“Udah, Mas?” tanyaku ketus.
“Ih! Kok jutek gitu sih, Dek?”
“Nggak kok.”
Mataku masih tak melihat mata milik mas Lutfan. Aku tak mau jika dia tahu aku sedang cemburu padanya. Dia pasti senang melihat istrinya yang sedang cemburu seperti ini.
“Tuh ‘kan? Kok aneh gitu sih? Aku nggak lama kok bantu-bantu mereka. Jangan marah dong Sayang ….”
Huh! Bukan karena lama atau tidaknya kamu membantu mereka, mas! Tapi aku cemburu kamu dekat-dekat dengan wanita lain. Meski dia hanya pembantu. Batinku meraung-raung karena ketidakpekaan mas Lutfan dengan segala perkiraannya yang salah terhadap tingkahku.
“Aku nggak marah kok, Mas.”
“Terus kenapa dong, Dek? Oh atau … kamu cemburu ya, Dek? Hehehe.”
Tuh ‘kan, apa kataku. Dia pasti bahagia kalau tahu istrinya ini sedang cemburu kepadanya. Akhirnya dia memahami juga apa yang saat ini sedang kurasakan. Tapi itu dia, pasti dia akan selalu tersenyum seperti meledekku karena aku cemburu. Itu yang membuatku merasa bertambah sebal sih.
“Senang ‘kan? Kalau aku cemburu ….”
Aku kembali memalingkan wajahku ke arah lain.
“Senang dong. Tandanya kamu itu benar-benar cinta sama suamimu ini, Dek. Udah-udah … Sayangku yang paling cantik nggak boleh marah dong. Aku nggak akan berpaling kepada siapapun di dunia ini, Dek. Hanya kamu yang ada di hatiku.”
Dia memegang ke dua pipiku dengan tangannya. Begitu lembut sikapnya itu. Seharusnya aku tak harus merasakan kekhawatiran dengan semua prasangkaku. Biarlah jika ibu mertua akrab dengan wanita itu, yang penting mas Lutfan akan tetap setia kepadaku.
“Iya Mas, aku hanya khawatir ada wanita lain di rumah ini.”
“Tenang ya Dek, dia di sini hanya membantu ibu. Nggak mungkin ada hal aneh yang akan terjadi. Yuk, berangkat.”
Kami meninggalkan kamar dan pergi ke garasi tempat mobil terparkir.
“Fan! Tunggu Fan!”
Ibu tiba-tiba datang dari dalam rumah, memanggil mas Lutfan dan mencegah kami saat akan berangkat.
“Ada apa, Bu?”
Kepala mas Latif keluar dari kaca jendela pintu mobil yang dia buka kembali.
“Bawa ini. Taruh di dalam laci meja tokomu.”
Beliau menyerahkan dompet entah apa isi di dalamnya.
“Apa ini, Bu?” tanya mas Lutfan penasaran.
“Udah sana berangkat, jangan dibuka ya? Taruh aja di dalam laci.”
Mas Lutfan mengernyitkan dahinya. Mungkin dia bingung dengan apa maksud ibu barusan.
“Ingat Fan! Jangan dibuka!” Kembali ibu mertua memperingatkannnya.
Dompet itu dia letakan di atas dashboard. Dia kembali menyalakan mobilnya dan bersiap pergi ke toko tempat usaha kami.
“Apa itu, Mas?” tanyaku, tentu saja ada rasa penasaran yang harus kupertanyakan kepadanya.
“Aku juga nggak tau, Dek. Dengar sendiri ‘kan tadi ibu ngomong kayak gitu. Apa kita turuti begitu saja, Dek?”
Dia melihat ke arahku. Ada keraguan yang tersirat dari raut wajahnya. Pasti dia ingin sekali mengetahui isi dari dalam dompet itu.
“Keputusan ada di tanganmu, Mas.”
Suasana kini menjadi hening. Mas Lutfan sepertinya sedang memikirkannya dengan serius. Mempertimbangkan segalanya.
“Mas, jangan ngelamun dong.”
Aku sengaja memperhatikan dalam keheningannya, tatapannya sepertinya kosong. Meski terlihat serius memperhatikan jalan yang ada di depannya. Tapi aku tahu jika pikirannya sedang memikirkan hal lain.
“Iya Dek. Aku benar-benar bingung. Sebenarnya ada apa di dalam dompet itu? Apa hanya surat berharga yang beliau titipkan kepada kita saja? Tapi kenapa surat berharga beliau titipkan kepada kita?”
Ternyata benar, mas Lutfan masih berpikir keras mencari jawaban atas rasa penasarannya.
“Ya mungkin hanya surat berharga milik ibu yang dititipkan kepada kita, Mas. Makanya ibu melarang untuk membukanya. Mungkin itu hal yang sangat rahasia. Turuti aja kemauan ibu, Mas. Memang sudah hal biasa ‘kan, ibu memaksakan kehendaknya kepada kita?”
Sedikit aku memberi masukan kepada mas Lutfan agar dia tak lagi melamun memikirkannya begitu dalam.
“Iya, benar juga katamu, Dek. Ya udah, nanti taruh aja di laci sesuai perintah ibu.”
Setelah mengatakannya, dia kembali fokus untuk menyetir. Kini pandangannya tidak seperti tadi. Tidak membahayakan kami yang ada di dalam mobil dan pengendara lain.
“Ibu emang gitu ya, Mas. Keras kepala. Kalau perasaanku lagi nggak menentu, tentu saja ingin rasanya pergi dari rumah, Mas. Aku capek tau, Mas. Apa-apa dikomentari sama ibu. Semuanya harus kayak keinginan ibu.”
“Sayang … maafkan aku ya, belum bisa membuatmu merasakan nyaman. Aku anak satu-satunya, ya harus begini keadaannya. Aku pasti akan mecoba untuk adil kepada kalian. Kalau ibu salah pasti aku akan memprotesnya. Maaf ya, Dek.”
Tangannya menggenggam erat tanganku. Dia berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab atas segala keadaanku.
“Iya Mas, kita jalani ini semua bersama-sama ya? Hanya kamu yang bisa menguatkanku, Mas.”
“Pasti, Sayang.”
Dia mengecup mesra tanganku. Selalu saja memperlakukan semanis itu kepadaku.
Sesampainya di toko, aku turun dari mobil tak lupa membawa serta dompet titipan milik ibu.
“Mas, ini ditaruh laci yang mana?” tanyaku, saat sudah di dalam toko.
“Meja yang di dalam aja, Dek. Kalau laci meja yang ada di luar takutnya hilang.”
“Nggak mungkinlah, Mas. Alhamdulillah ‘kan? Duit kita nggak pernah ada yang ilang walaupun aku naruhnya di laci depan.”
Bibir ini memprotesnya, tapi tetap saja aku mematuhinya. Aku meletakkan dompet itu di dalam laci meja yang berada di dalam ruangan pribadi.
“Hmm … tapi tetap saja kamu menurutiku ya, Dek?”
Dia menghampiri dan memeluk mesra tubuhku dari belakang.
“Mas, kalau ada yang lihat gimana?” protesku.
Ya, meski kita berada di ruangan pribadi tetap saja aku merasa malu jika bukan di dalam kamar bermesraan seperti ini.
“Nggak ada, Sayang. Kalau ada yang melihat paling dianya senyum-senyum sendiri. Nggak mungkin akan mengganggu apa lagi menegur kita.”
Kini dia menciumi pipiku.
“Mas ….”
“Iya Sayang … kamu tiap hari kok cantik sih, Dek. Ntar malam lagi ya? Hehe.”
“Kamu ini ya, Mas? Udah ayo, kita kerja dulu.”
“Tapi malam ini, aku mau lagi, Dek.”
Dia mengatakannya dengan manja. Rasanya geli mendengarnya. Tapi tetap saja aku suka.
“Iya Sayangku … kita kerja dulu dong.”
Ya, kami melakukan usaha ini bersama-sama. Itu semua membuat kami tak pernah berpisah. Susah atau senang kita rasakan bersama, tentunya untuk masa depan kita berdua.
Hari semakin gelap, toko sudah saatnya kami tutup.
“Alhamdulillah ya, Mas. Toko rame lagi.”
“Iya Dek, kemarin memang jatahnya toko sepi, Dek. Jualan pasti gitulah, masa iya rame terus sih?”
“Iya deh ….”
“Ayo pulang. Jatahku jangan lupa. Hehe.”
“Iya, iya … apa sih yang nggak buat kamu, Mas. Hehe.”
“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”Sa
Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.“Mas …,” panggilku.Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.“Capek gimana, De
“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.
“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&