Langit cerah menemani langkah mereka bertiga menuju istana. Felix berjalan di belakang, membawa koper ekstra sebab majikannya yang bertambah satu orang. Sedangkan Reza terus menggenggam tangan Isabelle sepanjang jalur.“Ini perlu banget, ya?” tanya Isabelle sedikit risi.“Istananya gede,” jawab Reza tanpa melirik. “Takutnya kamu nyasar ke kandang buaya.”Dahi Isabelle mengerut. “Ngapain kalian pelihara buaya?”“Untuk menghabisi keluarga Vanlomraat kalau-kalau ternyata mereka memang pelaku pembantaiannya,” celetuk Felix agak sinis.Reza menghela napas. “Aduh, Felix, please deh. Optimis dikit, dong! Majikanmu ini baru aja nikah. Aku yakin seiring pintu istana terbuka, hal-hal baik lainnya juga akan menyusul.”Pintu istana dibuka lalu oleh sang pria Hazerstein.“Woiiii! Felix, ini kenapa ceweknya pada meninggal semua?!” teriak Reza panik.Ketika mereka bertiga akhirnya menggapai aula istana, para wanita cantik yang Felix calonkan untuk Reza tempo hari sudah terbaring tak bernyawa. Kondis
Untung saja Reza berkelit tepat waktu. Buaya masih menganga. Namun, kelincahan sang pria Hazerstein tak berubah seperti saat ia menghadapi mereka di dalam air. Dengan tiga langkah jitu, Reza sudah berada di ujung ekor sang predator.Namun, kini muncul masalah lain. Walaupun sebenarnya sudah muncul dari tadi. Istana cukup luas. Istri Reza bisa berada di bagian mana saja, demikian juga tiga buaya lain. Dan jelas teriakan tadi bukan teriakan gembira .“Isabelle!”Hening. Reza kian risau.“Isabelle, coba teriak sekali lagi, dong! Aku mau tahu kamu ada di sebelah mana!”“Aaaaaaaaah!”“Oh, kiri.”Maka Reza ke arah sumber suara. Langkahnya secepat angin. Untungnya, beberapa minggu di istana sudah membuat Reza hafal rute. Sekarang yang ia butuhkan adalah mengandalkan naluri.Sementara di taman istana, Isabelle sudah sangat terpojok dan hanya bisa berdiri di atas sebuah pot bunga. Buaya menganga. Wanita blasteran itu mencoba mengusir buaya seperti mengusir kucing, tapi tentu saja tak berhasil.
Sekali lagi Reza melakukan lompatan akrobatiknya. Gesit. Buaya pertama dilewati dengan mudah, sedangkan nganga buaya kedua dibungkam dengan pijakan Reza. Heroik. Tak butuh waktu lama baginya untuk berhasil menjemput sang istri.Reza membawa Isabelle berguling. Selamat. Keduanya kini berada di sudut lain taman, dengan Reza yang lekas berdiri bersiaga. Tatapan sang Hazerstein muda tajam ke predator besar bersisik.“Gak ada buaya yang boleh menyentuh istriku!”Bagi Isabelle yang mengira hampir berpindah alam, tindakan dan ucapan Reza adalah sangat menakjubkan. Isabelle terpana. Di matanya, Reza terlihat berkilau .... Ya, tentunya itu juga karena efek pantulan cahaya matahari siang.Reza lantas menyengir, menoleh istrinya. “Akhirnya terucap juga. Keren, ‘kan? Kayak anime banget, gak, sih?”Hilanglah kesima Isabelle terhadap pria di hadapannya, berganti tatapan datar. “Dasar wibu elite global. Paling tidak, beresin dulu buayanya!”Makhluk yang dimaksud seakan mendengar perkataan itu, lalu m
Langit semakin menguning dimakan senja. Sekali lagi ketenangan memasuki istana Hazerstein. Urusan buaya sudah beres. Reza dengan kharisma misteriusnya –lebih tepatnya teknik di luar nalar—berhasil menggiring buaya kelima menuju kandang.Kini sang pria Hazerstein berkumpul bersama istri dan pelayannya di ruang makan. Cukup sibuk. Isabelle bekerja di meja, berkutat dengan smartphone milik mendiang pembunuh bayaran. Sementara Felix menyediakan makanan kecil.Isabelle semringah. “Aku berhasil membuka HP orang itu. Di sini ada satu nomor tak dikenal. Kemungkinan Garrett Anderson.”“Eh, tapi aku belum tahu Anderson ini siapa,” kata Reza.“Dia salah satu anggota keluarga elite global, Tuan. Anderson menguasai perminyakan Timur Tengah dan sebagian besar emas di Indonesia.”Reza menyilangkan tangan. “Wah, dengan kuasa seperti itu, wajar aja dia bisa bayar orang untuk membunuh kita. Terus kita harus gimana? Anderson pasti menunggu laporan orang yang dia bayar.”“Tenang, aku tahu cara mengakalin
Tibalah mereka bertiga di Indonesia. Yang menyambut setelah keluar bandara adalah malam dengan langit keunguan tertutup awan. Sepertinya akan hujan. Buru-buru mereka ke destinasi utama dalam daftar rencana Isabelle.Dalam hitungan jam, rentetan langkah strategi yang disusun istri baru Reza setelah debat kusir di pesawat akhirnya terpenuhi satu per satu.Sejauh ini, adalah Isabelle dan Felix yang terlihat amat sibuk. Sementara Reza ....“Aku sih gak masalah kalau kalian merasa rencana ini brilian. Masalahnya ... harus banget ya, aku dimasukkan ke peti mati kayak gini?!”Mereka bertiga masih berkumpul, hanya saja beda posisi. Satu unit peti mati hitam ada di tepi ruang layat rumah sakit umum.“Sssshh! Diam, nanti orang lain mengira kamu masih hidup!” perintah Isabelle.“Ya aku memang masih hidup, wuoy.” Reza mendobrak penutup peti mati. “Lagian pelayat baru bisa datang lusa, ‘kan? Ngapain aku disuruh menginap di dalam sini?”Isabelle mendecak. “Cuma simulasi doang. Bawel banget, sih.”“
Una merunduk, menyandarkan tangan dan keningnya di pinggir peti mati. Napasnya panas menyentuh wajah pucat Reza. Isak kian terdengar. Dari luar, pelayat lain hanya bisa berempati melihat sengguk duka pada punggung Una.Dalam hati Reza, ia berkali-kali menyebut nama tulang rusuk pertamanya itu. Cinta. Satu kata yang membuat Reza luluh, terutama ketika memori kebersamaan mereka berdua terulang kembali.Tanpa sadar, telapak tangan kiri Reza bergerak perlahan. Itu akibat niat ingin membelai kepala wanita pujaannya dan mengusir duka.Lantas isak Una berhenti. “Tapi bohong.”Seketika tapak tangan Reza terkunci di udara, dan Una belum menyadari. Reza tetap memejam. Untuk kedua kalinya, sang pria berwajah oval dibuat kebingungan oleh sikap Una, apalagi ketika wanita cantik itu perlahan mengintip dan cekikikan.“Matilah kamu, lelaki keparat!” bisik Una. “Tersiksalah di neraka, sementara aku bersenang-senang dengan pacarku yang kaya raya.”Sekali lagi Reza harus merasakan sensasi tersambar gele
Cahaya matahari akhirnya menerobos awan Kota Jurajura. Hingar kesibukan mengisi pagi. Isabelle membuka mata. Sendiri di ranjang. Bagi wanita blasteran Indo-Belanda itu, hari ini tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelum ia menikah.Sekarang Isabelle ada di kamar hotel bintang empat dengan pemandangan seluruh kota dari jendela. Sama seperti sejak malam pertama pernikahannya, ia tidur beda kamar dengan sang suami. Isabelle bangkit. Langkahnya santai menuju kamar mandi.“Aaaah!” teriak Reza dan Isabelle bersamaan.Reza sedang telanjang, baru saja melepas handuk. Lelaki itu lekas menutup bagian privatnya, sementara Isabelle buru-buru berbalik menutup mata.“K-kamu ngapain di sini, Reza?!”“Kamu sih, pilih hotelnya aneh banget. Kamar mandi di tempatku airnya gak mengalir, makanya aku mandi di sini.“Ya tapi gimana caranya kamu masuk?”“Kamu yang gak ngunci.” Reza kembali melilitkan handuknya. “Lagian kamu gak perlu malu gitu. Toh kita udah suami-istri.”Isabelle tak menjawab. Hanya menyemb
Seketika hening. Seluruh mata membelalak tertuju ke pria yang baru saja bersikap layaknya pejuang kemerdekaan. Tentu saja yang paling syok adalah si Vanlomraat tua. Sedang ibu Isabelle merasa malu, lantas mendatangi putrinya dengan amarah.“Isabelle Tulip Vanlomraat! Lelucon macam apa ini?!” tutur sang ibu dalam bahasa Belanda.“Ini bukan lelucon! Dia memang suamiku. Reza Hazerstein.”“Aku tidak menyangka kamu menikah dengan pria macam dia!”Mata para pengunjung masih tak bisa lepas dari perdebatan ibu dan anak itu. Beberapa bahkan sudah mulai mengeluarkan ponsel untuk merekam. Ini tidak bagus. Felix yang sedari tadi mengawasi segera berdiri mengambil tindakan.“Maaf,” kata Felix dalam bahasa Belanda, “mungkin sebaiknya kita bicarakan ini di tempat yang lebih tertutup.”“Ini siapa lagi?” tanya ayah Isabelle.Sebelum pertanyaan itu terjawab, mereka berenam akhirnya pindah ke sebuah ruangan cukup luas di lantai tiga hotel. Ballroom. Suasananya aneh sebab ruangan itu harusnya untuk perte