POV MARIA
Pagi ini aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya, kejadian kemarin membuatku menyisakan rasa kesal yang sangat menganjal di hatiku. Ya semua gara-gara kejadian kemarin, Andre meninggalkan aku begitu saja di hari ultahku. Andre tanpa pamit, pergi entah ke mana.
Begitu tiba di sekolah aku langsung mencari Andre di kelas.
"Andreee!" panggilku ketika sampai di kelas dan aku langsung mendatangi mejanya.
"Ada apa sayang?" tanya Andre sambil tersenyum dan wajah tanpa dosa.
"Kenapa kemarin kamu tega banget ninggalin aku?" kataku sambil menahan rasa kesal di hati.
Mendengar pertanyaanku, Andre mengerjapkan matanya. Seakan dia baru mengingat apa yang sudah dilakukannya.
"Aduuhh Maaf sayang, kemarin darurat banget. Aku harus pergi, ada urusan yang sangat penting, jadi sekali lagi maaf ya," jawab Andre dengan wajah yang memohon sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dadanya.
"Huh, apakah sampai segitu pentingnya hingga tak ingat untuk pamit padaku, apa susahnya sih untuk bilang," kataku sambil menatap tajam ke arah Andre. Kalau tak ingat dia adalah pacarku, ingin rasanya aku langsung menamparnya.
"Iya sayang, maafin aku ya," kata Andre yang berdiri meraih dan mengenggam kedua tanganku.
"Gampang banget kamu minta maaf, padahal kemarin aku sangat membutuhkanmu Dre," jawabku sedikit menurunkan suara, ketika menyadari teman-teman sekelasku sudah mulai memperhatikan kami. Ditambah oleh hatiku yang seakan mulai luruh dengan pandangan sedih mata Andre.
"Ahhh... sudahlah. Benci aku! Lain kali kalau kamu lakukan lagi, aku tak akan memaafkanmu!" kataku sambil menepiskan genggaman tangannya, lalu aku pun berbali menuju mejaku sendiri. Melihat aku yang berbalik, Andre langsung bangkit dari kursinya dan mengikutiku.
"Sayang..., please jangan marah ya," rajuknya sambil mengikutiku lalu duduk di kursi sampingku. Setelah sebelumnya meminta teman sebangkuku untuk pindah.
Teman sebangkuku yang bernama Ranti, hanya tersenyum tipis oleh kelakuan Andre. walaupun begitu, Ranti langsung bangkit dan melemparkan senyum yang penuh arti padaku. namun sayang aku tak mengerti arti senyuman dia.
"Aku janji sayang, sudah ya jangan marah lagi dong," kata Andre sambil kembali mencoba memegang tanganku, yang langsung aku tepiskan begitu saja.
"Sayang...., maafin ya?!" kata Andre dengan nada yang menyesal. Hubungan kami yang belum lama dan aku begitu menyukai Andre, melihat wajahnya yang terus memasang ekspresi seperti itu hatiku luluh juga.
"Hmm..., kamu janji gak akan mengulangi lagi?" tanyaku dengan tandas.
"Iya sayangku Maria..., di jamin aku tak akan mengulanginya," jawab Andre.
"Ok aku maafkan, tapi jangan pernah di ulangi lagi," jawabku sambil menatap wajah Andre dan mencari kesungguhan dari matanya. Andre mengangguk dengan pasti.
"Kamu gak tahu sih.., gimana kemarin aku. sudah bajuku kotor, lupa gak bawa ganti. nyari kamu, gak ketemu. ehh kamu malah sudah tak ada di sekolah, ninggalin aku," gerutuku menumpahkan kekesalan pada Andre.
"Iya aku tahu, maaf ya sayang, kemarin beneran darurat, orang tuaku membutuhkan aku secepatnya dan aku gak mungkin tak menuruti mereka, saat mau pamit, aku melihat kamu sangat menikmati suasana, jadi aku tak tega untuk menggangumu," kata Andre memberi alasan.
"Kamu kan bisa chat aku, jadi aku tahu kamu pergi," sanggahku lagi.
"Iya sayang, aku tak berpikir ke satu," jawab Andre pelang.
Aku jadi tak tega untuk meneruskan marahku padanya, dan aku pun tak mau memperpanjang masalah.
"Hmmm..., kalau gitu sebagai permintaan maafmu, besok ajak aku nonton,"jawabku dengan nada yang seakan memaksanya.
"Oke sayang..., dengan senang hati, besok aku jemput ya," kata Andre, senyum manisnya kembali menghiasi wajah tampannya.
Melihat ekspresi Andre yang seperti itu, jadi teringat saat dia nembak aku. Cara nembak Andre bikin aku ngerasa tak bisa nolak dengan alasan apapun, saking manisnya. ketika hari valentine, Andre memberikan aku coklat satu kardus dengan hiasan I Love You di atasnya. Saat itu, Andre mengundangku untuk datang ke restoran bakso, awalnya dia mentraktirku makan Bakso lalu dengan gaya seorang gentlemen, dia menghampiri mejaku dan menyodorkan coklat. Terus dia bilang, " kalau kamu ambil coklat itu berarti kamu terima aku, kalau tidak maka kamu nggak nolak aku." huh gimana aku bisa bilang tidak, pilihan yang dia kasih kan sama saja. Hahahaha...., dasar Andre.
Melihat senyuman Andre, aku pun membalasnya dan memintanya untuk kembali ke mejanya, sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Andre bergegas beranjak dari sampingku untuk kembali ke mejanya, tanpa sadar mataku mengikuti kepergian Andre, dan saat itu aku melihat Ray yang sedang menunduk dengan sebuah buku tebal di tangannya. Apa sih yang dibacanya, majalahkah, tapi kok tebel banget. Pikirku penasaran.
Guru Fisika memasuki kelas, semua murid langsung merapihkan duduknya. Aku menoleh ke arah Ray, dia langsung menutup buku tebalnya dan menyimpannya ke dalam tas, mungkin aku kelamaan melihatnya hingga Ray menoleh padaku. Sesaat tatapan kami beradu, namun aku pura-pura melihat ke arah lain. Wajah Ray lumayan ganteng, cool dan tak banyak bicara, setelah kemarin dia menemui Ayah, dan aku tahu ceritanya , sekarang aku jadi ingin menyapanya, atau mungkin ingin dekat. Benar-benar deh aku, padahal aku sekelas terus dari kelas satu, tapi tak pernah kepikiran untuk menyapanya.
Kadang saat melihat Ray, ada sesuatu yang aku ingin ungkapkan. Namun Ray sangat beda dengan cowok-cowok lain di sekolahku, mereka biasanya selalu ingin mencari perhatianku walau tahu aku sudah jadian dengan Andre. Ray, dari pertama aku kenal dia hanya menyapaku seperlunya. Sikapnya itu bukan padaku saja, ternyata pada yang lain juga seperti itu bahkan lebih parah.
Ini benar-benar Gila, sepanjang pelajaran Fisika, beberapa kali tanpa sadar aku menoleh ke arah Ray. Hingga aku sama sekali tak menyimak apa yang diterangkan oleh guru di depan sana.
"Mar, lihat apa sih?" bisik teman sebangkuku sambil melihat ke arah mana pandanganku.
"Ehh..., apaan aku gak lihat apa-apa kok," jawabku agak tergagap.
"Yeee..., dari tadi kayak gak tenang gitu deh, jangan-jangan kamu masih khawatir ya sama Andre," tanyanya kepo.
"Hehehe..., gak lah, aku sudah baikan kok," jawabku santai.
"Maria...," teriak ibu Guru memanggil namaku, aku sontak terkejut dan terdiam.
"Kalau kalian masih mau ngobrol, lebih baik kalian keluar kelas saja," lanjut bu guru dengan dingin.
"Ohhh..., tidak Bu, Maafkan kami," kataku dan Ranti sambil menunduk.
"Baik, kita lanjutkan pelajaran."
Duhh..., gara-gara Ray aku jadi malu. Belum lagi tatapan teman-temanku yang sebagian terlihat sambil senyum-senyum menatap ke arahku. Andre saja terlihat seperti itu, mungkin dia ngerasa kalau aku sebentar-sebentar melihat ke arahnya. Padahal mataku mengarah pada Ray yang duduk disebah bangkunya.
POV Maria Bel jam istirahat sudah berbunyi, Andre menghampiriku untuk mengajakku ke kantin sekolah. Namun aku menolaknya secara halus. "Kenapa sayang, kamu masih marah ya?" tanya Andre. "Nggak kok, Aku hanya mau ke perpustakaan sebentar," jawabku sambil tersenyum pada Andre. "Ohh Ok, mau aku temanin?" Tanya Andre. Aku hanya mengelengkan kepala menjawabnya, karena tahu Andre bukan type cowok yang mau sempatkan waktu mengunjungi perpustakaan, kecuali sangat mendesak. "Ok sayang..., aku ke kantin ya," kata Andre sambil keluar dari kelas bersama beberapa tema. Setelah Andre keluar aku pun segera mengambil jaket milik Ray yang ada di tas ranselku. Kemudian aku menghampiri Ray dan memberikan jaketnya. "Makasih ya Ray," kataku sambil menatap Ray yang masih asyik dengan buku tebal yang tadi aku lihat. Ray menegadahkan wajahnya dan menatap aku sekilas, lalu meneri
POV Maria Kurang lebih setengah jam kemudian setelah terlibat kemacetan kami pun sampai di panti asuhan KASIH IBU. Bangunannya lumayan tua. Terlihat ada patung Bunda Maria berdiri di depan gedung. Setelah mobil di parkir di tempat parkir, kami pun keluar. Seorang suster menyambut kami. "Ray, kamu bersama siapa?" tanyanya sambil menatap ke arahku dan Ayah. "Suster Elizabeth, kenalkan ini Detektif Johan dan putrinya," jawab Ray langsung memperkenalkan kami. "Oh, Tuhan Memberkati kalian. Ada keperluan apa detektif sampai datang ke tempat ini?" tanya Suster Elizabeth keheranan. "Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan tentang Ray, kalau boleh," jawab ayahku, sambil melirik Ray. "Hmm.. baiklah, mari ikut!" kata Suster Elizabeth yang sebelum menjawab, melihat ke arah Ray. Ray mengangguk seperti meng-iyakan, dan Kamipun langsung menuju ke dalam panti. "Maaf Saya pe
POV MARIA Sesuai janji Andre, sore ini kami berrencana pergi nonton ke bioskop pusat kota. Satu syarat yang aku ajukan untuk memaafkan Andre karena sudah meninggalkanku di hari ulang tahunku. Aku berdandan dengan make up natural, rambut aku biarkan tergerai, “cantik...” gumamku sambil tersenyum sendiri. Semuanya untuk Andre. Aku perhatikan kembali penampilanku di cermin, malam ini aku mengenakan celana pendek sepaha, kaos lengan edung yang dilapisi lagi dengan jaket jeans lalu melilitkan syal tenun dileher untuk menjagaku tetap hangat bila kena angin malam. Kaos kaki edung yang menutupi lutut hingga sepatu boots kesayanganku. Berjalan santai keluar dari kamarku, Sesaat melirik ke arah meja belajarku dan memperlambat jalanku. Pandanganku tertuju pada hadiah pemberian Ray. Entah kenapa aku tersenyum melihatnya. Seolah-olah boneka salju itu berbicara kepadaku menuruni tangga menuju ke ruang keluarga, di mana kedua orang tuaku sedang
POV RAY Malam ini perasaan suntuk membuat langkahku sampai di gedung bioskop pusat kota, sejak kepergian Alex dan Troya, tak ada lagi yang bisa menemaniku saat-saat seperti ini. Berkeliaran sendiri membuatku bebas memilih film yang akan kutonton. Ternyata walau malam minggu, bioskop tak sepenuh biasanya, aku masih bebas memilih kursi. Film sudah diputar dari sepuluh menit yang lalu, dengan diatar petugas aku masuk dan menuju kursi yang ditunjuk petugas sesuai nomor yang ada di tiket. Begitu mau duduk aku malah dikejutkan dengan orang yang aku temui dam duduk disamping. kebetulan yang membuatku merasa senang namun sekaligus menyesakkan. Maria duduk di sebelahku, tapi ada Andre juga di sampingnya. Sepanjang pemutaran film, aku hanya bisa terdiam, hanya sepatah kata yang keluar dari mulut, itupun hanya untuk say hello saja pada mereka berdua. Hatiku sesak melihat cewek yang aku suka sedang berkencan dengan pacarnya. Ya
POV DETEKTIF JOHAN Hujan gerimis masih membasahi bumi malam ini, Aku masih duduk di belakng mejaku dan memandang ke arah luar jendela. Jam di dinding sudah menujukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, namun putri kesayanganku belum juga pulang. Masih terbayang dimataku cara putriku berpakaian, dia memakai baju yang menurutku dapat memancing lawan jenis untuk berpikir yang tak senonoh apalagi saat hujan gerimis seperti malam ini. Andre, memang cukup tampan, wajahnya cukup dia jadikan modal untuk menarik perhatian para gadis dan aku mempunyai dugaan kalau Andre itu seorang playboy. Putriku yang berparas cantik rasanya tak rela bila harus jalan bersama Andre. Ya wajah cantik putriku berasal dari perpaduan serasi antara wajah istriku dan aku. Begitupun dengan Justin, mereka berdua mewarisi semua kebaikan yang ada pada kami berdua. Setiap menit berlalu, Aku makin gelisah menunggu kedatangan Maria. Mungkin aku terlalu berlebihan
POV RAY "Aww... ampun!" seruku sambil meringis saat ibu asuh menjewer telingku. Beliau sudah menungguku di pintu. "Ray, lihat Ini sudah jam berapa?" kata ibu Asuh sambil tangan kanannya masih menjewer telingaku. "Ibu sudah beberapa kali bilang, jangan keluyuran malam-malam. Anak-anak lain saja tidak ibu ijinkan untuk pergi sampai selarut ini! Kamu malah pergi begitu saja selesai kebaktian," kata Matron mengomeliku. "Iya maafkan Ray, matron," kataku sambil memegangi tangannya minta Matron melepaskan jewerannya. "Ray, ibu sangat khawatir kepadamu. Apa tadi Kamu bertemu orang-orang aneh?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, mungkin karena rasa khawatirnya, tapi apa yang beliau dengan maksudn orang-orang aneh? "Orang Aneh? Tidak Matron, tadi saya Cuma bertemu preman-preman yang ingin memalak," jawabku. "Preman, di mana, kamu tidak terluka kan?" tanyanya terlihat panik, lalu dengan mata
POV Ray Lembaran itu ternyata berisi artikel yang menjelaskan tentang sebuah sekte yang bernama Dark Lantern. Sekte yang menganggap kelompoknya sebagai pembawa Messenger of Mesiah. Maksudnya apa? Sambil meneruskan membaca artikel-artikel itu, aku coba memikirkan apa sebenarnya hubungannya denganku dan orang tuaku. Namun ketika membaca kalau sekte itu memburu orang-orang yang dianggap mempunyai kekuatan iblis, aku baru mengerti. Kekuatan iblis yang di maksud dalam artikel itu adalah kekuatan yang aku dan teman-temanku miliki. Agni pengendali api, Alex pengendali air, Troya pengendali tanah dan kekuatan yang kumiliki, juga berbagai macam kemampuan yang tak dimiliki oleh manusia biasa pada umumnya. Di artikel itu juga Aku melihat gambar sebuah simbol yang sama seperti yang ada pada saputanganku. "Ini cuma cerita bohong kan, mana ada kekuatan iblis?" tanyaku, setelah membaca semua isi artikel yang diberikan detektif Johan
POV DETEKTIF JOHAN Menyelidiki Dark Lantern, membuatku tenggelam dalam sebuah kenyataan yang bertentangan dengan logikaku sendiri. Semakin banyak aku menggali informasi, aku seperti menapaki jalan menuju kegelapan. Kadang merasa kalau saat ini aku terbawa pada sebuah kisah fiksi dan sedang berusaha untuk memahami apa yang terjadi di sekelilingku, semakin aku meragukan keberadaan sekte ini, semakin banyak bukti yang aku dapatkan. Aku membaca sebuah nama yang ada dalam artikel itu. Nama itu mengantarkan aku pada sebuah ingatan dalam kasus tujuh belas tahun yang lalu, Thomas van Bosch. Apa hubungannya dengan William van Bosch, jasad yang dulu kami temukan? Banyak pertanyaan yang ingin segera terjawab, aku pun menuju ke kantor Inspektur James, rupanya dia sudah menunggu-nunggu kedatanganku. "Hai Piere. Bagaimana kabarmu?" sapa inspektur James yang menyambutku di kantornya. "Aku baik-baik saja. Aku bu