“Mas, kira-kira Eliza udah tidur belum ya?” tanyaku saat di dalam mobil.
“Hmmm, mana aku tau, Dek. Dari tadi ‘kan aku bareng terus sama kamu. Kamu ini, tanyanya aneh-aneh saja deh.”
“Iya, iya … pertanyaanku aneh … aku ‘kan penasaran. Apa nggak boleh kalau tanya begitu?”
Bibirku sedikit manyun saat respon mas Lutfan seolah memojokkanku. Tinggal ngomong ‘nggak tau, Dek’ gitu aja kenapa sih? Tidak usah diembel-embeli dengan ucapan lain yang membuat perasaan ini menjadi merasa sebal.
“Boleh Sayang … maksudnya bukan gitu. Kamu ‘kan tau sendiri, sejak tadi aku selalu bersamamu, Dek. Kok kamu jadi manyun gitu sih?”
“Kamu sih, Mas. Tinggal ngomong nggak tau aja apa susahnya? Kenapa menganggapku aneh sih?”
“Ya ampun Sayang … kayak gitu aja kok dipermasalahin sih, Dek? Iya, iya … aku salah, aku minta maaf.”
Saat mengatakannya dia tersenyum lebar.
“Tuh ‘kan? Malah senyum-senyum gitu … kamu nggak ikhlas minta maafnya ya, Mas. Masa kayak lagi meledekku begitu sih?” ucapku, semakin merajuk.
“Ikhlas Sayang … ikhlas banget. Udah ya Sayang, jangan diterusin lagi. Ntar jatah malam ini jadi hilang deh.”
“Apaan sih, kamu Mas.”
Aku masih saja cemberut, namun sebenarnya sedang menahan senyuman. Ucapannya tadi membuat hatiku tergelitik.
“Iya ya? Harus pokoknya. Hehehe.”
“Kamu curang sih … aku jadi gagal ‘kan, marahnya ….”
Kucubit perutnya yang mulai ada sedikit lemak itu. Biar dia kapok sudah mengagalkan kejengkelanku.
“Auw! Sakit Dek. Awas aja ntar. Hehehe.”
Tok, tok, tok ….
“Assalamu’alaikum!” sapa mas Lutfan saat berada di depan pintu rumah.
Gerbang depan sengaja dibiarkan tak terkunci. Namun, pintu rumah selalu saja terkunci jika dirasa sudah cukup malam. Sekitar jam Sembilan pintu rumah sudah terkunci dari dalam.
“Iya, wa’alaikumsalam.”
Seseorang yang menjawab salam terasa masih asing di telingaku. Benar saja, saat pintu dibuka Eliza-lah yang membukanya, tentu saja dia orang yang menjawab salam itu.
“Eh Bapak sama Ibu sudah pulang, silakan masuk,” sambutnya ramah.
Rasanya aneh saat orang lain yang membukakan pintu untuk kami. Biasanya ibu yang akan membukanya. Tentu saja dengan segala pertanyaan yang beliau lontarkan.
“Oh iya, terima kasih. Ibu sudah tidur ya?” tanya mas Lutfan, aku hanya mengekor saja.
“Tadi sih masih terjaga, Pak. Tapi nggak tau sekarang.”
“Oh begitu. Oh iya, Eliza. Panggil kami dengan sebutan mas sama mbak aja ya? Umur kita nggak terlalu jauh juga kok,” ucapnya kepada pembantu baru kami. “Ayo Dek.” Mas Lutfan menggandeng tanganku, pergi menuju ke dalam kamar.
Sedangkan Eliza kembali mengunci pintunya.
“Eh kalian udah pulang?”
Pertanyaan itu menghentikan langkah kami. Ya, suara itu milik ibu mertua.
“Iya ini, Bu. Baru aja sampai. Ibu kok belum tidur?” tanya mas Lutfan.
“Ini juga mau tidur, Fan. Tadi haus, mangkanya ibu keluar lagi ke dapur. Fan, dompetnya kamu taruh sesuai perintah Ibu ‘kan?”
Sebelum menjawab, mas Lutfan melihat ke arahku. Entah apa maksudnya, aku pun tak tahu.
“Kenapa? Kok lihat Salwa? Atau jangan-jangan, Salwa melarangmu?”
“Ibu … kok bicaranya gitu sih? Apa nggak boleh aku melihat istriku sendiri. Ibu ini pikirannya aneh-aneh saja sih. Dompet itu sudah kami letakan sesuai perintah Ibu kok.”
Raut wajah mas Lutfan terlihat sedikit menahan rasa jengkel.
“Oh … bagus deh kalau gitu. Kamu nggak membukanya ‘kan, Fan?”
“Sebenarnya dompet itu isinya apa sih, Bu? Kenapa aku nggak boleh lihat?”
“Udah … nggak penting apa isinya. Yang penting kamu simpan dompet itu baik-baik. Dan ingat! Jangan sampai kamu buka dompet itu.”
Selesai mengucapkan kalimat yang sedikit dibumbui dengan ancaman itu, beliau pergi meninggalkan kami ke kamarnya kembali.
“Dek, kok ibu gitu sih?” tanya mas Lutfan kepadaku.
Sedari tadi aku hanya mendengarkan percakapan mereka berdua saja. Tidak mau ikut campur. Ada mas Lutfan ini yang bisa tegas menjawab segalanya.
“Aku juga nggak tau, Mas. Yang kutau ibu itu kayak kamu, sama-sama keras kepala. Hehe.”
“Eh, eh … kok malah meledek suamimu yang tampan ini sih? Awas aja kamu ya, Dek.”
Aku sedikit berlari menuju ke dalam kamar. Namun, sekejap mataku menangkap seseorang yang sepertinya sedang mengawasi kita berdua. Tapi sudahlah, paling hanya bayanganku saja.
“Dek, tunggu aku dong ….”
Mas Lutfan mengejarku ke dalam kamar.
“Mulai hari ini, setiap pulang dari toko kamu harus mandi ya, Dek,” ucapnya di atas pangkuanku.
Kami baru saja selesai membersihkan diri.
“Dulu aku ‘kan mandi juga, Mas. Tapi kalau malas hanya membasuhnya saja sih. Hehe.”
“Nah itu maksudku, Dek. Kamu jangan malas. Pokoknya harus rajin mandi.”
“Dingin Mas, jadinya aku malas mandi.”
Tanganku membelai mesra rambutnya yang masih basah. Sesekali memainkan hidungnya yang mancung.
“Ada aku ‘kan, yang jadi selimutmu, Dek. Hehehe.”
“Oh ya? Hehe. Ayo Mas, tidur.”
Dia mengikuti perintahku. Kini kami sudah di posisi masing-masing.
“Sayang, aku ingin menagih janjimu padaku.”
“Ih … janji apa Sayangku. Hehe.”
Tak mau berlama-lama, mas Lutfan langsung saja memulai aksinya itu. Ya, katanya aku harus memberikan jatah yang tadi pagi kujanjikan untuknya. Padahal dia sendiri yang meminta jatah itu, bukan aku yang berjanji padanya. Ya sudahlah, seorang istri harus taat dengan segala titah sang raja. Tentunya dalam segala kebaikan.
***
Waktu terus bergulir. Sudah seminggu Eliza membantu ibu di rumah ini. Selama itu tidak ada hal aneh yang terjadi. Ya, dia layaknya seorang pembantu yang mengerti kesopanan kepada seorang majikannya. Semoga saja tetap saja begitu.
Kebetulan hari ini adalah hari minggu. Hari dimana bisa sedikit lebih bersantai saat di rumah karena memang jadwal toko untuk libur. Apa lagi sekarang ada Eliza, pekerjaan rumah sudah tak terlalu kupikirkan. Itu ‘kan maunya ibu kepadaku.
“Liza, tolong bantu Lutfan cuci mobilnya ya? Bilang aja Ibu yang nyuruh.”
Aku mendengarnya dari dalam kamar. Hari minggu sering digunakan oleh mas Lutfan untuk mencuci mobilnya sendiri. Dia tidak mau membawa ke tempat pencucian mobil yang menurutku lebih memudahkannya. Tapi entah apa alasannya, dia inginnya mencuci sendiri. Ya, mungkin itu sudah menjadi hobby-nya.
“Ngapain Liza disuruh bantu cuci mobil sih? Ngapain kek, asalkan jangan bantu cuci mobil,” gerutuku.
Sengaja aku keluar dari kamar. Segera menyusul ke halaman depan melihat mas Lutfan mencuci mobil. Biasanya aku tak pernah melakukan hal ini. Buat apa menonton orang yang sedang mencuci mobil, lebih baik melakukan hal yang lebih bermanfaat lainnya. Tapi karena ini urgent, mau tak mau aku harus melihatnya.
Saat aku berdiri melihat ke arah mobil yang sedang dicuci, di sana ada mas Lutfan yang masih belum melanjutkan hobby mencucinya itu. Dia masih berbicara dengan Eliza. Aku berinisiatif untuk mendekati mereka.“Mas …,” panggilku.Perbincangan mereka berhenti seketika. Terlihat dari raut wajah mas Lutfan terlihat ketidaksukaan.“Dek, tumben kamu mau mendatangiku pas lagi cuci mobil begini,” tanyanya.“Ya … pengin lihat kamu aja, Mas. Kalian ngomongin apa?”Eliza hanya terdiam, terlihat sungkan kepadaku.“Ini ibu aneh-aneh aja. Masa si Liza disuruh membantuku mencuci mobil. Aku bisa sendiri lho, Dek," sungutnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika dia benar-benar tidak suka.“Mungkin takut kamu capek kali, Mas. Jadi ibu menyuruh Liza untuk bantuin kamu.”Aku berusaha tenang meski hatiku ikut bergemuruh karena ulah ibu mertuaku itu.“Capek gimana, De
“Liza nggak bisa pakai mesin cuci?” tanya mas Lutfan heran.“Eh itu Mas, soalnya mesin cucinya beda sama yang sering kupakai. Ini lebih bagus, ya jadi—““Benar Fan, Ibu memakluminya kok. Nggak apa-apa, Ibu senang bisa mengajarinya seperti ini.”Mereka benar-benar bersekongkol mengatakan kebohongan ini. Aku bertambah penasaran, kenapa ibu mertua dengan Eliza bisa sekompak itu. Sudahlah … aku harus lolos dari kamar mandi ini terlebih dulu. Perlahan kubuka pintu kamar mandi dan cepat-cepat pergi dari sana.Dengan langkah seperti orang berlari, aku pergi menuju kamar. Tentunya dengan tak mengeluarkan suara. Sesampainya dikamar, aku berusaha mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan, padahal tak terlalu jauh tapi tetap saja terasa capek. Mungkin karena takut ketahuan menjadi adrenalinku ikut terkuras.Aku berpura-pura duduk santai seperti tak terjadi apa-apa. Tinggal menunggu mas Lutfan datang saja.
“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell