POV DETEKTIF JOHAN
Pagi ini suasana rumah seperti biasa hiruk pikuk dengan kedua buah hati kami yang saling menggoda satu sama lain sehingga timbul keributan kecil yang ujung-ujung selalu memanggilku untuk melerai keduanya. Maria yang senang sekali mengerjai Justin, begitupun dengan Justin yang sering merasa kesepian bila tak mendengar omelan kakaknya. seperti saat ini, Maria membuat Justin harus berputar-putar untuk menemukan sebelah sepatunya yang disembunyikan.
"Ayaaahhh!" suara teriakan Justin seakan memekakkan telingaku."Maria, apa lagi yang kamu lakukan pada adikmu?" tanyaku sambil keluar dari ruang kerja.
"Tak ada kok, Yah. itu dasar Justin saja yang cari perhatian Ayah," jawab Maria sambil tetap duduk di sofa pura-pura membaca buku.
Biasanya bila sudah seperti itu, aku akan memanggil keduanya dan mengajak mereka untuk bicara. seperti saat ini, aku sudah duduk di antara kedua anakku, Maria dan Justin. Sebelum duduk dengan mereka, aku sempat menerima telepon dari inspektur James. Mereka terlihat diam-diam memperhatikan percakapanku dengan inspektur James.
"Ayah, bolehkan aku tahu kenapa inspektur James selalu memanggilmu dengan nama Piere?" tanya Maria sambil manatap wajahku, begitupun dengan Justin.
"Iya Yah, aku juga ingin tahu, tiap kali aku angkat telpon dari inspektur James dia selalu menyebut nama Piere pada Ayah," kata Justin menambahkan.
Sesaat aku menatap keduanya, ada rasa geli di hatiku dengan keingin tahuan kedua anakku ini, baru sekarang mereka menanyakan tentang nama Piere. Walau aku tahu, mungki mereka sudah lama ingin bertanya hanya saja kesempatannya yang jarang ada. Apalagi bila aku sudah sibuk dengan kasus-ksus yang aku tangani.
"Hmmm..., Ceritanya panjang, apa kalian mau dengar sekarang?" tanyaku sambil menatap mereka bergantian lalu mataku beralih pada jam dinding. Ahhh masih ada waktu, pikirku.
"Iya dong Yah, lagian masih pagi ini," kata Maria yang mengikuti arah pandanganku tadi.
"Baiklah, dulu ayah dan inspektur James tergabung dalam satu kesatuan di kepolisian, kami berfatner cukup lama, dan karena dia juga semua anggota kesatuan memanggil Ayah dengan nama Piere," jawabku.
"Kalian tahu, gara-gara nama Piere itu, ayahmu sempat disebut sebagai orang hilang," sambung istriku sambil tersenyum menghampiri kami.
"Ahh kok bisa begitu? Emang seperti gimana kejadiannya?" tanya Maria semakin penasaran.
"Iya Yah, cepat dong ceritain," sambung Justin. Sama-sama antusias dengan ceritaku. Aku melirik ke arah istriku, dia langsung mengerti dengan bahasa mataku.
"Sudah biar bunda yang cerita, gini kejadiannya kenapa disebut orang hilang. Saat itu ayahmu sedang bertugas di jepang, dan terjadi gempa bumi yang dahsyat. Ayahmu kebetulan sedang berada di lokasi gempa tersebut dan menjadi salah satu korban. Inspektur James yang panik kerena sahabat baiknya belum ditemukan, langsung minta bantuan untuk mencari korban bernama Piere. Namun yang terdata sebagai korban yang sudah di evakuali adanya atas nama Johan. Jadi tim SAR kembali melakukan pencarian atas nama Piere itu, namun jelas sekali kan, itu tak mungkin ditemukan. Hingga akhirnya Piere dinyatakan hilang," cerita istriku sambil menatapku dan tersenyum.
"Kenapa nama Piere itu, Bun?" Kata Maria kembali ke pertanyaannya.
"Itu Ayah yang jelaskan," kataku sambil menarik napas, mengingat kembali peristiwa belasan tahun silam saat masih aktif di kesatuan kepolisian militer.
"Saat itu di kesatuan, setiap tahun kami selalu mengadakan kejuaran olah raga dan ayah mengikuti cabang olah raga tinju, bahkan Ayah berhasil memenangkan kejuaraan antar kesatuan dikepolisian. Inspektur James yang merupakan sahabat Ayah, dia tahu kalau gaya bertinju ayah diadaptasi dari gaya bertinju Piere Zangief, seorang atlet tinju berkebangsaan Rusia yang memenangkan lima sabuk kejuaraan WBF dan WBC," ceritaku sambil pikiranku seakan terbawa kembali ke masa itu.
"Wow... hebatt, jadi Ayah mantan juara tinju?" Potong Justin.
"Ya..., ya..., ya, aku tahu, tapi kenapa ayah mengidolakan Piere Zangief?" Tanya Maria tak sabar.
"Wah..., wah.. anak-anak bunda seperti lagi wawancara Ayah aja," celetuk istriku yang dari tadi hanya ikut menyimak.
"Tentu saja style bertinju dia, Ayah sangat suka. Piere Zangief punya pukulan Hien, sebuah pukulan yang bisa berubah menjadi Upper Cut, Hook, maupun jab dalam satu gerakan. Dan dengan Hien pula ayah dapat memenangkan setiap babak dalam kejuaraan itu. Nah sejak itulah inspektur James selalu memanggil Ayah dengan nama Piere."
"Oh, begitu ceritanya," kata Maria dan Justin bersamaan.
"Iya, apa ada yang ingin kalian tanyakan lagi?" tanyaku. tapi keduanya langsung menggelengkan kepala. aku pun kembali melihat ke arah jam dinding.
"Ohh ya Maria, nanti kamu pulang sekolah jam berapa?" Tanyaku sebelum kedua anakku bangkit dari duduk.
"Seperti biasa dong Yah, ada apa?" tanya Maria.
"Ayah nanti akan mampir ke panti asuhan tempat Ray, kamu mau ikut sama Ayah? Ray kan temanmu jadi sekalian kamu tunggu ayah pulangnya, kita berangkat ke panti sama-sama," ajakku.
"Aku gak sekalian dijemput Yah?" tanya Justin.
"Sekolah kamu kan dekat, Justin," kata istriku.
"Hmmm..., gimana ya, Yah? Sebenarnya aku nggak akrab dengan dia," kata Maria dengan wajah yang sedikit enggan.
"Ayolah sayang..., masa sama teman begitu, bukannya dia anak yang baik?" Kataku berusaha membujuknya.
Aku berharap Maria bisa melihat secara langsung bagaimana kehidupan anak-anak panti asuhan, agar kepedulian terhadap sesamanya semakin kuat."Ahh Ayah..., tapi baiklah," kata Maria sambil memutar bola matanya, lalu beranjak untuk bersiap berangkat ke sekolah, menyusul Justin.
"Ayah, bunda, aku berangkat!" Seru Justin sambil berlari keluar mengambil sepedanya.
"Justin! Tidak sarapan dulu?" teriak istriku sambil menatap Justin yang sudah melambaikan tangan dan pergi.
"Aku juga berangkat ya," kata Maria sambil mencium pipiku dan istriku bergantian.
"Daah...,!" Maria berlari menyusul Justin sudah berada di luar rumah, dia agak terburu-buru untuk mengejar monorail.
"Bun, hari ini ayah ada urusan di kantor catatan sipil, setelah itu mau ketemu inspektur James, mungkin gak bisa makan siang di rumah, sorenya Ayah mau ke panti jadi Ayah akan pulang terlambat," kataku seperti biasa memberitahukan jadwalku pada istriku.
"Iya Ayah, hati-hati di jalan," jawab istriku, belum sempat aku berbalik istriku melanjutkan bicaranya
"Oh ya, besok aku ingin membuat pasta, pulangnya Ayah bisa tolong beliin aku saus bolognaise?" kata istriku.
"Tak masalah, nanti aku akan mampir ke swalayan," jawabku sambil memeluk istriku, lalu mencium bibirnya.
Aku pun langsung berpamitan dengan istriku, rasanya masih ingin berlama-lama bersamanya dengan memanjakan dirinya, sebelum kami memulai rutinitas masing-masing. Dia adalah istri dan seorang ibu yang hebat. Meskipun usia pernikahan kami sudah memasuki 20 tahun, tapi tak menyurutkan rasa cinta dan kasih sayangnya kepadaku dan juga kedua anak kami.
POV Detektif Johan Tiba di kantor catatan sipil, aku langsung menemui Bram, orang biasa membantuku dalam urusan di sini. Kami berdua mulai mencari tahu berkas-berkas yang mungkin ada hubungannya dengan kasus Ray. Seperti yang dicerita Ray kemarin, dia terdaftar lahir pada tanggal 15 Desember, hari di mana dia ditemukan di depan pintu Panti Asuhan. Dari berkas yang aku temukan, aku bisa melihat beberapa data mengenai Ray. Dia mempunyai darah A RH-. Artinya orang yang mempunyai darah itu pasti bukan orang asli Indonesia. Mungkin ini semua ada hubungannya dengan Sapu tangan 8 Miles yang dia punya. Tak banyak data yang aku dapat tentang Ray di catatan sipil, hanya data standar saja yang tercatat di sana. Sesuai jadwal aku langsung menuju ke kantor Inspektur James. Aku sudah terbiasa keluar masuk gedung kepolisian, para petugas sudah mengenal siapa aku, karena sebagian rekan-rekan di kesatuanku masih banyak yang bertugas dan menjadi peting
POV MARIA Pagi ini aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya, kejadian kemarin membuatku menyisakan rasa kesal yang sangat menganjal di hatiku. Ya semua gara-gara kejadian kemarin, Andre meninggalkan aku begitu saja di hari ultahku. Andre tanpa pamit, pergi entah ke mana. Begitu tiba di sekolah aku langsung mencari Andre di kelas. "Andreee!" panggilku ketika sampai di kelas dan aku langsung mendatangi mejanya. "Ada apa sayang?" tanya Andre sambil tersenyum dan wajah tanpa dosa. "Kenapa kemarin kamu tega banget ninggalin aku?" kataku sambil menahan rasa kesal di hati. Mendengar pertanyaanku, Andre mengerjapkan matanya. Seakan dia baru mengingat apa yang sudah dilakukannya. "Aduuhh Maaf sayang, kemarin darurat banget. Aku harus pergi, ada urusan yang sangat penting, jadi sekali lagi maaf ya," jawab Andre dengan wajah yang memohon sambil merapatkan kedua telapak tangan d
POV Maria Bel jam istirahat sudah berbunyi, Andre menghampiriku untuk mengajakku ke kantin sekolah. Namun aku menolaknya secara halus. "Kenapa sayang, kamu masih marah ya?" tanya Andre. "Nggak kok, Aku hanya mau ke perpustakaan sebentar," jawabku sambil tersenyum pada Andre. "Ohh Ok, mau aku temanin?" Tanya Andre. Aku hanya mengelengkan kepala menjawabnya, karena tahu Andre bukan type cowok yang mau sempatkan waktu mengunjungi perpustakaan, kecuali sangat mendesak. "Ok sayang..., aku ke kantin ya," kata Andre sambil keluar dari kelas bersama beberapa tema. Setelah Andre keluar aku pun segera mengambil jaket milik Ray yang ada di tas ranselku. Kemudian aku menghampiri Ray dan memberikan jaketnya. "Makasih ya Ray," kataku sambil menatap Ray yang masih asyik dengan buku tebal yang tadi aku lihat. Ray menegadahkan wajahnya dan menatap aku sekilas, lalu meneri
POV Maria Kurang lebih setengah jam kemudian setelah terlibat kemacetan kami pun sampai di panti asuhan KASIH IBU. Bangunannya lumayan tua. Terlihat ada patung Bunda Maria berdiri di depan gedung. Setelah mobil di parkir di tempat parkir, kami pun keluar. Seorang suster menyambut kami. "Ray, kamu bersama siapa?" tanyanya sambil menatap ke arahku dan Ayah. "Suster Elizabeth, kenalkan ini Detektif Johan dan putrinya," jawab Ray langsung memperkenalkan kami. "Oh, Tuhan Memberkati kalian. Ada keperluan apa detektif sampai datang ke tempat ini?" tanya Suster Elizabeth keheranan. "Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan tentang Ray, kalau boleh," jawab ayahku, sambil melirik Ray. "Hmm.. baiklah, mari ikut!" kata Suster Elizabeth yang sebelum menjawab, melihat ke arah Ray. Ray mengangguk seperti meng-iyakan, dan Kamipun langsung menuju ke dalam panti. "Maaf Saya pe
POV MARIA Sesuai janji Andre, sore ini kami berrencana pergi nonton ke bioskop pusat kota. Satu syarat yang aku ajukan untuk memaafkan Andre karena sudah meninggalkanku di hari ulang tahunku. Aku berdandan dengan make up natural, rambut aku biarkan tergerai, “cantik...” gumamku sambil tersenyum sendiri. Semuanya untuk Andre. Aku perhatikan kembali penampilanku di cermin, malam ini aku mengenakan celana pendek sepaha, kaos lengan edung yang dilapisi lagi dengan jaket jeans lalu melilitkan syal tenun dileher untuk menjagaku tetap hangat bila kena angin malam. Kaos kaki edung yang menutupi lutut hingga sepatu boots kesayanganku. Berjalan santai keluar dari kamarku, Sesaat melirik ke arah meja belajarku dan memperlambat jalanku. Pandanganku tertuju pada hadiah pemberian Ray. Entah kenapa aku tersenyum melihatnya. Seolah-olah boneka salju itu berbicara kepadaku menuruni tangga menuju ke ruang keluarga, di mana kedua orang tuaku sedang
POV RAY Malam ini perasaan suntuk membuat langkahku sampai di gedung bioskop pusat kota, sejak kepergian Alex dan Troya, tak ada lagi yang bisa menemaniku saat-saat seperti ini. Berkeliaran sendiri membuatku bebas memilih film yang akan kutonton. Ternyata walau malam minggu, bioskop tak sepenuh biasanya, aku masih bebas memilih kursi. Film sudah diputar dari sepuluh menit yang lalu, dengan diatar petugas aku masuk dan menuju kursi yang ditunjuk petugas sesuai nomor yang ada di tiket. Begitu mau duduk aku malah dikejutkan dengan orang yang aku temui dam duduk disamping. kebetulan yang membuatku merasa senang namun sekaligus menyesakkan. Maria duduk di sebelahku, tapi ada Andre juga di sampingnya. Sepanjang pemutaran film, aku hanya bisa terdiam, hanya sepatah kata yang keluar dari mulut, itupun hanya untuk say hello saja pada mereka berdua. Hatiku sesak melihat cewek yang aku suka sedang berkencan dengan pacarnya. Ya
POV DETEKTIF JOHAN Hujan gerimis masih membasahi bumi malam ini, Aku masih duduk di belakng mejaku dan memandang ke arah luar jendela. Jam di dinding sudah menujukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, namun putri kesayanganku belum juga pulang. Masih terbayang dimataku cara putriku berpakaian, dia memakai baju yang menurutku dapat memancing lawan jenis untuk berpikir yang tak senonoh apalagi saat hujan gerimis seperti malam ini. Andre, memang cukup tampan, wajahnya cukup dia jadikan modal untuk menarik perhatian para gadis dan aku mempunyai dugaan kalau Andre itu seorang playboy. Putriku yang berparas cantik rasanya tak rela bila harus jalan bersama Andre. Ya wajah cantik putriku berasal dari perpaduan serasi antara wajah istriku dan aku. Begitupun dengan Justin, mereka berdua mewarisi semua kebaikan yang ada pada kami berdua. Setiap menit berlalu, Aku makin gelisah menunggu kedatangan Maria. Mungkin aku terlalu berlebihan
POV RAY "Aww... ampun!" seruku sambil meringis saat ibu asuh menjewer telingku. Beliau sudah menungguku di pintu. "Ray, lihat Ini sudah jam berapa?" kata ibu Asuh sambil tangan kanannya masih menjewer telingaku. "Ibu sudah beberapa kali bilang, jangan keluyuran malam-malam. Anak-anak lain saja tidak ibu ijinkan untuk pergi sampai selarut ini! Kamu malah pergi begitu saja selesai kebaktian," kata Matron mengomeliku. "Iya maafkan Ray, matron," kataku sambil memegangi tangannya minta Matron melepaskan jewerannya. "Ray, ibu sangat khawatir kepadamu. Apa tadi Kamu bertemu orang-orang aneh?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, mungkin karena rasa khawatirnya, tapi apa yang beliau dengan maksudn orang-orang aneh? "Orang Aneh? Tidak Matron, tadi saya Cuma bertemu preman-preman yang ingin memalak," jawabku. "Preman, di mana, kamu tidak terluka kan?" tanyanya terlihat panik, lalu dengan mata