Semua mata kini tertuju pada Fery yang baru saja datang. Wajah tampan segar yang masih memakai pakaian olahraga itu terlihat mempesona dengan headphone masih melingkar di leher, poin tambahan yang membuat dia semakin mempesona. Membuat para wanita memandangnya kagum.
Tak ayal banyak perempuan memuji ketampanannya itu dengan terang-terangan. Bahkan kalangan anak SMA saja masih suka menggodanya.Ara memicingkan mata ke arah Fery tajam, ada rasa kesal dalam hatinya, masih tak terima dengan tudingan Nina tentang gosip bersama tetangga baru itu.“Ara, kamu kenapa, sih? Gak biasanya gini?” Fery mendekat ke arah istrinya yang semrawutan. Tak lupa rambut Ara disibak lembut, membuat Nina yang melihatnya merasa mual.“Yaelah! Sok baik dan perhatian segala, padahal di belakang main serong,” ujar Nina ketus.“Eh, itu mulut!” Kemarahan Ara tersulut kembali. Namun sigap para warga kompak memegangi keduanya agar tak terjadi lagi perkelahian. Fery yang mendengar pun tak mengerti. Ingin bertanya, tapi ia tahan.Ara meronta masih ingin sekali menghajar Nina kuat-kuat.“Sudah! Malu Ra diliatin,” ucap Fery sembari menenangkan.“Bu Ati, nanti saya akan mengganti semua kerusakannya, untuk sekarang, saya pamit.” Bu Ati hanya mangut-mangut saja mengiyakan. Fery pun langsung merangkul Ara, mengajak pulang dengan cara baik-baik.Memang Ara dan Fery sudah menjadi pasangan favorit warga disana sebab selama 2 tahun pernikahan, tak pernah sekalipun tersiar kabar soal pertengkaran rumah tangga.Bahkan, dua sejoli itu selalu memperlihatkan keharmonisan setiap waktu. Ditambah dengan usia muda dan paras mereka yang tampan dan cantik plus tubuh ideal bak model majalah, membuat semua orang berdecak kagum akan pasangan ini.“Yang cowok cakep, yang cewek cakep juga, gemes,” ujar seorang gadis sambil menjinjitkan kaki melihat kedua pasangan yang semakin menjauh dari pandangan.Perlahan warga yang berkumpul itu bubar, meskipun keriuhan masih terdengar. Nina yang wajahnya lebam pun pulang dengan kesal. Mertua dan Adik iparnya juga ikut pulang.***“Kamu ributin apa, sih, Ra? Liat, nih, sekarang dahi kamu sedikit benjol,” telisik Fery seraya mengambil kotak p3k yang disimpan di kamar.Saat Fery kembali, Ara menatap dirinya tajam tanpa suara, membuat Fery mengerutkan dahi tak mengerti. Sementara ibu dan adiknya duduk di samping Ara, lebih tepatnya di sofa.“Mas, aku mau tanya, tapi harus jujur ya!”“Pertanyaanku aja belum dijawab, malah mau tanya balik,” pungkas Fery sembari membuka kotak p3k.“Ini juga berkaitan, Mas!”Fery akhirnya menatap Ara, menghentikan aktivitasnya sejenak.“Yaudah, apa?““Bener, kamu kemarin nganterin pulang Ria?”Fery terdiam sejenak. “Hmm, iya. Bukan sengaja nganterin kok, tapi ....” Belum sempat Fery melanjutkan perkataannya, Ara sudah memotong.“Tuh, kaan ....” Ara membanting bantal kursi dan masuk ke kamarnya.Jawaban Fery membuat Ara kesal, karena membuktikan bahwa ternyata Nina tidak berbohong. Adik dan ibu Fery melongo ke arahnya.“Lah! Kenapa dia?” Fery bingung dengan tingkah Ara.“Mas, tadi mbak Ara ribut gara-gara itu, Mas keterlaluan juga, ya,” papar Vina sembari memukul Fery dengan bantal sofa.“Emang, salahnya di mana? Orang cuma numpang,” Fery membela diri.“Kamu ini enggak ngerti, ya? Perempuan tadi gosipin kamu. Katanya kamu PDKT sama janda muda itu! Makanya Ara marah. Ya ampun, punya anak gini amat ....” Ibunya kesal sendiri.Fery tertegun berusaha mencerna perkataan ibunya, ia pun menyadarinya, ternyata Ara telah salah paham perihal masalah tersebut.“Ya ampun! Enggak begitu ceritanya,” bantah Fery kemudian.“Alah, terus gimana? Mas godain 'kan? Ngaku hayo ....”“Sumpah serapah! Kemarin hampir ketabrak dan kakinya terkilir, jadi aku suruh dia masuk sekalian bareng,” belanya pada diri sendiri.Alasannya memang agak meyakinkan, tetapi adiknya tidak terlalu mempercayai Fery dan tetap curiga.“Bener, ini nggak seperti dugaan Mama, nih?” “Bener, sumpah!”“Ya udah, sekarang samperin gih! Baik-baikin sana, jangan bikin Ara stres. Perempuan stres itu susah hamil, loh.”Fery berdecak kesal. Ia memutar kedua bola matanya seolah tidak ingin mendengar ibunya mengatakan masalah tersebut.“Ya ampun, Ma! Anak terus yang di bahas!” Fery mumet mendengarnya.“Lah! Pernikahan akan terasa hidup kalo ada buah hati, kalian sebaiknya jangan terus menunda untuk punya momongan, udah 2 tahun loh, kelamaan! Meskipun masih muda, tetap aja kan.”“Iya, iya.” Fery hanya meng-iyakan saja agar ibunya segera berhenti membahasnya.Dirinya bukan tidak ingin, bukan juga terus menunda. Ara bahkan tidak pernah KB setelah menikah, tetap saja belum hamil sampai sekarang. Hanya saja, mungkin Yang Kuasa belum memberikan karunia tersebut.Ibu dan adik Fery pun akhirnya pamit pulang, mereka juga berpamitan kepada Ara.Fery mengetuk pintu kamar. Karena tidak ada sahutan, lelaki itupun masuk saja. Ia melihat Ara meringkuk di ranjang dengan pakaian yang belum diganti.“Ra, soal gosip itu biarkan aja, jangan di ladeni. Semua tudingan Nina enggak bener sama sekali,” terang Fery seraya mengelus pucuk kepala Ara.“Tapi, tadi Mas enggak menyangkal soal jalan sama Ria!” balas Ara tanpa mau menatap suaminya.“Kapan Mas bilang jalan sama Ria? Cuma kebetulan dan kamu salah paham aja.”Fery akhirnya menjelaskan dengan detail kejadian yang membuat kesalahpahaman tersebut terjadi. Ara akhirnya mau menatap Fery setelah lelaki itu meyakinkan bahwa tidak ada hal lain yang terjadi, apalagi PDKT seperti gosip tadi.“Aku rasa, dia modusin Mas, deh!”“Mana ada modus gitu, ah. Jangan mikir macem-macem, Mas cuma mau bantu dia aja, percaya, deh,” sanggah Fery sembari mengecup kening istrinya pelan.Ara akhirnya luluh dan mau mendengarkan perkataan Fery. Sebenarnya, ia juga tidak tahan kalau berlama-lama marah pada Fery.“Tapi, gara-gara Mas, sekarang semua orang berpikir lain tentang Mas,” tukas Ara sembari mengerucutkan bibir.“Enggak apa-apa, yang penting tuduhan itu gak bener. Itu saja cukup kan? Lama-lama, orang juga akan tahu kebenarannya, jangan pernah ribut lagi, ya. Apalagi sama Nina.”Ara mengangguk pelan, Fery menyunggingkan senyum, lalu mengecup keningnya mesra.“Adu-duh! Sakit, Mas!” ringis Ara kala kecupan Fery mendarat dekat pelipisnya yang terluka.“Eh, maaf, lupa,” ucap Fery seraya meniup-niup luka di pelipisnya.“Tunggu, Mas ambil kotak p3k dulu,” sambung Fery seraya berlalu mengambil kotak p3k, lalu dengan telaten lelaki itu mengobati lecet dan memar di sekitar wajahnya.“Udah, sayang,” ucap Fery lagi seraya memberi senyuman termanisnya lagi.***Ditempat lain, Ria tengah tersenyum licik setelah mengetahui berita heboh yang terjadi di warung Bu Ati.“Akhirnya, permainan akan dimulai,” gumamnya diiringi tawa.“Ini baru awal. Lihat saja nanti, kamu akan segera kembali kepelukanku, Fery.”Sepulang kerja, Fery memutuskan membeli makanan favorit Ara di restoran kesukaan istrinya sebagai tanda permintaan maaf karena sempat membuat hatinya sedikit terluka.“Mudah-mudahan dia belum tidur,” gumamnya seraya tersenyum, membayangkan wajah Ara. Ia memang sangat mencintai istrinya dengan sepenuh hati. Meskipun pernikahan sudah berjalan 2 tahun lamanya, tetapi perasaan cinta masih sangat menggebu bagai pengantin baru.“Fery?” sapa seseorang memanggilnya. Ia pun menoleh dan mendapati Ria tengah duduk di antara para tamu yang singgah untuk makan malam di sana. Fery pun menghampiri setelah Ria melambaikan tangannya seolah memberi kode untuk ikut duduk.“Disini juga? Ngapain?”“Ini, lagi beli makanan buat di bawa kerumah, inget Ara.” sengaja Fery katakan untuk menekankan bahwa sekarang dirinya sudah menikah.“Emh, jadi inget waktu dulu, kamu juga perhatian ke aku.”Ya, sesungguhnya Fery dan Ria pernah menjadi sepasang kekasih. Terjadi empat tahun yang lalu dan hanya bertahan satu set
Tringg! Suara gelas dipukul sendok. Ara tengah mempersiapkan makan malam untuk menyambut kepulangan Fery sehabis kerja. Rasa gembira terpancar dari raut wajahnya.“Ini hari anniversary pernikahanku dan mas Fery yang ke-2, semoga aja dia suka,” ucapnya seraya mengecek kembali semua persiapan supaya tak ada yang kurang mengingat bahwa ini adalah acara makan malam spesial.Akhir pekan biasanya Fery sudah pulang lebih awal, mungkin sekitar pukul delapan malam suaminya akan segera tiba. Makanan tersaji dengan rapih di meja, terlihat nuansa romantis yang tercipta dari lilin yang berjejer.“Tiga puluh menit lagi Mas Fery pulang, sebaiknya aku mandi dulu biar wangi,” gumamnya sembari berlari ke kamar.Setelah selesai mandi, sengaja ara hanya memakai nightdress tanpa lengan setinggi lutut. Karena pakaian seksi itu, tercetak bulat bagian dadanya membusung. Farfum pun disemprot ke sekujur tubuh.Dengan santai, Ara menyetel televisi menunggu kedatangan Fery disana.***Hari ini Fery memang pula
Taksi yang dikendarai Fery dan Ria telah sampai di depan halaman rumah Ria. Setelah membayar si sopir, keduanya turun.“Sampe sini saja, ya,” ucap Fery celingukan takut ada yang melihat, nanti malah jadi bahan gosip lagi seperti sebelumnya.Namun, Ria malah menggelayut di lengan Fery. Dengan adanya kejadian tadi, Ria memiliki kesempatan untuk mendekati Fery kembali, wanita itu tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini, Ria pun kini bersiasat lain.“Fery, sebentar saja, kumohon ....” Ria memohon.“Jangan begini! Nanti di lihat orang gimana?” Fery berusaha melepaskan tangan Ria.“Aku takut sendirian.”Fery terdiam.“Maaf gak bisa, istriku sudah menunggu di rumah,” ucap Fery menekankan.“Aku gak bisa sendirian sekarang, Fery.” Ria malah memeluk Fery tanpa rasa malu.Fery melihat sekeliling lagi, lau dirinya berusaha melepaskan pelukan Ria, tetapi sulit.“Ya sudah! Cuma 5 menit, sekarang lepas!” dengkus Fery kesal. Terpaksa ia menuruti permintaan Ria agar bisa lepas dari pelukan Ria.Benar
Ara terbangun di pagi hari, hidungnya mencium aroma enak menyeruak menggugah selera, ia melirik ke samping tidak mendapati Fery.“Pasti dia lagi masak,” gumamnya seraya mengulum senyum.Setelah mengenakan cardigan yang diambil dari lemari, Ara pun turun ke lantai bawah menuju area dapur.“Emhh, imutnya suamiku pake celemek kayak gini.” Ara memeluk Fery yang tengah sibuk mempersiapkan makanan.“Udah bangun? Cuci muka belum, nih?” Fery sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia memandang ke samping tepat pada wajah Ara yang menggantung di bahu kekarnya.“Belum, mau liat kamu dulu.” Ara makin erat memeluk Fery. Entah mengapa, pagi itu Ara terasa ingin terus bermanja-manja pada Fery.“Eiihh jorok, cuci muka dulu, gih! Nanti kita sarapan bareng. Ayo cepetan. Ini udah selesai kok.”“Hmm, iya sebentar.” Ara masih enggan melepas pelukan.Hangat terasa pada tubuhnya membuat Ara nyaman dan masih ingin memeluk Fery, bahkan sesekali Ara menghirup aroma khas suaminya itu.“Emh, ayo. Tadi malam, kan sud
Ara menekuk lutut di sofa ruang tamu. Ia tak berani membuka pintu karena takut dengan kiriman menyeramkan itu.Tak lama terdengar deru mobil di halaman. Itu pasti Fery! Ara pun berdiri, melangkah cepat menuju jendela. Saat mengintip di celah gorden, ternyata iya itu adalah mobil suaminya.“Mas Fery, akhirnya kamu pulang juga,” gumamnya pelan. Bibir Ara semringah, hatinya merasa lega.Setidaknya ketakutan itu berkurang sekarang.“Sayang.” Fery turun dari mobil dengan Vina terburu-buru.Mata mereka langsung tertuju pada kotak di teras, juga kelopak bunga yang berserakan di lantai tak jauh dari kain kumal, persis seperti apa yang Ara laporkan.“Mas!” Ara membuka pintu dan menunjuk ke lantai.Vina menganga di tempat usai melihatnya dengan mata kepala sendiri.“Ini cuma orang jahil aja, Ra. Lihat, deh. Yang kata kamu darah, bukan kok. Cuma pewarna aja,” jelas Fery sambil meraih kain itu.Bibirnya tersenyum simpul. Sedangkan Ara memiringkan bibir, merasa jijik melihat suaminya main pegang-p
Ara setengah kaget dengan kedatangan Fery ke kamar secara tiba-tiba tanpa suara. Ia terlonjak.“Maaf, Sayang. Kamu kaget, ya?” Fery melompat naik ke atas ranjang sembari tertawa.“Kamu dari mana, sih, Mas? Lama banget.” Bibir Ara mengerucut lucu. Membuat Fery gemas bukan main.“Habis buang yang tadi. Jauh,” jawabnya singkat. Fery mendekat pada Ara.Cup!Fery pun malah mencium bibir ranum Ara tanpa izin dari pemiliknya. Membuat pipi wanita itu memanas merah muda.“Dih, Mas. Main cium dadakan aja.” Ara merasa geli, tapi ia suka dengan perlakuan hangat Fery.Fery menyunggingkan senyum lebar, ia menarik Ara ke tengah ranjang.“Mas, ngapain ih, geli,” cegah Ara menarik diri.“Kamu kira ngapain lagi, ya mau bikin anak, lah. Siapa tahu kali ini berhasil,” bisik Fery mengedip mata nakal.“Ini baru jam berapa, Mas. Kalau ada orang bertamu gimana?” Ara meringsut mundur, tetapi ia masih belum bisa menghentikan kenakalan suaminya.“Siapa emangnya yang bakal datang ke sini jam segini, hm?”Fery ta
Ara masih melamun di atas bed besar yang ada di kamarnya. Matanya sesekali melirik foto yang sebelumnya sudah ia remas-remas. Keraguan tumbuh di hatinya pada Fery yang begitu ia cintai.Inginnya menghubungi Fery dan menanyakan perihal foto itu, tetapi ia akhirnya berusaha menenangkan diri dan akan menanyakan langsung nanti sepulang kerja.“Apa iya kamu mengkhianati aku, mas?” tanyanya yang entah untuk keberapa kalinya itu. Ara menatap bingkai foto pernikahannya kosong. Seketika gambar pada bingkai seolah berubah menjadi foto Fery bersama Ria.Prank ...!Ara membanting foto tersebut hingga pecah menjadi beberapa bagian. Tampak berserakan di dekat nakas samping bed. Sesaat di mata Ara, foto itu kembali menjadi wajah dirinya dan fery, Ara mengapit kepala dengan kedua tangannya. Ia terlihat frustrasi.Tring ...!Ponsel yang ada di atas ranjang pun berdering singkat, tanda notifikasi pesan masuk. Ara melirik kaget seakan baru disadarkan dari pikirannya yang kalut. Ia pun segera meraih bend
Fery memijat pelipis dengan jari, merasakan pusing sebab banyaknya pekerjaan yang belum juga selesai. Tiba-tiba saja sekretarisnya mengabarkan informasi tentang adanya masalah dalam proyek baru Fery dan mengharuskannyamengurus semua saat itu juga.“Padahal kepengen cepet pulang. Ampun, deh!”Sesaat teringat Ara, ia pun mengambil ponsel berniat menghubunginya sekadar melepas kangen. Lelaki itu benar-benar kasmaran pada istrinya. Seolah masih pengantin baru saja.‘Panggilan di alihkan ....’Fery heran, tidak biasanya Ara mengalihkan panggilan.“Pak, ada wanita yang ingin bertemu,” ucap sekretaris Fery setelah mengetuk pintu ruangan dan masuk.“striku?” tanya Fery seraya bangkit dari kursi. Bibirnya sudah semringah saja.“Bukan, Pak. Tapi ....” Ucapannya terpotong kala seseorang menerobos masuk tanpa permisi.Senyum Fery langsung pudar begitu saja.“Hai, Fery ... duh, sekretarismu ini rese! Mau masuk nggak boleh, biasanya juga aku sering kesini, kan?” cerocosnya.Ria yang datang ternyata