Setelah kesepakatan antara Gantara dan 2 orang yang masih belum diketahui dari mana asalnya. Sang Raja segera membubarkan pesta yang tengah diselenggarakannya.
Hampir satu pekan penuh, Gantara memikirkan ucapan yang berbentuk ramalan itu. Terkadang ia ragu dan tak percaya, tapi sewaktu-waktu kegelisahan datang menghantuinya.
Walaupun sang permaisuri tidak dalam masa kandungan. Namun entah mengapa firasat dari hati terdalam sang raja, seakan mempunyai pendapat lain.
"Mengapa aku harus memikirkan omong kosong itu?" bisik Gantara pada dirinya. Selama satu pekan juga, Gantara lebih memilih untuk menyepi. Firasat buruk dalam batinnya seakan makin menjadi.
Beberapa orang yang memang berniat menemui sang raja kala itu, terpaksa harus menundanya. Sebab Gantara telah memberi perintah kepada pengawal pribadinya, supaya siapapun yang hendak bertamu ke istana agar di pulangkan saja dan kembali lagi dilain kesempatan.
Tak terasa, seiring berjalannya waktu. Setelah genap 2 pekan menyepi, sang raja keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun wajahnya sedikit masam. Bagaimana tidak? Ia mendengar kabar bahwa Sang Permaisuri dinyatakan sedang mengandung. Rasa khawatir yang begitu mengganggu batin mulai kembali menyiksa Gantara.
"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" gerutu Gantara pada Ningrum.
"Entahlah, aku sendiri tidak yakin bahwa saat ini sedang mengandung!" cela Ningrum yang sedikit kebingungan.
Wanita itu seperti habis pikir, sepertinya tak ada cara yang bisa ia gunakan untuk membuktikan kebenaran perkara yang sedang dihadapinya.
"Hei, apa kau anggap ini lelucon? Jika kamu sendiri tidak tahu sedang mengandung, lalu dari mana semua orang di istana ini mengetahuinya? Bahkan ... kabar ini hampir diketahui seluruh penjuru negeri!" ketus Gantara.
Ternyata jabang bayi berusia 1 Minggu itu, merupakan ulah dari ilmu sihir. Tak ada seorang pun yang mengetahui jika pelakunya merupakan 2 orang bertopeng yang sengaja di utus oleh kerajaan negeri lain, sekaligus musuh abadi kerajaan Labodia.
Disaat Gantara menyepi, ilmu sihir berupa ilusi tiba-tiba datang menghampirinya. Kemudian sihir itu menyerupai seorang wanita yang sangat cantik.
Tanpa pikir panjang, Gantara segera meraih wanita itu dan mengukir cerita indah sesaat yang penuh dengan sejuta kenikmatan. Setelah berada dalam puncak kenikmatan, ilmu sihir itu kembali berulah dan memasukan benih bayi dari Gantara pada rahim sang permaisuri.
Setelah benih bayi bersarang selama 7 hari di rahim Ningrum, 2 orang bertopeng itu menyebarkan berita kehamilan sang permaisuri ke seluruh pelosok negeri.
Hingga pada akhirnya, terlahirlah seorang bayi yang mempunyai kelainan pada beberapa bagian tubuhnya.
***
"Paman, bagaimana ini? Aku tak mengerti dengan semua yang di pikirkan Gantara, ia seakan mempercayai ramalan itu. Bukankah suatu ramalan belum bisa ditentukan kebenarannya?" ucap Ningrum seraya mengadu pada seseorang.
"Ya, aku pun demikian. Apakah mungkin semua yang dikatakan ramalan itu bisa terjadi?" sahut Tanu sambil mengambilkan segelas minuman untuk Ningrum.
Tanu, merupakan Petapa sakti yang hampir berumur 2 abad. Tetua itulah yang memberikan ilmu Kanuragan dan jurus gerbang kegelapan pada Ningrum.
Dikala Ningrum terjebak dalam dimensi lain yang begitu hampa, tiba-tiba batin Tanu tergerak untuk melakukan hal sama dengan Ningrum. Hingga akhirnya tetua itu berhasil meraih tangan Ningrum dan membawanya keluar dari dimensi hampa.
Sambil menikmati secangkir ramuan jahe, Tanu menatap wajah sang bayi yang berada dalam dekapan Ningrum.
"Meskipun dia terlahir dengan keadaan yang tak lazim, tapi percayalah raut wajahnya seakan menyiratkan pesan baik padaku!" ucap tetua itu sambil memperhatikan sang bayi.
"Hemp pesan! Memangnya apa yang dia sampaikan?" Ningrum yang mendengar ucapan Tanu, tiba-tiba mengelus wajah bayinya.
"Percayalah dengan keteguhan kuat pada segala sesuatu dan keteguhan itu harus berlandaskan kebaikan. Jika itu bisa dilakukan, maka keajaiban akan menuntun kita untuk meraih kebaikan tersebut. Begitulah kira-kira pesan yang ku dapat setelah membaca raut wajahnya!"
Sontak saja ucapan Tanu membuat Ningrum sedikit terhibur. Lalu ia menyodorkan sang bayi seakan menyuruh Tanu untuk mengaisnya.
Rupanya tetua itu kebingungan mencari cara agar sang bayi berada dalam posisi nyaman saat di dekapnya.
"Siapa nama bayi ini?" tanya Tanu.
Ningrum yang menyadari Tanu sedikit kerepotan, berusaha menahan tawanya sebab rasa hormat pada tetua yang dianggapnya sebagai orang tua sendiri. Kemudian ia memutuskan untuk meminum secangkir suguhan yang telah disediakan untuknya.
"Entahlah. Aku belum sempat memberinya nama, jika Paman bersedia ... berikanlah sebuah nama untuknya!" pinta Ningrum.
"Baiklah, aku akan memberinya sebuah nama, MAESA ANABRANG!"
"Hmmp, bagus juga. Tapi, bukankah sebuah nama memiliki makna? Lalu apa makna dari nama bayiku ini?" tanya Ningrum penuh penasaran.
"Kerbau menyebrang!" celetuk Tanu sambil menyeringai.
Puaaaaaah!
Mendengar makna dari nama anaknya, Ningrum sedikit terkejut. Lalu wanita itu tak sengaja menyemburkan air yang hendak ditelannya.
"Haha, yang benar saja! Memangnya anakku seperti kerbau yang mau menyebrang?" timpal Ningrum sambil terbahak.
Tanu mengerenyitkan dahinya dan merasa kaget dengan tanggapan Ningrum. "Maksudku bukan makna asli yang harus dipakai untuknya, tapi makna lain yang tersembunyi dalam nama itu!"
"Hehe, baiklah. Tapi ... jika masih ada nama lain, aku mohon supaya Paman mencarikan nama lain yang lebih pantas untuknya. Bagaimana?" seloroh Ningrum.
Tingkah Ningrum memang seperti anak manja saat bersama Tanu, padahal umurnya sudah menginjak 26 tahun. Bahkan saat Ningrum menemui Tanu di sela waktunya, terkadang ia lupa bahwa dirinya merupakan seorang permaisuri.
"Baiklah ... aku akan beri dia nama lain. SADARGA SAE!"
"Maknanya?" tanya Ningrum sambil menaikan satu alis matanya.
"Dugaan baik. Karena wajah bayi ini seakan menyuruh kita agar selalu berperasangka baik dalam menjalani kehidupan!"
"Hmmp, boleh juga. Nama yang cukup bagus, baiklah aku akan panggil dia dengan sebutan, Sadarga!"
Akhirnya Ningrum menyetujui sebuah nama yang diberikan Tanu pada anak ke-2 nya, sekaligus menjadi anak bungsu sang permaisuri itu.
Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu. Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi. Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi. Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian. Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini. "Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu
Nun jauh disana, tepatnya di pusat istana kerajaan Labodia. Seluruh penghuni istana sedang merayakan pesta yang digelar setiap tahun sekali.Hampir semua penduduk tanah barat, terutama yang berdekatan dengan istana, datang berbondong-bondong.Walau pun hanya untuk sekedar menyaksikan beberapa pertunjukan hiburan, tapi antusias mereka lumayan besar. Mungkin itu disebabkan pertunjukan sedikit menarik karena dilakoni beberapa hewan buas dan sang pawang.Selain itu, pihak istana memberikan makanan dan hadiah bagi siapa pun yang berminat datang memenuhi undangan sang raja.Namun di sisi lain ada juga penduduk desa yang tak ingin memenuhi seruan raja itu. Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi?Keadaan jiwa penduduk di sekitar istana kerajaan saat ini, seakan terusik."Tuan, sampai saat ini kita belum mendapatkan kabar mengenai anak dan wanita itu. Lalu apa yang akan tuan lakukan selanjutnya?" ucap Dado, basa-basi.Dado merupakan seorang
Saat puluhan tentara kerajaan tiba di Desa Purbawati. Mereka langsung menyebar dan menghampiri rumah para penduduk. Hal itu dianggapnya bisa menghemat waktu. Setiap rumah di datangi 2 tentara saja.'Inikah kesatria yang sering kakek ceritakan?' gumam Sadarga dalam batinnya. 2 pria dewasa saat ini tengah mendekatinya.Di setiap pelosok Negri, para kesatria seakan terlahir dengan sendirinya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki ilmu bela diri, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.Kemudian, para Kesatria itu terbagi menjadi 2 golongan. Sebagian bergolongan putih, sebagian lagi bergolongan hitam. Para Kesatria di golongan putih, pasti mempunyai watak kepribadian yang baik, mereka selalu bersedia melindungi sesamanya. Tapi, para Kesatria di golongan hitam mempunyai watak sebaliknya. Mereka lebih condong mempunyai watak jahat.Kesatria golongan hitam sering menggunakan kemampuannya untuk mencari keuntungan sendiri, terkadang mereka merampas hak
"Wahai para kesatria, kalau boleh tahu. Ada apakah gerangan kalian datang ke tempat ku yang kotor ini?" ucap Tanu yang masih mengelus pakaian Jirah para utusan istana. Nada ucapan kakek tua itu seperti seorang pujangga yang dilanda mabuk asmara.'Tingkah kakek semakin aneh saja!' gerutu Sadarga, nampaknya ia kesal melihat tingkah kakek angkatnya.Karena mendapat perlakuan aneh dari Tanu, pria sipit nampaknya kegelian sendiri. Ia sekan tak nyaman mendapat perlakuan Tanu yang mirip seorang lelaki sedang merayu wanita."Ka-kami hanya menuruti perintah raja, Kek!""Aduhai senangnya diriku ini, didatangi 2 utusan kerajaan yang begitu murah hati. Tapi ... sepertinya ada maksud lain yang mendorong kalian datang ke tempat ini, jika tak keberatan mohon sedia beritahukan pada kakek tua ini!" tutur Tanu. Sepertinya ia benar-benar sedang merayu.Jelas saja, tingkah Tanu semakin membuat Sadarga gemas. "Kakek! Apa kamu baik-baik saja?" celetuk Sadarga."Hem
"Baiklah, ku rasa ... pertemuan kita kali ini sudah cukup! Jika esok hari rombongan itu belum datang. Maka kewaspadaan, harus tetap di dipertahankan. Karena, bisa saja kedatangan mereka mendadak di esok lusa," pungkas Tanu, mengakhiri pembicaraannya di malam itu.Setelah melakukan pertemuan dengan beberapa pendekar desa, Tanu langsung kembali ke rumahnya.Ternyata perkiraan Tanu memang terjadi dan semua rombongan dari kerajaan itu, saat ini sudah berada di depan mata.***Buur!Duar!Tiba-tiba terdengar dentuman dari balik bukit Desa Purbawati.Tepat di kaki bukit itu terdapat sebuah wilayah padat penduduk. Sadarga yang mendengarnya sontak saja terkejut, begitupun dengan 2 tamu dari istana. Walaupun mereka hanya saling menatap, tapi hal itu seakan memberi isyarat pada mereka bahea hal tak lajim sedang terjadi."Kakek! Suara apa itu?" tanya Sadarga pada Tanu. Kakek tua itu terlihat masih tenang saja."Hmmp,
"Bagaimana sudah siap, Nak?" tanya Tanu pada Sadarga. Nampak jelas bocah di hadapannya tengah selesai mengemas barang-barang."Ia Kek! Aku rasa ini semua sudah cukup," saut Sadarga."Baiklah, mari kita pergi!" pungkas Tanu.Di saat Kakek tua itu mulai melangkahkan kakinya, Sadarga hanya diam termenung. Entah apa yang dia lakukan? Sepertinya memikirkan sesuatu."Kek! Sebenarnya kita mau kemana? tanya Sadarga.Mengapa baru kali ini bocah itu bertanya? Padahal untuk sekedar berkemas barang saja, ia memerlukan waktu yang cukup lama."Kita akan pergi beberapa waktu dari tempat ini dan akan kembali lagi setelah keadaan mulai membaik," tutur Tanu memberikan penjelasan pada Sadarga."Jika begitu, mengapa tak menunggu Ibu dulu?"Sejak dari awal berkemas, Sadarga hanya memikirkan kepulangan ibunya. Pasalnya, dari pagi buta ia belum bertemu dengan Ningrum."Bagaimana ini? Atau sebaiknya ku katakan saja pada bocah ini, a
"Nak, sepertinya tempat ini lumayan aman," ucap Tanu sembari menurunkan Sadarga yang masih dalam gendongannya. "Ia, Kek!" sahut Sadarga. "Sebaiknya kita istirahat sejenak di tempat ini ... karena perjalanan kita tak akan ada akhirnya!" ucap Tanu dengan nada semakin pelan. Kakek tua itu segera membaringkan tubuh pada tanah yang di pijaknya. "Hah, tak ada akhir?" tanya Sadarga penuh penasaran. Mungkin dari tadi bocah itu menunggu kepastian, kemana tujuan Tanu sebenarnya? "Oh, tidak! Maksudku kita tak tahu arah tujuan kita," celetuk Tanu yang menggaruk kepalanya walau tak gatal. Namun kepekaan Sadarga nampaknya lebih dewasa dari usianya. Bocah itu seakan menyadari bahwa Tanu sedang menyembunyikan sesuatu. "Ayolah Kek! Jangan anggap aku masih kecil. Sebenarnya aku selalu mencurigai ibu dan Kakek. Tapi aku menunggu waktu untuk menanyakan kecurigaan itu pada kalian," cela Sadarga dengan alis mata naik sebelah. Sorot mata Sada
Saat ini Tanu tengah tertidur dengan pulas, Sadarga yang terus berteriak tak kunjung mendapatkan tanggapan."Sial! Kenapa kakek diam saja? Apa dia sudah tidur?" bisik Sadarga pada dirinya.Akhirnya bocah itu bergegas dari tempatnya. Tanpa mengetahui tujuan yang pasti, langkah kakinya terasa sedikit hampa.Namun entah apa yang terjadi pada tubuh Sadarga? Bocah itu seakan berjalan tak kenal lelah. Saat ini ratusan depa telah ia lalui tanpa hambatan apapun. Bahkan dirinya tak sadar, bahwa saat ini tengah berada di hutan belantara.Suara hewan buas mulai terdengar mengganggu telinga Sadarga, hawa dingin berkabut tiba-tiba menyelimuti. Pandangan Sadarga pun seakan terganggu dengan kemunculan kabut putih itu.Kerrr!Aaak! Aaaak! Aaak!"A-apa itu?" gumam Sadarga dalam batinnya. Ia langsung mengedarkan pandangan menyisiri setiap sudut hutan yang masih terjangkau olehnya.Setelah riuh suara hewan bersahutan, tiba-tiba Sadarga melihat baya