POV Detektif Johan
Tiba di kantor catatan sipil, aku langsung menemui Bram, orang biasa membantuku dalam urusan di sini. Kami berdua mulai mencari tahu berkas-berkas yang mungkin ada hubungannya dengan kasus Ray. Seperti yang dicerita Ray kemarin, dia terdaftar lahir pada tanggal 15 Desember, hari di mana dia ditemukan di depan pintu Panti Asuhan. Dari berkas yang aku temukan, aku bisa melihat beberapa data mengenai Ray. Dia mempunyai darah A RH-. Artinya orang yang mempunyai darah itu pasti bukan orang asli Indonesia. Mungkin ini semua ada hubungannya dengan Sapu tangan 8 Miles yang dia punya.Tak banyak data yang aku dapat tentang Ray di catatan sipil, hanya data standar saja yang tercatat di sana. Sesuai jadwal aku langsung menuju ke kantor Inspektur James. Aku sudah terbiasa keluar masuk gedung kepolisian, para petugas sudah mengenal siapa aku, karena sebagian rekan-rekan di kesatuanku masih banyak yang bertugas dan menjadi petinggi di kepolisian. Tapi walaupun begitu aku tetap mengikuti protokol kunjungan untuk menemui inspektur James.
Seorang petugas mengantarku menuju ruangan inspektur James, saat dia melihatku yang lama tak bertemu langsung, dia bangun dari kursinya dan menyambutku.
"Ahhh...Piere! Duduklah!" katanya mempersilakanku duduk.
Aku pun duduk dengan santai di sofa yang ada di ruangan inspektur James.
"Tumben banget kamu mampir ke kantorku, ada info penting yang ingin kamu berikan?" katanya.
"Hmmm...., justru aku ingin minta info darimu," jawabku sambil menatap Inspektur James yang terlihat mengerutkan keningnya.
"Info apa yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya sambil berjalan menghampiri lalu duduk di sofa bersamaku.
"Apa kamu masih ingat kasus penemuan bayi tujuh belas tahun silam?" tanyaku
"Tujuh belas tahun silam ya?" jawab inspektur James, sesaat dia manatap wajahku dengan ekspresi yang aneh.
"Ya, saat itu kasusnya bersamaan dengan penemuan mayat William van Bosch di dekat rumahku," kataku sambil balas menatapnya.
"Yaa..., ya.., aku masih ingat, ada apa dengan kasus itu, apa kamu tertarik untuk menanganinya?" kata inspektur James.
"Betul, kemarin sore aku sudah menerima kasusnya, klienku ingin aku menyelidiki siapa orang tua bayi itu," jawabku.
"Si bayi sekarang sudah beranjak dewasa dan dia ingin menemukan kedua orang tuanya." lanjutku.
"Hahaha..., ternyata kita semakin tua, rasanya baru beberapa tahun lalu kejadiannya."
"Kita memang sudah tua, coba saja kamu berkaca, kumis tebalmu itu sudah memutih, rambutku pun sama," kataku sambil mengusap kepalaku.
"Hahaha..., benar kita berdua sudah tua, setidaknya semangat kita tak kalah dengan anak muda," kata Inspektur James.
"Kita sambil minum kopi ya," lanjutnya sambil berdiri dan menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke dalam dua gelas yang diambilnya, kemudian membawanya.
"Jadi apa yang bisa aku bantu untuk kasusmu itu?" tanya inspektur James setelah kembali duduk di sofa depanku.
"Apa aku bisa lihat berkas penemuan bayi saat itu yang ada di kepolisian?" tanyaku.
"Hmmm..., tentu saja, aku akan ambilkan untukmu , kalau Cuma berkas itu," jawab inspektur James dengan santai. Kemudian inspektur James langsung menghubungi anak buahnya untuk membawakan berkas kasus yang aku minta. Tak lama seorang petugas masuk membawakan sebundel berkas yang diminta, lalu inspektur James memberikannya padaku. Setelah petugas itu keluar dari ruangan.
"Dari kasus ini apa kamu punya tambahan info dari klienmu?" tanya inspektur James sambil menatapku.
"Tentu saja, klienku menceritakan kalau dia menerima kiriman uang setiap bulan sebesar dua puluh juta dari orang yang tak bisa dilacak sampai hari ini," kataku.
"Apa terima uang ..., pengirimnya tak bisa dilacak sampai hari ini?" inspektur James yang sedang meneguk kopinya, hampir saja menyemburkan dari mulutnya mendengar perkataanku.
"Kamu tak percaya? sepertinya anak itu tidak membual. Sore nanti aku akan datang ke panti untuk membuktikannya," jelasku.
"What a damn..., selama ini tak ada yang tahu pengirimnya?"
"Ya, tak ada yang tahu. Alamat yang ada semua palsu. Kira-kira menurutmu apa motifnya?" kataku
"Bukan money laundry, mungkin?"
"Entahlah, besar kemungkinan itu kiriman dari orang tuanya bukan? apa mungkin ada hubungan dengan keluarga hendrajaya grup?" tanyaku sambil kembali mantap wajah inspektur James.
"Kita tak bisa menduga ke arah itu dulu, orang kaya di negeri ini cukup banyak. Apa ada informasi lain?" tanya inspektur James.
"Ada, ini adalah sapu tangan bertuliskan Ray, saat ditemukan dulu, dipakai untuk menyelimuti si bayi dan sebuah simbol dengan tulisan 8 Miles." jelasku sambil memperlihatkan saputangan dan foto yang dikirim Ray padaku.
"8 Miles? Sepertinya tak asing," kata inspektur James sambil manatap foto yang ada di layar ponselku.
"Kamu mengenal simbol ini?" tanyaku penasaran.
"Apa itu nama suatu komunitas?" lanjutku saat melihat dia sedang berpikr keras dan mengingat.
"Bukan...., " jawabnya ngegantung.
"Lalu?"
"Sebentar aku lagi coba mengingat semua, tapi aku belum yakin. Aku akan coba periksa file-file lama," kata Inspektur James lalu membuka laptopnya.
"Baiklah James, terima kasih atas kopinya, kabari aku ada informasi penting tentang yang kita bicarakan barusan," kataku sambil sekalian pamit.
"Ok Piere, kalau kamu tak mau menunggunya, kamu akan lanjut kemana ?" tanya James.
"Setelah ini aku akan ke panti asuhan, tapi mungkin akan mampir dulu ke perpustakaan untuk mencari beberapa info mengenai lambang ini," kataku sambil menunjukan saputangan Ray.
"Nanti aku kabarin juga kalau sudah membuka file lama, Sering-seringlah mampir Piere!" kata inspektur James.
"Tentu James, itu juga kalau ada kasus," jawabku sambil tersenyum dan meninggalkan ruangan inspektur James.
Dari kantor polisi aku langsung menuju ke perpustakaan. Aku mencari-cari segala hal tentang yang namanya 8 Miles. Pastinya tidak mudah. Aku mulai mencari tentang tempat dan istilah-istilah yang menggunakan kata 8 Miles. Aku juga mengakses internet untuk mencari tahu tentang 8 Miles. Tapi tak ada satupun yang cocok dengan simbol 8 Miles. Emang banyak istilah, hanya saja tak ada yang cocok. Terlebih simbolnya. Seperti sebuah lentera atau bangunan menara. Tapi sepertinya lentera. Aku tak punya bakat seni untuk melihat hal-hal semendetail ini.
Waktu berlalu dengan cepat, sampai aku tak menyadarinya hingga putriku, Maria menelepon.
"Hallo Ayah?! Ada di mana?" Suaranya terdengar kesal, saat melihat jam tanganku, ternyata waktu sudah lewat dari janjiku pada Maria.
"Ohh iya sayang, Ayah masih di perpustakaan," jawabku.
"Ayah aku akan ikut saja deh ke panti asuhannya. Cepat jemput aku" katanya.
"Baiklah, tunggu Ayah akan menjemputmu," jawabku sambil bergegas keluar dari perputakaan dan pergi menjemput Maria.
Sepanjang perjalanan aku berusaha mengingat-ingat kejadian tujuh belas tahun lalu, saat aku dan inspektur James mendapat laporan penemuan bayi.
POV MARIA Pagi ini aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya, kejadian kemarin membuatku menyisakan rasa kesal yang sangat menganjal di hatiku. Ya semua gara-gara kejadian kemarin, Andre meninggalkan aku begitu saja di hari ultahku. Andre tanpa pamit, pergi entah ke mana. Begitu tiba di sekolah aku langsung mencari Andre di kelas. "Andreee!" panggilku ketika sampai di kelas dan aku langsung mendatangi mejanya. "Ada apa sayang?" tanya Andre sambil tersenyum dan wajah tanpa dosa. "Kenapa kemarin kamu tega banget ninggalin aku?" kataku sambil menahan rasa kesal di hati. Mendengar pertanyaanku, Andre mengerjapkan matanya. Seakan dia baru mengingat apa yang sudah dilakukannya. "Aduuhh Maaf sayang, kemarin darurat banget. Aku harus pergi, ada urusan yang sangat penting, jadi sekali lagi maaf ya," jawab Andre dengan wajah yang memohon sambil merapatkan kedua telapak tangan d
POV Maria Bel jam istirahat sudah berbunyi, Andre menghampiriku untuk mengajakku ke kantin sekolah. Namun aku menolaknya secara halus. "Kenapa sayang, kamu masih marah ya?" tanya Andre. "Nggak kok, Aku hanya mau ke perpustakaan sebentar," jawabku sambil tersenyum pada Andre. "Ohh Ok, mau aku temanin?" Tanya Andre. Aku hanya mengelengkan kepala menjawabnya, karena tahu Andre bukan type cowok yang mau sempatkan waktu mengunjungi perpustakaan, kecuali sangat mendesak. "Ok sayang..., aku ke kantin ya," kata Andre sambil keluar dari kelas bersama beberapa tema. Setelah Andre keluar aku pun segera mengambil jaket milik Ray yang ada di tas ranselku. Kemudian aku menghampiri Ray dan memberikan jaketnya. "Makasih ya Ray," kataku sambil menatap Ray yang masih asyik dengan buku tebal yang tadi aku lihat. Ray menegadahkan wajahnya dan menatap aku sekilas, lalu meneri
POV Maria Kurang lebih setengah jam kemudian setelah terlibat kemacetan kami pun sampai di panti asuhan KASIH IBU. Bangunannya lumayan tua. Terlihat ada patung Bunda Maria berdiri di depan gedung. Setelah mobil di parkir di tempat parkir, kami pun keluar. Seorang suster menyambut kami. "Ray, kamu bersama siapa?" tanyanya sambil menatap ke arahku dan Ayah. "Suster Elizabeth, kenalkan ini Detektif Johan dan putrinya," jawab Ray langsung memperkenalkan kami. "Oh, Tuhan Memberkati kalian. Ada keperluan apa detektif sampai datang ke tempat ini?" tanya Suster Elizabeth keheranan. "Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan tentang Ray, kalau boleh," jawab ayahku, sambil melirik Ray. "Hmm.. baiklah, mari ikut!" kata Suster Elizabeth yang sebelum menjawab, melihat ke arah Ray. Ray mengangguk seperti meng-iyakan, dan Kamipun langsung menuju ke dalam panti. "Maaf Saya pe
POV MARIA Sesuai janji Andre, sore ini kami berrencana pergi nonton ke bioskop pusat kota. Satu syarat yang aku ajukan untuk memaafkan Andre karena sudah meninggalkanku di hari ulang tahunku. Aku berdandan dengan make up natural, rambut aku biarkan tergerai, “cantik...” gumamku sambil tersenyum sendiri. Semuanya untuk Andre. Aku perhatikan kembali penampilanku di cermin, malam ini aku mengenakan celana pendek sepaha, kaos lengan edung yang dilapisi lagi dengan jaket jeans lalu melilitkan syal tenun dileher untuk menjagaku tetap hangat bila kena angin malam. Kaos kaki edung yang menutupi lutut hingga sepatu boots kesayanganku. Berjalan santai keluar dari kamarku, Sesaat melirik ke arah meja belajarku dan memperlambat jalanku. Pandanganku tertuju pada hadiah pemberian Ray. Entah kenapa aku tersenyum melihatnya. Seolah-olah boneka salju itu berbicara kepadaku menuruni tangga menuju ke ruang keluarga, di mana kedua orang tuaku sedang
POV RAY Malam ini perasaan suntuk membuat langkahku sampai di gedung bioskop pusat kota, sejak kepergian Alex dan Troya, tak ada lagi yang bisa menemaniku saat-saat seperti ini. Berkeliaran sendiri membuatku bebas memilih film yang akan kutonton. Ternyata walau malam minggu, bioskop tak sepenuh biasanya, aku masih bebas memilih kursi. Film sudah diputar dari sepuluh menit yang lalu, dengan diatar petugas aku masuk dan menuju kursi yang ditunjuk petugas sesuai nomor yang ada di tiket. Begitu mau duduk aku malah dikejutkan dengan orang yang aku temui dam duduk disamping. kebetulan yang membuatku merasa senang namun sekaligus menyesakkan. Maria duduk di sebelahku, tapi ada Andre juga di sampingnya. Sepanjang pemutaran film, aku hanya bisa terdiam, hanya sepatah kata yang keluar dari mulut, itupun hanya untuk say hello saja pada mereka berdua. Hatiku sesak melihat cewek yang aku suka sedang berkencan dengan pacarnya. Ya
POV DETEKTIF JOHAN Hujan gerimis masih membasahi bumi malam ini, Aku masih duduk di belakng mejaku dan memandang ke arah luar jendela. Jam di dinding sudah menujukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, namun putri kesayanganku belum juga pulang. Masih terbayang dimataku cara putriku berpakaian, dia memakai baju yang menurutku dapat memancing lawan jenis untuk berpikir yang tak senonoh apalagi saat hujan gerimis seperti malam ini. Andre, memang cukup tampan, wajahnya cukup dia jadikan modal untuk menarik perhatian para gadis dan aku mempunyai dugaan kalau Andre itu seorang playboy. Putriku yang berparas cantik rasanya tak rela bila harus jalan bersama Andre. Ya wajah cantik putriku berasal dari perpaduan serasi antara wajah istriku dan aku. Begitupun dengan Justin, mereka berdua mewarisi semua kebaikan yang ada pada kami berdua. Setiap menit berlalu, Aku makin gelisah menunggu kedatangan Maria. Mungkin aku terlalu berlebihan
POV RAY "Aww... ampun!" seruku sambil meringis saat ibu asuh menjewer telingku. Beliau sudah menungguku di pintu. "Ray, lihat Ini sudah jam berapa?" kata ibu Asuh sambil tangan kanannya masih menjewer telingaku. "Ibu sudah beberapa kali bilang, jangan keluyuran malam-malam. Anak-anak lain saja tidak ibu ijinkan untuk pergi sampai selarut ini! Kamu malah pergi begitu saja selesai kebaktian," kata Matron mengomeliku. "Iya maafkan Ray, matron," kataku sambil memegangi tangannya minta Matron melepaskan jewerannya. "Ray, ibu sangat khawatir kepadamu. Apa tadi Kamu bertemu orang-orang aneh?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, mungkin karena rasa khawatirnya, tapi apa yang beliau dengan maksudn orang-orang aneh? "Orang Aneh? Tidak Matron, tadi saya Cuma bertemu preman-preman yang ingin memalak," jawabku. "Preman, di mana, kamu tidak terluka kan?" tanyanya terlihat panik, lalu dengan mata
POV Ray Lembaran itu ternyata berisi artikel yang menjelaskan tentang sebuah sekte yang bernama Dark Lantern. Sekte yang menganggap kelompoknya sebagai pembawa Messenger of Mesiah. Maksudnya apa? Sambil meneruskan membaca artikel-artikel itu, aku coba memikirkan apa sebenarnya hubungannya denganku dan orang tuaku. Namun ketika membaca kalau sekte itu memburu orang-orang yang dianggap mempunyai kekuatan iblis, aku baru mengerti. Kekuatan iblis yang di maksud dalam artikel itu adalah kekuatan yang aku dan teman-temanku miliki. Agni pengendali api, Alex pengendali air, Troya pengendali tanah dan kekuatan yang kumiliki, juga berbagai macam kemampuan yang tak dimiliki oleh manusia biasa pada umumnya. Di artikel itu juga Aku melihat gambar sebuah simbol yang sama seperti yang ada pada saputanganku. "Ini cuma cerita bohong kan, mana ada kekuatan iblis?" tanyaku, setelah membaca semua isi artikel yang diberikan detektif Johan