniat membakarnya."Evan!"Evan membuang isi keranjang sampah ke atas tanah. Tak lama, Irna sang asisten rumah tangga yang diminta membawakan minyak datang."Evan!"Laki-laki itu mengguyurkan minyak tanah tadi ke tumpukan sampah di depannya. Memantik api, lalu membiarkan semua terbakar, termasuk obat yang tadi berusaha Kiandra selamatkan.Nyala api terlihat berkobar di mata lelaki itu saat menatap lurus pada sang istri. Membuang korek dan botol minyak, Evan menyeret Kiandra untuk masuk ke kamar lagi.Eva
"Kamu ... berani membohongiku?" Giginya bergemelatuk. "Kamu lupa aku nikahi untuk apa, Ki?"Dengan sisa keberanian yang ada, Kiandra menatap mata Evan. "Aku ingat. Aku ingat kenapa kamu perlu menjadikanku istri kedua.""Kamu ingat sama kesepakatan kita?"Cukup lama menunggu, Evan tak kunjung mendengar istri keduanya bersuara. Kia malah menunduk, membuatnya semakin geram.Tangan pria itu menarik dagu Kia. Membuat tatapan mereka bertemu. "Satu buah rumah. Uang untuk biaya pernikahan Rina. Uang sekolah Nando sampai lulus SMA. Kamu lupa aku membayar semua itu untuk imbalan supaya kamu memberikan aku satu orang anak?"Kia bungkam. Matanya panas dan memerah."Aku tidur di kamar kamu tiga kali dalam seminggu, selama setahun ini. Aku penasaran kenapa kamu belum juga terlambat datang bulan. Dan ternyata ini? Kamu bohong sama aku, Ki?""Aku enggak mau punya anak.""Kamu minum pil KB t
Evan terkekeh di tengah hujan. Pria itu berdiri di tepi jalan, di dekat sebuah pohon yang lokasinya tak jauh dari kompleks perumahan. Di bawah pohon itu, seorang perempuan tampak berjongkok dan menggigil kedinginan."Kamu baru mau kabur atau lagi mau pulang, Ki?"Evan mengusap wajah yang kuyup. Hujan yang sejak sore mengguyur belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti sepertinya. Pada perempuan pucat di bawah pohon, lelaki itu melempar tatapan menang.Kiandra kabur pukul dua pagi. Lidia sudah menangis-nangis meminta dilaporkan ke polisi, sebab orang tua Kia mengaku tidak didatangi anaknya. Evan menolak melakukan itu. Pria itu menunggu hingga malam dan lihat? Kiandra bisa ia temukan dengan mudah, 'kan?Evan mendekat pada Kia. Ikut berjongkok di depan perempuan itu. "Gimana? Udah kabur-kaburannya?"Kia tak menjawab. Bibir perempuan itu gemetar, seperti seluruh bagian tubuh yang lain. Dia kedinginan dan lemas.
Evan tak pernah merencanakan ingin memiliki dua istri. Satu saja, yang baik seperti Lidia saja, sulit ia rawat. Namun, mau tak keputusan itu harus diambil.Lidia dinyatakan dokter mengalami sedikit gangguan di rahimnya. Wanita itu sulit hamil. Sedangkan Dina, ibunya Evan sudah setiap hari mendesak cucu.Di usia pernikahan yang ketiga, saat usinya sudah 32 tahun, Evan pun akhirnya terpaksa menuruti saran ibunya untuk menikahi perempuan lain. Saat itu, proses bayi tabung yang ia dan Lidia jalani juga belum membuahkan hasil.Sungguh takdir yang kusut, Evan harus dipertemukan dengan Kiandra. Si perempuan keras kepala, banyak mau dan cengeng."Kia belum siap punya anak, itu karena kamu juga selalu dingin sama dia."Suara Lidia membuat Evan membuka kelopak mata. "Jadi, menurut kamu, aku yang salah? Semuanya salah aku?""Bersikap baik sama dia. Buat dia nyaman dan percaya kalau kamu layak dikasih anak
Evan Wijaya. Usia pria itu 33 tahun sekarang. Pendapat Kia tentangnya? Si rupawan yang bajingan.Contoh paling dekat dari sikap bajingannya itu, sekarang. Saat Kia masih ingin merebahkan tubuh di kasur karena memang masih lemas dan sedikit pusing, pria itu malah memaksanya ikut keluar rumah.Di malam hari yang lumayan berangin pula. Seperti sengaja sekali ingin membuat sakitnya makin parah. Katanya, ingin mengajak makan bakso. Namun, malah berhenti di warung nasi goreng.Kesal, Kia membiakan pria itu turun dari mobil dan masuk sendirian ke tempat makan. Sekitar tiga menit berlalu, Kia tertawa kecil saat melihat pria yang berstatus sebagai suaminya itu kembali menghampiri mobil."Kamu beneran sakit? Sempat-sempatnya bikin aku kesal?" Evan bicara tepat di samping Kia. Pria itu melepas seat belt yang masih melilit di tubuh istrinya."Aku enggak lapar. Kalau kamu mau kerepotan ngurusin aku yan
"Di pernikahan ini, bukan cuma kamu yang berkuasa, Evan. Aku butuh uang kamu, tapi kamu juga butuh aku. Kalau kamu enggak bisa berubah, sedikit aja menghargai aku, lupakan niat kamu dapat anak dari aku."Usai mengatakan itu, Kia melompat dari atas mobil. Benar-benar melompat hingga tubuhnya terlempar, berguling dan menghantam entah apa.Perempuan itu meringis setelah tubuh berhenti berguling. Ia bangkit untuk duduk. Sakit. Lutut, lengan, siku, kepala, semuanya. Ia menoleh ke belakang, mobil Evan berhenti.Mengumpulkan tenaga, menghalau semua rasa sakit, Kia berdiri. Meski pergelangan kakinya sakit, perempuan itu berlari menjauh dari sana. Ia tak ingin Evan berhasil mengejar. Kalau pria itu memang berusaha mencarinya.Jalanan malam itu cukup ramai, tetapi lancar. Kiandra yang sudah beberapa menit berlari, memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu trotoar. Evan sudah tak terlihat.
"Ki? Makan siang, yuk? Buka pintunya, aku antar, ya?"Pada Lidia yang mengetuk pintu kamar, Kiandra tak memberikan respon apa pun. Ia masih duduk di lantai dekat tempat tidur.Sejak kemarin, Kia memang tak keluar dari kamar. Masih tidak ingin bertemu si sinting Evan. Dan kesal pada Damar yang ternyata adalah sepupunya Lidia.Ia sudah berharap bisa bebas dari Evan. Menumpang sebentar di rumah saudara Damar, untuk nantinya mencari sumber uang dan bisa mandiri. Sayang, nasih6 terlalu licik mengatur semua ini.Tidak keluar dari kamar, sejak kemarin Kia juga belum makan. Jadi, untuk mengganjal perut sampai entah kapan, Kia memakan biskuit yang memang selalu ada di kamar.Di sela kegiatan itu, ponsel si perempuan bergetar. Ada telepon dari Nando. Cepat-cepat ia terima."Ada apa, Ndo?""Pagi, Kak. Cuma mau kasih tahu. Senin nanti aku ujian. Aku udah dapat kartu ujiannya, loh. Tunggakan sekolah, udah
"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara.Kia mengangguk, meski sempat terlihat akan protes. Materai ditempel, mereka tanda tangan bergantian di atas nama masing-masing.Kia menatapi kertas itu dengan mata berbinar. Akhirnya, setengah dari bebannya lepas. Hanya tinggal tunggu tiga bulan usai efek KB hilang, hamil, melahirkan dan bebas dari Evan. Kia akan bisa memiliki hidupnya sepenuhnya lagi.Tanpa sepengetahuan Kia, Evan sudah berdiri. Pria itu memutari meja, memposisikan diri di samping kursi istrinya.Evan menarik lengan Kia, hingga perempuan itu berdiri. "Kamu naik apa ke sini?" Ia mengancingkan bagian bawah ritsleting jaket abu-abu Kia."Motor." Ki