Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.
“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Dalam sebuah pernikahan hal utama yang diminta adalah sebuah kebahagiaan. Namun apalah daya, jika sebagai seorang istri tugasnya hanya patuh dan taat kepada seorang suami. Bahkan di saat posisi suami yang diharuskan untuk merawat serta serumah dengan ke dua orang tuanya. Istri sekali lagi harus mengekor di bawah titah sang suami. Meski ke dua mertua terlihat baik hati, tapi ada saatnya posisi sebagai menantu tetap tak sesuai di mata mereka, tentu saja seorang menantu harus pandai-pandai memilih sikap. Pada akhirnya kenyamanan seutuhnya tidak akan pernah didapat oleh seorang istri tersebut. Syukur jika dia kuat dan tidak merasa depresi. Lebih baik mengontrak daripada harus serumah dengan mertua. Rasa nyaman belum tentu didapat oleh seorang istri dengan mertua yang tinggal serumah dengannya. *** Tok, tok, tok!
Masakan sudah siap dihidangkan. Jam baru saja menunjukan pukul enam pagi. Kami sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Ibu yang mengatur sarapan kami harus tepat pada waktunya. Padahal jadwalku di rumah dulu sebelum menikah, sarapan jika sudah terasa lapar. Tidak harus dijadwal seperti sekarang ini. Awalnya aku kaget, namun bertambahnya waktu bersama, aku sudah terbiasa dan mulai mamahami.“Fan, ajarkan istrimu untuk bangun pagi. Kamu harus mencontohkan. Harus bangun pagi juga. Paham ‘kan!” ucap beliau setelah selesai makan.Mas Lutfan memandang ke arahku. Aku hanya tersenyum mendengar perintah yang tertitah untuk mas Lutfan dari mulut ibunya sendiri.‘Akhirnya kamu kena tegur juga, Mas,’ batinku.“Bangun jam lima saja, Bu. Kalau setelah adzan subuh masih terlalu pagi, Bu. Masih sangat ngantuk. Ibu tau sendiri ‘kan? Toko tutup jam Sembilan, sampai rumah jam sepuluh malam. Aku masih butuh waktu tidur, Bu.&rd
“Iya Bu, tapi bukan begitu juga caranya. Kasihan Salwa, dia benar-benar nggak suka, Bu. Yang penting piringnya bersih ‘kan? Ya sudah, biar aku saja yang menghabiskan sisanya.”Aku sangat berterima kasih kepada suamiku. Dia selalu mengerti perasaanku. Meski aku jarang memprotes ucapan ibunya, namun dia peka dan selalu membelaku.“Ck! Disuruh belajar kok tidak mau. Anakmu besok pasti akan meniru sikapmu itu.”“Sana Dek, kamu pergi cuci piringnya.” Mas Lutfan akhirnya menyuruhku untuk segera pergi.Aku mematuhi perintahnya. Jujur saja, perasaanku semakin berkecambuk jika masih tetap di hadapan ibu. Beliau berkata tanpa pikir panjang, tanpa menghiraukan perasaan orang yang dikritiknya.“Lutfan, Ibu sedang menasehati istrimu. Kenapa disuruh pergi?”Saat beliau mengatakannya, langkahku semakin jauh meninggalkan meja makan. Dapur tempat mencuci piring memang terpisah dengan meja makan. Jadi, aku
“Mas, kenapa hari ini toko sepi banget nggak kayak biasanya ya?” tanyaku, kami sudah ada di depan rumah.“Masa ramai terus sih, Dek. Ada saatnya toko kita sepi dong.”“Iya Mas, tapi baru kali ini merasakan sepi banget begini ‘kan Mas?”“Udah lah, jangan di pikirin. Kalau laris terus nggak mungkin dong, Dek. Ya, semoga saja besok tokonya ramai.”“Assalamualaikum!” ucap kami di depan pintu. Biasanya pintu sudah dikunci dari dalam. Kami jarang membawa kunci cadangannya.“Ya, waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam kami, langkahnya terdengar mendekat kearah pintu.“Tokonya ramai tidak?” tanya beliau.Sudah menjadi kebiasaan beliau bertanya begitu. Padahal kaki ini belum masuk ke dalam rumah.“Hari ini lumayan sepi, Bu,” jawabku, apa adanya.“Lho? Kok bisa?”“Kita masuk dulu, Bu.” Mas Lutfan m
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan ibu seperti itu.“Wa, kamu masih minum pilnya ‘kan?” Kembali ibu menanyakannya.“Kenapa sih Bu?” Aku bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan anehnya.“Tidak kenapa-kenapa sih, katanya kalian mau memajukan toko kalian dulu. Kata Lutfan kalian mau menunda kehamilan.”Mas Lutfan memang sering bercerita banyak hal kepada ibunya itu. Hal terkecil pun terkadang tak luput diceritakan kepada beliau. Maklum mas Lutfan anak satu-satunya. Sedari kecil mungkin saja sangat dimanja oleh orang tuanya, terutama ibunya. Jadi hubungan mereka menjadi sangat dekat.“Itu Bu, kata mas Lutfan aku nggak boleh lagi minum pilnya. Dia sudah mau punya anak, Bu.” Kukatakan yang sejujurnya kepada beliau.“Ah masa sih? Pasti kamu yang meminta untuk cepat-cepat punya anak ‘kan? Mana mungkin Lutfan yang ngomong begitu. Itu pasti kamu yang memaksanya.”