Sumpah terlanjur terpatri, mengakar ke dalam dadanya. Semakin kuat saat Kamilia setiap hari menerima pelecehan-pelecehan terhadap raganya.
Rupanya Tuan Heru mempunyai istri dan anak. Itu diketahui Kamilia saat tidak sengaja menguping pembicaraan mereka di telpon. Istrinya tahu keberadaannya.
"Pelacur mana lagi yang kau simpan di rumah itu, hah?" tanya istri Tuan Heru di telpon.
"Aku tidak menyembunyikan siapa pun," jawab Tuan Heru mencoba berkilah.
"Aku pastikan ia akan babak belur di tanganku!" ancam istri Tuan Heru.
Kamilia yang mendengar suara sayup-sayup itu meremang bulu kuduknya. Terus terang dirinya takut mati, apalagi keadaannya kini tengah berlumur dosa. Sekuat apa pun dirinya menekan kecemasannya, tak urung mukanya pucat pasi membayangkan hal yang mungkin terjadi kepadanya. Dikepalkan tangannya, memastikan ilmu bela diri yang tidak sepenuhnya dia kuasai, masih ada kekuatannya.
Saat ini Kamilia menemani makan tuannya di rumah. Tentu saja setelah tuannya puas menjungkir-balikkan tubuhnya di ranjang. Seperti mainan baru bagi Tuan Heru, gadis itu disentuhnya dari berbagai arah.
Kamilia makan dalam diam, sejak dirinya bekerja pada Tuan Heru, nafsu bicaranya lenyap. Berganti dengan hatinya yang kini ramai berteriak. Ya, Kamilia menyebutnya bekerja karena upahnya sudah diambil oleh Harso, si keparat.
"Cepat makannya, Mila!" perintah Tuan Heru.
"Ya, Tuan," jawabnya pelan.
"Sudah berapa kali aku ingatkan, jangan panggil Tuan!" bentak Tuan Heru.
Gadis itu hanya diam, dia memang tidak mau menciptakan kedekatan terhadap tuannya itu, dengan hanya memanggil nama. Bentakan-bentakan yang sudah mulai biasa dia terima, dihadapi dengan sabar. Seperti binatang peliharaan, dirinya tidak perlu melawan sampai tiba waktunya balas dendam.
Tuan Heru pergi setelah puas segalanya. Puas perutnya dan juga bawah perutnya. Kamilia tidak tahu ada masalah apa tuannya dengan istrinya itu, sehingga dirinya harus turut andil memuaskan hasratnya.
Tepat dua bulan menjadi penghuni rumah ini. Kamilia menghitung lembaran-lembaran merah yang berserakan di kasur. Tuan Heru memang selalu memberi dirinya uang setiap hari. Ditambah dengan sisa harga kegadisannya dulu, lembaran itu semakin banyak. Ada sekitar seratus lembar. Gemetar Kamilia memegangnya, ibunya pasti senang kalau nanti dia pulang. Separuh dari lembaran itu dia simpan di bawah kasur. Separuh lagi akan dia simpan di lemari.
Suara ketukan pintu yang teramat keras, mengurungkan niatnya. Dia bergegas lari ke arah pintu, berpikir kalau Tuan Heru kembali lagi.
Satu tamparan menghadiahi mukanya begitu pintu terbuka. Kamilia limbung, matanya berkunang-kunang. Terlihat olehnya dua orang wanita cantik.
"Rupanya kau orangnya, Wanita Jalang!" Seorang perempuan cantik memakinya.
Kamilia mengerti kini, kalau wanita di hadapannya adalah istri Tuan Heru. Kembali tamparan harus dia terima. Pipinya perih, terlebih lagi hatinya.
Merasa tidak mendapat perlawanan, wanita itu kian beringas. Dia bermaksud menjambak rambut panjang Kamilia. Kali ini gadis itu melawan. Tangan kanannya melindungi kepalanya, tangan kiri mengambil tangan wanita tersebut. Dipelintirnya kemudian didorong ke arah tembok.
Dukkk.
Punggung wanita itu menghantam tembok, matanya kian menyala geram.
"Sinta!" Wanita satunya lagi memburu ke arah istrinya Tuan Heru. Rupanya nama istri Tuan Heru adalah Sinta.
Sinta kalap, dia menepis tangan sahabatnya. Dia maju menabrakkan tubuhnya ke arah Kamilia. Begitu mudah Kamilia menghindar, sehingga Sinta kembali menabrak tembok. Kali ini tubuh Sinta ambruk.
Kamilia menatapnya tanpa ekspresi, kali ini dia akan melawan. Harga dirinya tidak akan dibiarkan diinjak-injak istri Tuan Heru. Namun, tiba-tiba pandangan matanya gelap. Kamila ambruk diantara kursi tamu yang mewah.
"Mengapa dia kau bunuh?" Samar-samar masih terdengar oleh Kamilia suara istrinya Tuan Heru. Selanjutnya gelap dan dingin.
***
Suara orang memaki menyadarkan Kamilia. Dia mendapati dirinya di kasur dalam kamarnya. Lembaran yang tadi hendak dia simpan, raib entah ke mana.
"Bodoh! Mengapa kau melawan?" bentak Tuan Heru. Dia sangat marah saat tahu Kamilia melawan Sinta.
Gadis itu terbit amarahnya. Diam-diam dia mengumpulkan kekuatan untuk melawan Tuan Heru. Biarlah mati berkalang tanah, daripada hidup berkubang nista.
Tuan Heru masih saja memaki-maki Kamilia, panas kuping wanita muda itu mendengar cercaan ditujukan padanya. Kamilia bangkit sambil menendang selimut.
Dukkk.
Sebuah tonjokan yang dilayangkan Kamilia berhasil membungkam mulut Tuan Heru.
"Kau ... kau, berani sekali!" serunya tak percaya. Saat itu pula Tuan Heru mengambil sabuk dan melecutkannya ke tubuh Kamilia.
"Aw sakit ... ampun ... ampun!" Jeritan gadis itu tidak meredakan amarah Tuan Heru. Pecutannya berhenti, saat gadis itu terkapar tak berdaya dengan bilur-bilur merah di sekujur tubuhnya.
Tuan Heru pergi meninggalkan Kamilia yang sekarat. Secuil tenaga penghabisan berhasil membawa gadis itu ke tempat tidur. Dirinya bergelung di bawah hangatnya selimut, antara sadar dan tidak.
***
Sinar matahari membangunkan Kamilia dari tidurnya yang gelisah. Rasa sakit di sekujur tubuh menyongsongnya. Dia mencoba bangkit, di benaknya tergambar satu siasat. Dia akan melarikan diri.
Uang di bawah kasur yang dia sembunyikan, membawanya duduk melamun kini di sebuah bis. Perjalanan yang akan membawanya ke desa kembali. Di sepanjang jalan terlihat pohon-pohon yang meranggas. Telanjang tanpa daun menyelimuti. Terpaksa berlaku seperti itu karena batang ingin tetap tumbuh.
Ibunya menangis saat Kamilia pulang. Dia membaluri tubuh gadis itu dengan beras kencur. Perih sekali Kamilia rasakan, namun hatinya lebih perih lagi. Membusuk dan tak mungkin sembuh lagi.
Uang dari Harso rupanya sudah habis di meja judi oleh bapaknya. Dengan tidak ada belas kasihnya, bapaknya meminta uang kepada Kamilia.
"Mana uangmu, Kartika? Sini Bapak minta!"
"Uang apa? Bukankah uangnya sudah Bapak ambil dari Harso, Si Bedebah itu. Dia sudah menjualku seharga lima puluh juta, apa masih kurang Bapak dapat!?" Kamilia berteriak sambil menangis.
"Bangsat, dia cuma memberiku lima juta!" Bapaknya mengamuk. Sebuah kursi reot menjadi sasarannya, dibandingkan ke lantai. Hancur seperti hati Kamilia saat ini. "Besok kau harus pergi lagi ke kota, cari duit yang banyak, kalau perlu jual lagi dirimu I...."
"Pak! Nyebut Pak ... Nyebut!" teriak istrinya memotong perkataan lelaki itu.
"Aaah!" Dengan membanting lagi kursi, bapak Kamilia pergi.
Kamilia keluar rumah sambil menangis. Berjalan membawa sakit hatinya. Entah ke mana harus membawanya. Pundaknya ternyata terlalu lemah untuk memikulnya.
Kamilia duduk dalam kegelapan, menengadah memandang bintang. Badannya terasa remuk redam dan dia mengadukannya kepada malam. Kembali kantung matanya dipenuhi air. Bulir-bulir bening membentuk anak sungai di pipinya. Sakit raga dan jiwa seperti menyentuh langit rasanya.
Dia pulang berharap sebuah perlindungan dari bapaknya. Orang yang seharusnya paling depan membela. Namun, dia malah memintanya untuk menjual diri kembali.
"Aaah, aku benci!" Tiba-tiba Kamilia berteriak. Suaranya keras seperti menembus langit, mengadukan segala keluh kesahnya.
"Kartika ... Kartika, kaukah itu? Kami kehilanganmu selama ini."
Kamilia seperti tersambar petir, mendengar suara yang begitu dikenalnya.
Kamilia memalingkan muka. Rasanya ingin sekali melebur bersama malam. Dirinya saat ini, tidak ingin bertemu dengan si pemilik suara. Seandainya bisa, dia ingin berubah menjadi angin, menyelinap pergi tanpa diketahui. "Kartika?" Ia masih mengulangi pertanyaannya. Kamilia menghapus kesedihan dari matanya, seulas senyum dia paksa untuk tampil sempurna di bibirnya. Pemilik suara itu adalah pengisi mimpinya selama ini. Sebelum petaka ini mampir memporak-porandakan hidupnya. "Kang Saiful." Kamilia tersenyum. Nasib baik, malam begitu kelam sehingga sang pemilik mimpi tidak melihat bilur-bilur merah di tubuh Kamilia. Kenistaan yang harus Kamilia sembunyikan dari siapa pun. Jawaban apa yang harus Kamilia berikan, seandainya Saiful bertanya dari mana tanda penganiayaan itu berasal. "Aku mencarimu saat kau tidak datang mengaji. Ibumu bilang kau pergi ke kota untuk bekerja. Benarkah?" tanya Saiful. "Benar." Kamilia menjawab pendek. Dirinya berdiri
Kamilia tersenyum getir, kenangan demi kenangan menyelinap satu persatu ke dalam benaknya. Memasung rindu yang enggan beranjak.Setelah cukup beristirahat, Kamilia keluar kamar menjelang sore. Ternyata penghuni rumah ini bukan cuma Tante Melly beserta dirinya. Ada banyak wanita muda di sini. Kamilia hanya memandang tanpa berani bertanya."Eh, sini!" Seorang wanita muda melambaikan tangannya ke arah dirinya."Aku?" tanya Kamilia sambil menunjuk dirinya sendiri."Ya."Kamilia berjalan pelan menuju ke arah wanita itu. Beberapa kali melewati wanita-wanita lain yang sedang berdandan. Mereka bersiap-siap berangkat bekerja. Pandangan mereka seolah-olah berkata,"Berlarilah secepat kau bisa!""Kamu gak dandan, Mila? Kenalin aku Calista." Wanita cantik itu memperkenalkan diri. Entah dari mana pula dia tahu nama Kamilia."Aku dandan untuk apa?" tanya Kamilia heran."Loh?" Calista menautkan kedua alisnya tanda heran."Ayo cepa
Dari malam ke malam Kamilia semakin pintar bersolek. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keberaniannya melepas pakaian kepada pelanggannya.Tante Melly semakin terkenal di kalangan para penikmat cinta sesaat setelah kedatangan Kamilia. Tentu saja dari bulan ke bulan pundi-pundi Kamilia pun semakin menggembung. Kamilia bukan lagi gadis kampung yang kusam, uang telah mengubahnya menjadi secantik model."Mila, jangan lupa kirim adikmu uang!" perintah Tante Melly. Di suatu malam saat ada seorang cukong berduit tebal membooking Kamilia. Pria itu royal dan sepertinya suka dengan suguhan yang Kamilia persembahkan."Tentu, Tante ... tentu," jawab Kamilia.Kamilia tidak pernah lupa mengirim uang buat ibunya di kampung, melalui rekening tetangganya dia sukses membuat ibunya kini dihargai orang. Sejak Kamilia bekerja, ibunya tidak payah lagi kalau buat sekadar belanja makan.Tante Melly memang begitu perhatian kepada anak buahnya. Mereka harus berdanda
Musim hujan semakin jemawa. Menyiksa semua mahkluk dengan dingin yang menusuk tulang. Tentu saja Tuan Hendra semakin rajin menyambangi Kamilia. Membawa uang penukaran raga. Senanglah hati Kamilia. Tuan Hendra berupaya agar Kamilia jatuh cinta padanya. Lelaki itu menutup semua akses Kamilia untuk dikenal lelaki lain. Tidak ada yang salah, karena perempuan itu suka hati. Mengabulkan semua permintaan Tuan Hendra.
Setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga Kamilia mengikuti kehendak juru kamera itu. Dia akan keluar rumah diam-diam tanpa Hendra. Hal yang paling dibenci lelaki itu. Keraguan menyelimutinya saat mobil putih itu membawanya ke Kafe Senja. Tadi dia sudah mengirim pesan, agar fotografer itu datang tepat waktu. Kamilia takut, ketika Hendra pulang dirinya tidak ada di rumah. "Siapa dia?" Kamilia langsung saja menodong juru kamera itu dengan pertanyaan. "Sabar, Mila," jawabnya sambil mengerling nakal. "Maksudmu apa, Bagas?" tanya Kamilia. Ternyata namanya Bagas, sang juru kamera itu. "Ada harganya," jawab Bagas serius. "Berapa?" "Aku tidak meminta uang sebagai imbalan," jawab Bagas. Rupanya dia sudah mulai berani kurang ajar. Kamilia mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan ucapan Bagas. Sesaat kemudian Bagas mengirim isyarat dengan mengelus tangan Kamilia. Tentu saja Kamilia menolak, perempuan itu menepiskan tangan Bagas.
Kamilia terkejut dengan pernyataan Tante Melly. Dia tak menyangka kalau Calista ternyata sudah melakukan operasi plastik. Itu berarti …."Apakah Tante tahu wajahnya dia yang sekarang?" tanya Kamilia penasaran."Tante pernah dikirim foto saat dia bersama pacarnya," ujar Tante Melly. Dengan cepat dia gulirkan HP-nya. Terlihat di layar seorang laki-laki bersama seorang wanita. Namun, rambut wanita tersebut menghalangi wajahnya.Kamilia melongoknya. Kembali didapatinya sebuah kejutan. Lelaki itu adalah Bagas. Ternyata benar, Calista itu adalah orang yang dia kenal. Ah … sempit sekali dunia ini."Mengapa tiba-tiba kamu kangen Calista, Mila? Bukankah kalian saling tidak menyukai?" goda Tante Melly."Gak ada apa-apa, Tante. Aku hanya heran dia tak ada di sini," jawab Kamilia."Kirain kangen, hihihi." Tante Melly terkikik geli."Ayo kita ke Mall, Tante. Hari ini aku ingin mengajak Tante makan suki," ajak Kamilia."M
Kamilia berusaha menyembunyikan wajahnya. Untung, posisinya sedikit terhalang hiasan restoran. Pasangan itu mengambil tempat agak jauh dari Kamilia. Kamila mengambil beberapa gambar dari ponselnya.Perasaan Kamilia seperti membeku di titik rasa sakit. Dirinya merasa seperti secangkir air, tak berdaya di terik matahari. Menguap dan menjadikannya awan hitam. Hanya mampu mengamati bumi dari kejauhan.Awan hitam itu berjanji penuh keyakinan. Dia akan kembali ke bumi dengan kekuatan yang maha dahsyat. Kekuatan yang sanggup menghanyutkan apa pun rintangan. Tentu saja dengan kekuatan dendam yang meluap-luap."Ayo Tante, kita pulang," ajak Kamilia."Ini masih banyak makanan yang belum kita makan, Mila," kata Tante Melly. "Tapi, baiklah." Akhirnya Tante Melly setuju untuk pulang. Dia melihat paras Kamilia berubah.Kamilia mengantarkan Tante Melly pulang. Sepanjang perjalanan Kamilia membisu. Tante Melly diam, tetapi akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya
Hendra menghentikan tawanya. Dia menatap serius muka Kamilia. Kamilia bergeming, mukanya menunjukkan kebulatan hatinya."Mengapa?" tanya Hendra. "Aku pikir kau adalah penganut kebebasan, Mila. Kau tahu, kewajiban apa yang harus kau lakukan, bila menjadi seorang istri?""Aku tahu." Kamilia menjawab singkat. "Aku juga tahu, kewajibanku untuk melabrak Calista. Begitu juga pengganggu-pengganggu lainya," terusnya dalam hati.Hendra mengangkat bahu. Kamilia menganggap Hendra tidak peduli. Wanita itu berusaha mendesak Hendra. Namun, lelaki itu malah mencumbunya."Kita pikirkan nanti, oke!"Akhirnya Kamilia mengalah. Pikirnya, seandainya dia tetap memaksa, Hendra pasti akan marah. Kamilia tahu sifat Hendra, kalau hasratnya tidak kesampaian maka dia akan meradang. Kamilia menjadi pelampiasan Hendra setiap malam, tanpa jeda, kecuali saat datang bulan.Rasa kecewa yang tidak tercerna sempurna membuat Kamilia tidak sehangat biasanya. Namun,