POV RAY
Ruangan sekarang menjadi terang lagi. Dengan susah payah aku berdiri sambil memegangi dadaku yang terluka. Mataku mulai berkunang-kunang. Darah sudah banyak yang keluar sepertinya. Tapi aku masih harus berdiri.
"Creator?" kata Thomas. Tidak. Ia bukan Thomas. Dia Azrael yang telah mengambil alih tubuh Thomas.
"Azrael?! Kenapa kamu tidak menjadi tubuhmu saja yang besar itu?" tanyaku.
"Justru wujud manusia adalah wujud yang paling sempurna menurutku. Aku cukup menjadikan tubuhnya sebagai vesel untuk kebangkitanku. Segar sekali rasanya setelah lama terkurung di kegelapan oleh lima creator terkutuk itu selama ribuan tahun. Dan aku tak perlu membunuh mereka karena mereka sudah mati. Hahahahahah," kata Azrael.
"Ugh!" rasa sakit didadaku. Ah...darah. Darah itu elemen air bukan? Aku terpaksa melakukannya. Obati lukaku siapa namamu? Dia tidak bernama. Tolonglah. Ahh...aku tertolong. Lukaku mulai tertutup.
Mohon dukungannya dengan cara subribe, berikan komentar berupa kritik dan saran, VOTE, atau kamu bisa menambahkan Novel ini ke dalam pustakamu. Terima kasih readear!
POV RAYAku berlari menghampiri Azazel yang masih berlutut di depan kursi kebesarannya. Tanpa banyak berkata lagi aku menerjang dengan pukuran dan tendangan yang yang bertubi-tubi. Dia sekarang tak lebih dari seorang manusia pengguna elemen, kekuatan yang ada pada tubuh Thomas hanya kekuatan milik Thomas saja.DUESH!Azazel beberapakalu terpelanting, walau begitu dia masih bisa bertahan dengan kekuatan elemen milik Thomas. Azazel pun berusaha untuk balik menyerangku dengan mengeluarkan elemen tanah dan membentuk sebuah palu besar, lalu diayunkan palu itu ke arahku sambil melompat. Aku bersiap menunggunya dengan membentuk palu yang lebih besar dari milik Azazel. Begitu serangan palu Azazel mendekat, dengan kekuatan palu yang aku buat, aku hancurkan dengan sekali hantaman paluku.Azazel bergerak secepat kilat dengan elemen petir, melontarkan panah-panah petir yang dengan mudah aku tangkis. Dia pun berusaha untuk lari, tapi aku tak akan melepas
Malam terus merangkak sepi, secangkir espresso cukup kembali menyegarkan pikiranku yang bergelut dengan tumpukan kertas yang berisi berbagai kasus yang sedang aku selidiki. Suara ponselku berbunyi, memecah konsentrasi. Suatu hal yang sangat tidak aku sukai, namun kadang yang paling aku tunggu-tunggu. Aku memiliki dua ponsel yang digunakan untuk pribadi dan untuk urusan pekerjaan. Kali ini yang berbunyi ponsel untuk urusan kerja. "Hallo, Inspektur James," sapaku membuka percakapan di ponsel itu. "Ya hallo, Piere.sorry mengganggu tidurmu. Kami baru saja menemukan mayat yang berlokasi di dekat tempat tinggalmu. Kamu bisa segera datang ke sini?" Jawabnya. Inspektur James Sukoco adalah teman baikku. Seorang inspektur polisi bagian kriminal yang sering meminta bantuanku untuk kasus yang dihadapinya. Bagiku sering kuartikan 'ada kasus, ada uang' Aku langsung bangun setelah memberikan kecupan hangat untuk istriku yang masih terlena dengan orgasme yang ia rasakan tadi
POV DETEKTIF JOHAN Hari ini seluruh media sosial dan televisi dihebohkan dengan pernikahan Ezra Natapradja, anak laki-laki dari pemilik perusahaan Wihardja Group dengan seorang artis penyanyi ternama Avanti. Maria anak pertamaku adalah salah satu penggemar lagu-lagu dari Avanti. Sejak awal Ezra Natapradja dan Avanti berpacaran, Maria tidak pernah mau ketinggalan mengikuti beritanya di infotainment. Menurut anakku, perjalanan kisah cinta pasangan Ezra Natapradja dan Avanti benar-benar romantis. "Entahlah nak, ayahmu ini tidak tertarik untuk mengikuti berita semacam itu. Ayah hanya tertarik menerima dan memecahkan kasus, karena dengan hal itulah kamu bisa sekolah sekarang ini." Beberapa waktu lalu ada siaran LIVE di salah satu stasiun televisi swasta, aku dan istriku sempat menonton siarannya, acara di mana Ezra melamar Avanti. Aku ikut terharu menonton acara tersebut, terlebih istriku, bahkan dia sampai meneteskan air mata. sampai
POV MARIA Namaku Maria, anak pertama dari seorang detektif ternama bernama Johan Maheswara. Hari ini usiaku genap 17 tahun. Pagi tadi Ayah, Bunda dan adikku Justin memberikan kejutan yang bagiku luar biasa. Ayah memberiku hadiah sebuah arloji kinetik yang memang sudah lama sekali aku ngebet untuk memilikinya, namun harganya selangit bagiku, ibaratnya uang jajanku selama dua tahunpun belum tentu bisa kebeli. Ehh..., siapa sangka ayahku yang membelikanku sebagai hadiah ulang tahun. Arloji yang sangat cantik, karena ada untaian seperti kristal di angka 12, 3, 6 dan 9. Lagipula jam ini tak memerlukan batteray. Itulah yang aku suka, jadi langsung kupasang manis di pergelangan tangan kiriku. Berangkat sekolah Aku terbiasa naik monorail dan disambung dengan jalan kaki. Sekolahku tak jauh sih dari pemberhentian monorail portable. Hingga Aku bisa sempatkaan menyapa teman-teman yang juga memang naik monorail. "M
POV Maria Hari ini terasa terasa begitu panjaang karena kehebohan yang menimpa padaku, apalagi saat bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini alias bel waktu pulang sekolah. Aku pasrah jadi objek bulan-bulanan teman-temanku. Kejadian bermula saat aku keluar dari kelas, tiba-tiba beberapa teman cewek mengajakku untuk pulang bareng, namun ketika baru melewati pintu kelas, mereka menutup kepala dan wajahku hingga menyeretku kembali duduk dikursi dan diikat dengan selotif. Dalam keadaan tangan dan kaki terikat juga mulut yang dibekap lakban, aku dilempari tepung dan telor hingga diguyur air. Haduuuuhhh...ini tradisi macam gini siapa sih yang mulai. Aku hanya bisa menggerutu saat baju seragamku menjadi kotor banget. Setelah mereka puas mengerjaiku, aku diperlakukan seperti layaknya putri raja pokoknya. Sungguh mengasyikan. Memang agak gila sih..., apalagi saat aku harus pulang dengan baju sekotor ini?? Huhuhuhu....tega ih mereka. Sebelum
POV Ray Aku cukup di panggil dengan nama Ray, sejak kecil aku tinggal di panti asuhan Kasih Ibu. Setiap orang mengenalku sebagai anak yang hidup sebatangkara atau yatim piatu, tapi sejak beberapa waktu lalu aku yakin kalau keberadaan kedua orang tuaku masih ada dan mengawasiku dari jauh. Saat aku masih bayi, seseorang meninggalkanku di depan panti asuhan KASIH IBU. Saat ini usiaku sudah tujuh belas tahu dan aku harus tahu dimana keberadaan kedua orang tuaku, meskipun hanya sebuah sapu tangan yang merupakan satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Kehidupanku di panti, cukup membuatku merasakan kasih sayang walau terkadang rasa sepi menjalar di dalam hatiku. Kami anak-anak panti tak pernah kekurangan apa pun, semua kebutuhan kami terpenuhi oleh pemilik panti. Itu sebelum ibu pemilik panti bercerita padaku. Sejak keberadaanku di panti, pemilik panti selalu mendapat kiriman sejumlah dana yang langsung masuk ke rekening pribadinya. &n
POV Ray Sampai di sebuah rumah yang terbilang cukup sederhana namun terawat apik. Aku dipersilahkan untuk masuk ke kantor detektif Johan yang berada disebelah pintu masuk utama di rumahnya. Sebuah ruangan kantor yang tak begitu besar, begitu masuk terdapat sebuah sofa besar dan 2 kursi yang berada di depan meja kerja besar, disampingnya jajaran rak buku berisi buku-buku dari berbagai penulis yang melekat ke dinding. Sebuah ruangan kantor yang nyaman namun lebih mirip dengan ruang konsultasi klien. Terdapat juga sebuah mesin pembuat kopi yang di atasnya terdapat tulisan 'Gratis untuk klien'. Aku duduk di sofa, menunggu detektif Johan yang punya kantor jasa ini masuk ke ruangan. Rasa deg-degan membuatku tak bisa berhenti untuk mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Di meja yang berlapis kaca, terdapat sebuah asbak bersih ditengahnya, berarti belum banyak klien yang datang ke kantor ini atau mungkin sebuah keberuntungan bahwa semua klien detektif in
POV DETEKTIF JOHAN Pagi ini suasana rumah seperti biasa hiruk pikuk dengan kedua buah hati kami yang saling menggoda satu sama lain sehingga timbul keributan kecil yang ujung-ujung selalu memanggilku untuk melerai keduanya. Maria yang senang sekali mengerjai Justin, begitupun dengan Justin yang sering merasa kesepian bila tak mendengar omelan kakaknya. seperti saat ini, Maria membuat Justin harus berputar-putar untuk menemukan sebelah sepatunya yang disembunyikan."Ayaaahhh!" suara teriakan Justin seakan memekakkan telingaku. "Maria, apa lagi yang kamu lakukan pada adikmu?" tanyaku sambil keluar dari ruang kerja. "Tak ada kok, Yah. itu dasar Justin saja yang cari perhatian Ayah," jawab Maria sambil tetap duduk di sofa pura-pura membaca buku. Biasanya bila sudah seperti itu, aku akan memanggil keduanya dan mengajak mereka untuk bicara. seperti saat ini, aku sudah duduk di antara kedua anakku, Maria dan Justin. Seb