Masakan sudah siap dihidangkan. Jam baru saja menunjukan pukul enam pagi. Kami sudah duduk rapi di kursi masing-masing. Ibu yang mengatur sarapan kami harus tepat pada waktunya. Padahal jadwalku di rumah dulu sebelum menikah, sarapan jika sudah terasa lapar. Tidak harus dijadwal seperti sekarang ini. Awalnya aku kaget, namun bertambahnya waktu bersama, aku sudah terbiasa dan mulai mamahami.
“Fan, ajarkan istrimu untuk bangun pagi. Kamu harus mencontohkan. Harus bangun pagi juga. Paham ‘kan!” ucap beliau setelah selesai makan.
Mas Lutfan memandang ke arahku. Aku hanya tersenyum mendengar perintah yang tertitah untuk mas Lutfan dari mulut ibunya sendiri.
‘Akhirnya kamu kena tegur juga, Mas,’ batinku.
“Bangun jam lima saja, Bu. Kalau setelah adzan subuh masih terlalu pagi, Bu. Masih sangat ngantuk. Ibu tau sendiri ‘kan? Toko tutup jam Sembilan, sampai rumah jam sepuluh malam. Aku masih butuh waktu tidur, Bu.”
Mas Lutfan beralasan yang sama denganku tadi pagi. Coba kali ini beliau akan mengatakan apa kepada anaknya sendiri. Semoga saja beliau mau mendengarkan pendapat yang diucapkan oleh mas Lutfan.
“Kalian ini janjian atau bagaimana? Tadi Salwa yang berbicara seperti itu. Sekarang giliran kamu, Fan. Ibu hanya ingin kalian belajar disiplin. Susah banget kalian dinasehatin.”
Wah, ternyata ibu merekam ucapanku tadi pagi. Meski usia beliau sudah berkepala lima, namun ingatannya ternyata masih sangat tajam. Pupus sudah harapan kami untuk berleha-leha sekejap saja. Harus menurut perintah ibu bos terhormat. Kembali mata mas Lutfan melihat ke arahku. Aku pura-pura tak melihatnya. Percuma saja aku membantu beragumen, hasilnya pasti tetap sama. Harus menurut perintah ibunya.
“Ya sudah, mulai besok aku bangun pagi, Bu. Ibu nggak usah mengetuk pintu kamar kami. Besok aku pasang alarm saja.”
Pada akhirnya, keputusan yang mulia ibu mertua tidak akan bisa diganggu gugat.
“Bu, jangan begitu dong. Mereka ‘kan sudah dewasa. Sudah punya kehidupan sendiri. Masa Ibu masih mengatur hidup mereka. Kita orang tua, harus menghormati mereka. Meski mereka anak kita, tapi mereka sudah dewasa, Bu. Masa dikira masih seperti bocah sekolah saja, Bu.”
Bapak mertua akhirnya berucap membela kami. Beliau memang mertua yang memahami mantunya, beda jauh dengan istrinya. Selalu saja memaksakan kehendak sendiri kepada kami.
“Bapak kenapa sih? Ibu hanya ingin yang terbaik untuk anak Ibu satu-satunya lho? Ibu ingin Lutfan bisa menjadi imam yang baik untuk Salwa. Wajar dong, dia harus mencontohkan hal apa pun. Meski sepele tetap harus dilakukan. Bapak tidak mau kalau anaknya menjadi seorang yang disiplin?”
“Tapi Bu, mereka sudah dewasa. Tidak usah diatur dalam segala hal. Mereka pasti akan tau dengan sendirinya nanti.”
“Ah Bapak mana tau harus melakukan apa untuk anaknya. Dari dulu Bapak hanya mencari uang. Lutfan selalu bersama Ibu, dia itu anak kita satu-satunya, Pak. Ibu mau yang terbaik buat Lutfan, anakku.”
Ibu mertua memang sangat keras kepala, tidak jauh berbeda dengan mas Lutfan. Sifat buruk itu menurun kepada anak satu-satunya itu.
“Ck, Ibu.”
Bapak mertua sudah tidak bisa lagi menasehati istrinya. Hanya bisa berdecak dengan sikap istrinya yang tak pernah berubah dari dulu.
“Iya, iya. Aku akan menjadi contoh yang baik untuk Salwa, Bu.” Mas Lutfan hanya bisa mengiyakan saja.
Aku membereskan piring kotor yang ada di meja makan. Tugasku selanjutnya adalah mencuci piring kotor bekas sarapan kami.
“Wa, kalau makan yang bersih. Itu piringmu ‘kan? Ibu selalu memperhatikan bekas piringmu. Pasti ada saja yang tidak dimakan olehmu.”
‘Ya ampun, hal sepele seperti itu saja dikomentari sama ibu. Aku nggak suka makan bawang sama cabe, Bu.’ Aku menggerutu di dalam hati.
“Ibu, Salwa memang dari dulu nggak suka makan bawang sama cabe, Bu. Wajarlah kalau piringnya selalu ada sisa yang nggak dimakan sama dia.” Mas Lutfan membelaku.
“Ck, orang tuamu pasti mendidikmu untuk pilih-pilih makanan ya, Wa? Bawang sama cabe enak lho kalau di makan. Coba aja dulu, pasti lama-lama akan suka.”
Perasaanku berantakan saat mendengar komentar beliau. Kenapa harus membawa-bawa orang tuaku segala? Jangan salahkan mereka, aku memang orangnya pilih-pilih makanan sejak aku tau rasa makanan itu enak atau tidak. Semua karena lidahku saja, bukan salah orang tuaku.
“Ibu ….” Bapak mertua memanggil beliau, bermaksud menegur perkataannya.
“Apa sih, Pak? Dari dulu Ibu selalu memperhatikan Salwa makan lho, Pak. Baru hari ini saja Ibu ingin berbicara dan menegurnya. Ibu mau dia membersihkan piringnya. Semua yang ada harus dimakan. Itu bagus ‘kan? Jadi tidak mubadzir.”
Bukannya diam, mulut ibu justru berbicara bertambah menyakitkan.
“Besok harus makan dimakan semuanya ya, Salwa ….”
Beliau mengatakannya, dengan senyum yang manis menurutnya. Namun bagiku,senyuman itu bagaikan racun yang perlahan membunuhku.
“Besok sisa bawang sama cabenya, taruh di piringku saja, Dek. Kasihan kamu.” Mas Lutfan kembali membelaku.
“Lutfan, kamu ini selalu saja membela istrimu. Padahal perkataan Ibu benar lho? Untuk kebaikan Salwa juga ‘kan? Besok kalau punya anak jadinya bisa mencontohkan. Anakmu jadi doyan apa aja, nggak pilih-pilih.”
Seperti biasa, ibu tidak akan semudah itu menerima keputusan dari anaknya.
“Iya Bu, tapi bukan begitu juga caranya. Kasihan Salwa, dia benar-benar nggak suka, Bu. Yang penting piringnya bersih ‘kan? Ya sudah, biar aku saja yang menghabiskan sisanya.”Aku sangat berterima kasih kepada suamiku. Dia selalu mengerti perasaanku. Meski aku jarang memprotes ucapan ibunya, namun dia peka dan selalu membelaku.“Ck! Disuruh belajar kok tidak mau. Anakmu besok pasti akan meniru sikapmu itu.”“Sana Dek, kamu pergi cuci piringnya.” Mas Lutfan akhirnya menyuruhku untuk segera pergi.Aku mematuhi perintahnya. Jujur saja, perasaanku semakin berkecambuk jika masih tetap di hadapan ibu. Beliau berkata tanpa pikir panjang, tanpa menghiraukan perasaan orang yang dikritiknya.“Lutfan, Ibu sedang menasehati istrimu. Kenapa disuruh pergi?”Saat beliau mengatakannya, langkahku semakin jauh meninggalkan meja makan. Dapur tempat mencuci piring memang terpisah dengan meja makan. Jadi, aku
“Mas, kenapa hari ini toko sepi banget nggak kayak biasanya ya?” tanyaku, kami sudah ada di depan rumah.“Masa ramai terus sih, Dek. Ada saatnya toko kita sepi dong.”“Iya Mas, tapi baru kali ini merasakan sepi banget begini ‘kan Mas?”“Udah lah, jangan di pikirin. Kalau laris terus nggak mungkin dong, Dek. Ya, semoga saja besok tokonya ramai.”“Assalamualaikum!” ucap kami di depan pintu. Biasanya pintu sudah dikunci dari dalam. Kami jarang membawa kunci cadangannya.“Ya, waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam kami, langkahnya terdengar mendekat kearah pintu.“Tokonya ramai tidak?” tanya beliau.Sudah menjadi kebiasaan beliau bertanya begitu. Padahal kaki ini belum masuk ke dalam rumah.“Hari ini lumayan sepi, Bu,” jawabku, apa adanya.“Lho? Kok bisa?”“Kita masuk dulu, Bu.” Mas Lutfan m
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan ibu seperti itu.“Wa, kamu masih minum pilnya ‘kan?” Kembali ibu menanyakannya.“Kenapa sih Bu?” Aku bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan anehnya.“Tidak kenapa-kenapa sih, katanya kalian mau memajukan toko kalian dulu. Kata Lutfan kalian mau menunda kehamilan.”Mas Lutfan memang sering bercerita banyak hal kepada ibunya itu. Hal terkecil pun terkadang tak luput diceritakan kepada beliau. Maklum mas Lutfan anak satu-satunya. Sedari kecil mungkin saja sangat dimanja oleh orang tuanya, terutama ibunya. Jadi hubungan mereka menjadi sangat dekat.“Itu Bu, kata mas Lutfan aku nggak boleh lagi minum pilnya. Dia sudah mau punya anak, Bu.” Kukatakan yang sejujurnya kepada beliau.“Ah masa sih? Pasti kamu yang meminta untuk cepat-cepat punya anak ‘kan? Mana mungkin Lutfan yang ngomong begitu. Itu pasti kamu yang memaksanya.”
“Oh ibu, ya benar ini rumah beliau. Anda siapa ya? Ada urusan apa datang kemari?” tanyaku, mencaritahu.“Oh itu Mbak, anu ---““Siapa Wa?”Belum sempat wanita itu menjelaskan siapa dirinya, ibu sudah muncul di belakangku memotong ucapannya.“Ini Bu, ada yang mencari Ibu.”“Siapa?” Beliau melihat ke balik pintu. “Oh, pasti keponakannya bu Susi ‘kan? Ayo masuk.”Ibu menyambutnya dengan wajah bahagia. Sebenarnya siapa wanita muda ini? Kenapa ibu sangat antusias menyambut kedatangannya? Banyak tanda tanya di dalam kepalaku. Namanya saja aku belum mengetahui, tapi ibu langsung membawanya ke dalam rumah dengan sangat akrab. Beliau merangkul pundaknya, membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah ini.“Kenalkan, ini Eliza, dia akan membantu ibu untuk merawat rumah ini.” Ibu mengulas senyum, terlihat seperti seseorang yang sedang sangat bahagia.
“Udah, Mas?” tanyaku ketus.“Ih! Kok jutek gitu sih, Dek?”“Nggak kok.”Mataku masih tak melihat mata milik mas Lutfan. Aku tak mau jika dia tahu aku sedang cemburu padanya. Dia pasti senang melihat istrinya yang sedang cemburu seperti ini.“Tuh ‘kan? Kok aneh gitu sih? Aku nggak lama kok bantu-bantu mereka. Jangan marah dong Sayang ….”Huh! Bukan karena lama atau tidaknya kamu membantu mereka, mas! Tapi aku cemburu kamu dekat-dekat dengan wanita lain. Meski dia hanya pembantu. Batinku meraung-raung karena ketidakpekaan mas Lutfan dengan segala perkiraannya yang salah terhadap tingkahku.“Aku nggak marah kok, Mas.”“Terus kenapa dong, Dek? Oh atau … kamu cemburu ya, Dek? Hehehe.”Tuh ‘kan, apa kataku. Dia pasti bahagia kalau tahu istrinya ini sedang cemburu kepadanya. Akhirnya dia memahami juga apa yang saat ini sedang kurasakan. T
“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”Sa
Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.“Mas …,” panggilku.Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.“Capek gimana, De
“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.