Sesampainya di ruang aman. Maria segera mengunci pintu rahasia tangga tadi. Ratha melihat ada peralatan medis di meja. Dia segera memeriksa lukanya, “Untungnya tidak tembus pelurunya. Tapi rompi anti peluru ini sudah tidak berguna.”
“Bagaimana dengan bala bantuanmu?” tanya Ratha.
“Mereka sedang beradu tembak di luar.” Jawab Maria.
“Pasti para polisi yang berpatroli sudah disogok olehnya untuk tidak muncul hingga pagi.” Kata Ratha. “Sekarang masih jam 10 malam lagi.”
“Bagus ada staples medis di kotak medis ini. Akhirnya aku bisa mengeluarkan peluru di pahaku ini.” Ratha mulai mengoprasi sendiri luka pada kakinya. Maria membantunya dengan pencahayaan. “Pengalaman sebagai prajurit elit membantuku juga akhirnya.”
“Apakah kamu dulunya polisi elit yang korup?” tanya Maria.
“Tidak. Aku prajurit elit dulunya. Hanya saja karena hutang aku menjadi mafia. Herman menawarku mahal.” Jawab Ratha. “Berikan staplesnya.”
“Menurutmu bagaimana selanjutnya?” tanya Maria.
“Bertahan di dalam sini. Aku akan melindungimu.” Jawab Ratha.
“Bisakah aku duduk di sampingmu?” tanyanya lagi.
Ratha mengijinkannya dan Maria duduk di sampingnya. Sofa tempat Ratha duduk memang muat untuk 3 orang. “Apakah bila aku tidak terlibat bisnis ilegal orang tuaku masih hidup?”
“Mungkin saja iya.” Jawab Ratha. “Kamu menyesali pilihanmu?”
“Tidak. Jika tidak begini aku dan keluarga tetap akan tinggal di pemukiman kumuh. Mungkin aku akan dijual untuk jadi pelacur.” Ucap Maria. “Peluk aku Ratha. Aku membutuhkannya sekarang.”
“Kamu gadis yang kuat.” Ratha memeluk Maria. Didengarnya tangisan dari Maria. Ponsel miliknya bergetar, Ratha melihat ponselnya. Dia tidak menggubris pesan dari Herman.
“Ponselmu bergetar angkat saja.” pinta Maria.
“Ini dari Herman. Mau lihat isi pesannya?” tanya Ratha.
Maria mengambil ponsel milik Ratha dan melihat bahwa Herman ingin berdamai. Dia juga memberi kabar bahwa polisi bekerja sama dengan Herman dan menangkap anak buah Maria. Dari monitor CCTV tersembunyi itu terlihat bahwa puluhan anak buahnya ditangkap oleh polisi. Opini publik pasti berpikir Maria lah yang jahat bila situasinya begini.
“Aku mau. Suruh dia bertemu di ruang kerja ayahku. Kamu berjaga di depan pintu.” Kata Maria dan membuka pintu rahasia lagi.
Ratha membalas pesan tersebut dan setuju untuk bertemu dengan Herman. Mereka kembali ke ruang kerja ayahnya yang sudah berantakan. Ratha menggeser meja dan rak buku yang menghalangi pintu utama. Ratha berjaga di luar pintu dan berdiri tegap.
Tak lama terdengar suara langkah kaki dari arah tangga lantai 3. Ratha mengenali mantan bosnya itu. Herman tersenyum, “Anjingku yang penurut ternyata goyah. Sayang sekali keponakanmu tewas.”
Ratha emosi dan menodongkan senjatanya ke kepala Herman. Namun di belakang Herman ada beberapa anggota kepolisian bersenjata lengkap. “Kamu melakukan ini buat apa Herman? Membuat dirimu tampil baik di mata masyarakat atas masalah yang kamu buat?”
“Kamu tahu aturan mainnya Ratha. Sebenarnya aku ingin membunuhmu karena kamu berkhianat kepadaku. Tapi aku memberimu kesempatan kedua kalau kamu mau. Putriku masih mencintaimu meskipun kamu tidak.” Herman menggeleng-gelengkan kepalanya. “Di mana Maria? Aku siap untuk membahas perjanjian damainya.”
“Padahal yang memulai pertempuran ini kamu dan kamu menuduh dia yang memulai?” Ratha membuka pintu.
Tampak Maria dengan muka penuh amarah melihat Herman. “Kamu mengkhianati aliansi kita. Dengan serangan tiba-tiba lagi. Kenapa? Tidak cukup bagimu kah untuk mendanai kampanye politikmu?”
“Aku ingin menguasai semuanya. Aku serakah itu saja. Aku menginginkanmu pergi dan tutup mulut.” Herman menjawab dan duduk di hadapan Maria.
“Pergi dari provinsi ini dan mulai lagi di daerah lain. Provinsi ini cocok bagiku untuk mengembangkan bisnis bagiku. Terpencil dan pemerintah pusat jarang melirik provinsi ini.” ucap Herman. “Jika kamu tidak mau aku akan membunuhmu.”
“Apa yang akan kamu rekayasa kepada publik jika tiba-tiba seorang wanita terkenal di provinsi ini meninggal?” tanya Maria. “Pendukung pasti tak tinggal diam. Kamu hanya menang karena berhasil membuat tentara dan polisi daerah di sini memihakmu.”
“Aku juga akan mengambil anjing setiaku kembali. Tidak kusangka hanya karena aku membunuh keponakannya dia membelot.” Herman melirik Ratha yang kini diborgol oleh para polisi.
“Aku menyerah Herman. Tunjukkan rencanamu yang sebenarnya.” Pinta Maria.
“Menikahlah denganku. Dengan begitu suaraku akan semakin kuat dan bisa menjadi gubernur di sini.” Kata Herman. “Kamu bisa mengelola bisnismu tapi diisi oleh orang-orangku.”
“Aku tidak akan menyentuhmu karena aku hanya menginginkan pengaruhmu terhadap bawahanmu dan orang-orang di daerah miskin.” Tambahnya.
“Politikmu kotor. Tepati janjimu, lalu bisa kamu bebaskan Ratha? Aku memintanya untuk jadi pengawal pribadiku.” Pinta Maria.
“Untuk Ratha? Tidak bisa, putriku menginginkannya.” Jawab Herman. “Terlebih lagi dia anjing kesayanganku.”
“Bisakah kamu menganggapku sebagai manusia?” tanya Ratha. “Aku bukan hewan!”
“Kamu perlu GS-90 kan? Obat yang sangat berguna bagi dirimu.” Herman mengeluarkan sebuah kotak suntik dari saku jasnya dan mendekati Ratha. Disuntikkannya obat tersebut kepada Ratha dan membuatnya menjadi tenang dan diam.
“Apa itu?” tanya Maria.
“Rahasia.” Jawab Herman. “Ada lagi?”
“Pernikahannya disembunyikan dari publik lalu aku tetap akan mendapat semua bisnisku yang legal. Dari toko kosmetik, spa, salon semuanya tetap aku pegang.” Ucap Maria.
“Disembunyikan dari publik, tidak bisa. Tapi yang lainnya bisa.” Balas Herman. “Naikkan Ratha ke mobilku. Putriku akan suka bermain dengannya.”
“Bawa Maria ke persembunyian nomer 5. Bawa putriku, juga Ratha ke sana.” Perintahnya lagi. “Lalu lenyapkan barang bukti yang ada di rumah ini.”
Kini perlahan-lahan semuanya mulai pergi meninggalkan bangunan ini. Para polisi membantu anggota mafia untuk bersiap membakar bangunan ini dan membuatnya seperti konsleting listrik. Semua media massa yang hendak meliput sudah disuap dan disuruh untuk memberitakan berita palsu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Ratha yang lemas dimasukkan ke dalam mobil Herman. Seorang gadis berambut putih menunggunya di dalam sana. “Kekasihku kembali juga akhirnya. Terima kasih telah membawakannya pulang.”
“Lavrinda, hari ini kita pulang ke rumah nomer 5. Kamu akan bertemu dengan ibu barumu.” Herman masuk ke dalam mobil dan duduk di samping putrinya.
“OK!” balas Lavrinda dengan ceria.
“Karena Papa menepati janji. Kamu harus menepati janjimu juga.” Pinta Herman.
“Papa bisa mendapatkan filenya di penyimpanan kantorku. Akan aku ambil nanti,” balas Lavrinda. “Tapi hari ini aku ingin bermain dengan Ratha dahulu.”
“Filenya dahulu ya. Karena dengan itu Papa mau membangun kota ini dengan sempurna. Secara tidak langsung file itu berisi semua sertifikat tanah milik pribadi warga. Nanti Papa bisa menggusur mereka dan membangun sesuatu dengan pandangan utopia Papa.” Jawab Herman.
Ratha membuka perlahan matanya dan mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar Lavrinda. Semua luka di tubuhnya sudah diperban dan diobati. Lavrinda tampak sedang siaran langsung bermain game di komputernya.Duduklah dia di pinggiran kasur sambil mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Dia tidak ingat bagaimana dia bisa mendapatkan luka di tubuhnya. Lavrinda yang menyadari Ratha sudah bangun menghentikan kegiatannya dan mematikan komputernya.“Tepat sekali kamu sudah bangun. Mari temani aku ke klub. Aku mau bertemu dengan para investorku.” Pinta Lavrinda.“Baik.” jawab Ratha. “Apakah Anda yang mengobati saya? Saya berterima kasih.”“Ya. Tentu saja aku!” balas Lavrinda dengan bangga. “Kata Papa kamu sedang bertarung melawan para orang yang mencoba menculikku.”“Bos Herman ada di mana?” tanya Ratha. “Ada yang ingin kubicarakan dengannya soal keponakan saya.”“Bagaimana aku bilangnya ya. Papa menyuruhku menyampaikan ini padamu. Keponakanmu meninggal dan tidak bisa diselamatkan dala
Ratha duduk di samping Lavrinda yang kini bersiap-siap untuk bernegosiasi. Adler, wakil presiden negara ini membuka semua penyamarannya dan menyuruh pengawalnya untuk berjaga di luar. “Memang daerah ini yang terbaik. Sangat strategis sekali untuk bisnis kita.”“Kamu minta dana berapa? Tidak berniat untuk ekspansi ke luar provinsi ini?” tanya Adler.“Kalau Anda bisa menjamin aparat dan pemerintahan daerahnya bisa disuap tidak apa-apa. Jika tidak, satu kesalahan sedikit pemerintah pusat akan menciumnya.” Jawab Lavrinda. “Lima ratus juta sudah cukup untuk ekspansi ke provinsi sebelah. Tetapi Anda harus menempatkan orang Anda di sana untuk menjamin kita bisa menguasai aparatnya.”“Di sana ada kartel saingan ayahmu. Kartel Nx9 pimpinan Alejandro alias B.G.” jawab Adler. “Polisi dan pemerintah di sana sudah disuap oleh mereka. Seharusnya kamu ajak mereka untuk bergabung dengan ayahmu.”“Aku punya rencana lain. Rencana ini bisa menaikkan imej Anda di mata publik. Bagaimana Anda memerintahkan
Sang supir menyalakan lagu Fly Me To The Moon untuk mempermesra suasana mereka. Lavrinda memberikan isyarat kepada sang supir untuk mengambil rute paling jauh. Supir mereka adalah seorang wanita.“Apa Anda yakin Putri? Bagaimana kalau dia menolak?” tatap supir itu dari pantulan kaca tengah mobil.“Yakin.” Lavrinda menjawab, dia mulai mendekatkan dirinya dengan Ratha. Dia meminta Ratha untuk mendekatkan kepalanya ke dadanya. “Boleh kah?”Tangan Lavrinda perlahan mengelus paha Ratha. Raut muka Ratha tampak panik dan gelisah. Dia ingin menjawab tidak, tetapi Lavrinda sepertinya menginginkannya. “J-jangan! A-aku ... .”Gadis itu menatap tajam mata Ratha seolah-olah mengancamnya. Ratha mengingat kembali kejadian traumatiknya di masa kecilnya, di mana ia dilecehkan oleh seorang biarawati tempatnya dibesarkan. “He-hentikan.”Suasana hati Lavrinda berubah drastis dia mencekik leher Ratha. Ratha tidak bisa melawan karena di dalam dirinya dia tidak bisa dan tidak boleh melawan Lavrinda. Pria it
Dua hari berlalu, Ratha kini sudah merasa lumayan pulih. Dia perlahan membuka matanya dan mendapati kalau dia sedang tidur bersama Lavrinda di kamarnya. Dalam kondisi telanjang bulat dengan salah satu lengannya dijadikan guling oleh Lavrinda.“Tidur lagi.” pinta Lavrinda dengan lembut. Dia mencium bibir Ratha dengan paksa.“Mmm!” Ratha meminta untuk melepaskan diri.Lavrinda terus memaksanya hingga Ratha menyerah. “Bagaimana? Kamu bisa menikmatinya?”Ratha tidak merasakan apapun. Dingin, meskipun dia merasa sedikit hangat ketika berciuman dengan Lavrinda. “Dingin, maaf aku tidak merasa apa-apa.”PLAK!Lavrinda menampar Ratha. Air mata Ratha mulai mengalir dan memeluk erat Lavrinda. “Ja-jangan sakiti aku lagi.”“Kalau tidak mau aku sakiti. Cintai aku sepenuh hati hingga kamu merasakan kehangatan cintaku.” Bisik Lavrinda dengan mesra. Ratha membalasnya dengan anggukan dan menatap melas Lavrinda.“Aku merasakan sesuatu yang berdiri di bawah sana.” Tangan Lavrinda meraba kemaluan Ratha.“
“Berapa jam kita tertidur tadi?” tanya Ratha saat sedang mandi ke tiga kalinya hari ini bersama Lavrinda.“Sekarang sudah jam 4 sore hehe.” Jawab Lavrinda. “Aku akan mengeringkan badan dan menata rambutku dulu. Cepat, nanti kita dimarahi Papa.”Mereka berdua keluar dari kamar mandi dan segera berlari menuju kamar mereka. Ratha segera mengeringkan badannya dan memakai pakaian setelan rapinya. Kemudian dia membantu Lavrinda menyisir rambutnya.“Rambut yang indah.” Puji Ratha. “Aku suka warna putih ini.”“Terima kasih. Ini warna rambut asliku.” Balas Lavrinda. “Kamu tahu, aku terlahir dengan kelainan warna rambut. Tapi kalau kamu mengatakan seperti itu, aku tidak akan mengubah warna rambutku lagi.”“Dikuncir apa ini?” tanya Ratha.“Seperti tuan putri.” Jawab Lavrinda.Ratha menuruti permintaan kekasihnya itu. Gaya rambut itu memang cocok bagi Lavrinda. Terdengar suara perut keroncongan dari Ratha. Lavrinda terkekeh mendengar suara itu, “Ayo kita cepat makan. Lalu kamu segera menemui Papa
Kue yang dibelinya tadi disajikan oleh Lavrinda di atas piring. Dipotongnya kue tersebut untuknya dan Ratha. Ratha menyendok secuil kue dan mengarahkan sendoknya ke mulut Lavrinda, “Aah.”Melihat inisiasi dari Ratha, gadis itu menerimanya. Ratha tersenyum, “Aku tadi melihat ada pasangan di toko kue melakukan ini. Aku ingin menirunya.”“Kuenya jadi enak.” Balas Lavrinda dan gantian menyuapi Ratha.Maria tidak kuat melihat mereka bermesraan dan akhirnya menuju kamarnya. Di dalam dirinya terjadi konflik, kok bisa begitu? Dari pengakuan Ratha saat pertama kali bertemu dengannya dia dalam kondisi stres dan penuh tekanan. Kini dia tampak biasa-biasa saja. Sungguh tidak manusiawi apa yang dilakukan Herman dan Lavrinda, menggunakan obat untuk mengontrol Ratha.“Aku sudah mempersiapkan untuk besok. Aku dengar kamu mendapat tugas tambahan dari Papa. Aku bisa menyusup sendirian ke sana.” Kata Lavrinda.“Tidak, urutannya aku menemani dahulu. Barulah aku melaksanakan tugas tambahanku.” Balas Ratha
Tidak lama kemudian Lavrinda keluar dan menemui Ratha. “Sudah semuanya, aman dan tidak ada kendala. Sepertinya hanya laporan palsu yang mengatakan ada mata-mata ke sini.”Ratha tersenyum dan berpamitan kepada para penjaga. Mereka berdua segera keluar dari gedung hijau. Ratha dan Lavrinda menemui Agnes di tempat penjemputan mereka.“Bawa Lavrinda keluar. Aku ada tugas lanjutan.” Ucap Ratha kepada Agnes.“Eh? Aku ingin ikut.” Balas Lavrinda.“Ini berbahaya sayang.” Kata Ratha dan mencium bibir Lavrinda. “Turunkan aku di kereta lintas kota terdekat.”Agnes segera mengemudikan mobilnya ke stasiun kereta lintas kota. Ratha turun dari mobil membawa tas duffel berwarna hitam yang berisi perlengkapannya. Terlihat Lavrinda begitu kecewa melihat Ratha pergi sendirian.Ratha menuruni tangga menuju ke stasiun bawah tanah itu. Dari sana dia masuk ke ruang staf kereta api. Ruangan staf tersebut kosong karena semuanya sedang keluar. Dari sana dia keluar ke pintu yang menuju ke arah rel kereta bawah
AS dan sekutunya gempar mendengarkan bahwa Presiden Larache yang merek dukung tewas dibunuh. Kini mereka sudah tahu bahwa Kermenchik akan jatuh menjadi negara kartel seperti negara Latin Amerika lainnya. Mereka dengan cepat meminta mata-mata mereka untuk segera mencari calon baru untuk menjadi negara boneka mereka. Jika tidak negara mereka jadi tidak aman berkat Kermenchik akan menjadi titik panas penyebaran mafia dan kartel.Herman kini berjalan di istana negara memenuhi panggilan Adler. Dipandu oleh sekretaris Adler dia memasuki kantor Adler. Dibuka pintu kantor Adler, terlihat Adler bersama beberapa mentri sedang berbicara.“Tuan-tuan, mari saya perkenalkan. Wakil presiden yang baru, Herman Friedrich Souer. Saya yakin Tuan Herman di sini orang yang handal dan cocok untuk posisi ini. Ditambah lagi dia seorang pengusaha handal, dia pasti bisa membantu kita dan mengarahkan pertumbuhan ekonomi kita.” Adler beranjak pergi dari mejanya dan memeluk Herman.Para mentri yang pro Adler berte