"Apa?! Bicara yang jelas!" bentak sang manajer."Lelaki yang ... tadi kita usir ... dia ... membeli dua mobil dari dealer sebelah, Pak."Lutut manajer itu gemetar. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri. "T–tidak mungkin!""Saya tidak bohong, Pak!" sanggah si gadis SPG. "Dia membeli mobil biasa seharga tiga puluh lima ribu dolar—""Hahaha .... kalau cuma mobil seharga itu, aku tidak hanya mampu beli dua, tapi lima, jika aku mau," potong Tuan Muda Gutierrez, terkekeh merendahkan Karel."Tapi, dia juga membeli mobil sport tercepat, varian konvertibel edisi terbatas, seharga dua koma dua juta dolar," imbuh sang SPG.Mulut Tuan Muda Gutierrez dan orang-orang yang mendengar harga mobil itu ternganga lebar.Sang manajer menepuk kening dengan pandangan berkunang-kunang. Dia baru saja melepaskan pelanggan kelas kakap yang telah masuk ke jaringnya. Bodoh!"Alah! Paling itu cuma buat gaya-gayaan. Dia pasti sadar kalau kau menguntitnya."Tuan Muda Gutierrez menyangkal fakta yang disampaikan si SPG.
"Dokter J, tolong ... saya bersedia melakukan apa saja untuk Anda asal Anda tidak membatalkan kerja sama kita."Dokter Smith memotong perkataan Karel. Ia tidak siap secara mental bila Dokter Bertangan Dewa memilih untuk meninggalkan Rumah Sakit yang berada dalam manajemennya.Ia tidak rela bila Rumah Sakit lain menampung Dokter J. Rugi bandar!"Dokter Smith, fungsi utama Rumah Sakit adalah melayani masyarakat tanpa pandang bulu. Tak membedakan strata sosial. Yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa orang. Bukankah begitu?""Ah, tentu saja. Anda benar, Dokter J!"Walaupun agak bingung dengan maksud untaian kalimat dari Karel, Dokter Smith sepakat."Menurut Anda, pantaskah putra dari seorang pemimpin Rumah Sakit besar memandang rendah orang lain di depan umum? Jika berita tersebut tersebar, bagaimana pandangan masyarakat tentang Rumah Sakit itu?"Dokter Smith, saya tidak bisa bekerja untuk Rumah Sakit yang hanya melayani kalangan atas, tapi memandang rendah rakyat jelata. Bukan sepert
Kesal dengan ulah putranya, Tuan Gutierrez menggeledah tubuh Ramos setelah mencercanya dengan kata-kata pedas.Ia merampas semua fasilitas pribadi yang selama ini memanjakan Ramos. Tak menyisakan sehelai pun kartu yang dapat menyokong keuangan Ramos.Tanpa fasilitas mewah dari ayahnya, Ramos kini seperti sapi ompong."Ayah, jangan ambil semua fasilitasku. Bagaimana aku menjalani hidup tanpa semua itu? Aku tidak mau jadi gembel, Ayah!" rengek Ramos, berusaha merebut kembali semua kartu dan kunci yang telah dirampas ayahnya.Bugh!Tuan Gutierrez menendang Ramos hingga terjengkang dan terduduk di lantai. Kemarahan membutakan mata hatinya. Tak ada rasa iba saat dilihatnya Ramos meringis sembari memegangi perut yang terasa sakit akibat hantaman kakinya."Kau bisa mendapatkan hakmu kembali kalau kau berhasil membujuk Dokter Bertangan Dewa untuk tetap bekerja pada Rumah Sakit kita!"Ramos ternganga. "D–Dokter Bertangan Dewa? A–aku tidak mengenalnya, Ayah. B–bagaimana caraku membujuknya?""Oh
Jemari kokoh lelaki beranting panjang itu membelai kasar wajah Elina.Elina berusaha melarikan wajahnya untuk menghindari sentuhan yang menjijikkan itu, tapi usahanya sia-sia. Ruang geraknya sangat terbatas."Elina, jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu. Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena aku sedang bermurah hati padamu."Aku memberimu kesempatan untuk berbakti pada Pak Tua itu." Lelaki tersebut mengarahkan wajah Elina pada Allen. "Dia ayahmu, bukan?"Elina menggeleng kuat. Ia tidak bisa bicara lantaran dagunya dicengkeram erat. Rasanya luar biasa sakit setiap kali ia mencoba untuk membuka mulut."Bawa dia!" titah lelaki beranting panjang itu pada anak buahnya yang sedari tadi tak melepaskan Elina.Perhatiannya berpindah pada Allen setelah menarik lepas tangannya dari dagu Elina."Kau beruntung hari ini, Pak Tua!" cemoohnya, merapikan kemeja lusuh Allen yang berantakan. "Kalau kau menginginkan putrimu kembali dalam kondisi masih bernyawa, serahkan orang yang kucari!""A–
Elina mundur perlahan, merapat pada dinding, kemudian bergeser masuk ke toko."A–Ayah!" Elina menderap memburu Allen yang terbaring pingsan di atas lantai dengan kening berdarah.Sementara di bagian depan toko, Karel bersiap menghadapi empat orang lelaki bertampang garang, terbakar amarah serta keinginan yang membara untuk melumpuhkan Karel.Belati dalam genggaman mereka berkilau tertimpa cahaya matahari. Memperingatkan Karel, betapa tajamnya senjata itu.Karel menarik mundur sebelah kakinya, memasang kuda-kuda. Kedua tangannya terkepal, siap dalam posisi bertahan ataupun menyerang.Jemari tangan Karel melambai santai, menantang para preman untuk melancarkan serangan pertama."Berengsek! Kau meremehkan kami!" Lelaki beranting panjang kebakaran jenggot. "Seraaang!"Serentak keempatnya melesat, menyerbu Karel dengan beragam pukulan dan tendangan.Suara 'bak-buk bak-buk' terdengar riuh."Mampus kau!"Teriakan lantang lelaki beranting panjang meraung seiring dengan tikaman belati yang meny
Karel mengayun tubuh lelaki beranting panjang untuk menangkis serangan si tambun.Begitu jerit kesakitan menggema, ia melepaskan kaki lawan yang dijepitnya dengan dorongan kuat.Tubuh lelaki beranting panjang menyapu dada si tambun. Menyebabkan keduanya jatuh terempas dengan posisi berimpitan.Ceceran darah dari luka lelaki beranting panjang menyebarkan bau amis yang mengundang ribuan lalat."Tinggalkan tempat ini! Sebelum aku berubah pikiran," tegas Karel, memberi kesempatan kepada si tambun untuk menyelamatkan temannya yang terluka.Nalurinya sebagai dokter masih menyisakan sedikit kepedulian melihat luka lelaki beranting panjang terus mengalirkan darah."T–terima kasih, Tuan!"Cepat-cepat si tambun menyingkirkan badan lelaki beranting panjang dari tubuhnya.Tanpa banyak kata, ia memanggul sosok sang pimpinan, membawanya ke mobil mereka yang terparkir, tidak jauh dari toko.Karel tak lagi memperhatikan apa yang dilakukan si tambun selanjutnya. Ia berlari masuk ke toko. Mengecek peny
Saking laparnya, Karel makan dengan lahap tanpa sedikit pun mengajak Kevin bercakap-cakap.Karena Kevin telah memasak untuknya, Karel berinisiatif mengambil alih tugas mencuci piring dari tangan Kevin."Hei, hei ... mau ke mana, Bro? Aku ditinggal sendiri nih ceritanya? Malang banget nasibku," cerocos Kevin begitu Karel turun lagi dari lantai atas dengan menenteng jaket."Mau ikut? Kau yang jadi sopir." Karel melempar kunci mobil di genggamannya pada Kevin."Eeh, tumben keluar malam?" ledek Kevin, mendugas mendatangi Karel."Kesambet ya?" Kevin meraba kening Karel.Karel menepis tangan Kevin. "Mau ikut, tidak?""Ohw, pastiii ... jarang-jarang diajak hang out malam-malam begini. Siapa tahu ketemu cewek bohay—"Celotehan tak bermakna dari Kevin terputus begitu Karel melesat menuju pintu depan."Aduh, Booos! Tunggu dooong ... yaah, malah makin ditinggal."Setengah berlari, Kevin memburu Karel.Hanya butuh sekejap bagi mereka untuk duduk di dalam mobil.Penjaga gerbang bergegas membuka pi
"Aku bukan satu-satunya dokter di dunia ini. Bukankah selama ini Rumah Sakit kalian tetap bisa beroperasi walau tanpa aku?"Menyingkirlah! Kau mengacaukan agenda pentingku."Ramos berjuang untuk dapat menekuk pinggangnya. Keringatnya bercucuran menahan sakit saat ia memaksakan diri untuk bersujud di hadapan Karel."Tolong, Tuan ... hanya Anda yang dapat menyelamatkan hidup saya, dan juga Rumah Sakit kami. Jika Anda membatalkan kerja sama, reputasi Rumah Sakit kami akan makin terpuruk."Ramos merengek tanpa rasa malu. Urat malunya telah putus setelah ia tafakur merenungi perubahan perilaku ayahnya.Biasanya ayahnya hanya menegur secara halus setiap kali ia melakukan kesalahan. Lelaki paruh baya itu juga tak pernah keberatan untuk membereskan segala kekacauan yang ia timbulkan.Namun, reaksi yang berbeda ditunjukkan ayahnya saat ia menerima pengaduan tentang Karel.Lelaki penyabar itu murka, bahkan ia tidak berpikir dua kali untuk mencabut semua fasilitas untuk dirinya.Tangan Ramos ber