Share

MENANTU yang DIREMEHKAN TERNYATA MERESAHKAN
MENANTU yang DIREMEHKAN TERNYATA MERESAHKAN
Penulis: Dwrite

Awal Perubahan

"Eh, Jeng. Bukannya keluarga Wijaya itu punya tiga menantu, ya? Kok, yang sering keliatan cuma dua?"

"Iya, betul Jeng Susi. kalau nggak salah istrinya si Wisnu. Dia, kan menantu dari anak pertama, tapi kenapa sampe sekarang masih belum bisa kasih cucu?"

"Mungkin dia pemalu, atau bisa jadi keluarga Wijaya yang malu ngenalinnya sama kita. Denger-denger dia itu cuma anak haram entah dari keluarga konglomerat yang mana."

Sejenak kegiatan perempuan yang tengah menuangkan teh dalam gelas itu terhenti. Meskipun pakaian pelayan melekat di tubuhnya saat ini, hal tersebut sama sekali tak bisa menutupi indentitas aslinya.

"Nya ...." Gadis berpakaian sama yang berdiri tepat di sampingnya mengiba. Dia jelas menyadari bahwa orang bersangkutan yang tengah dibicarakan ibu-ibu sosialita itu sedang ada di sampingnya kini.

Kalina Fathira, perempuan berusia tiga puluh dua tahun yang merupakan menantu pertama dari keluarga konglomerat Wijaya. Kenyataan tentang status sosialnya yang tinggi, sama sekali tak bisa mengubah pandangan orang-orang di sekitar tentang alasannya menjadi bagian dari keluarga ini, dan istri dari seorang Wisnu Adiwijaya. Dia direndahkan, diremehkan, bahkan diperlakukan semena-mena tak ubahnya para pelayan di kediaman megah tersebut.

"Nggak apa-apa, Ci. Udah biasa saya denger yang begini." Ekspresi Kalina tetap sama. Seulas senyum tipis tersungging di wajahnya yang biasa datar dan nyaris tanpa ekspresi.

"Tapi, Nya ... mereka itu bener-bener keterlaluan. Masa biarin menantu jaga stan makanan di depan dan ngelayanin orang-orang dengan mulut kek comberan? Mana ini acara nggak guna banget lagi. Tibang anak lulus TK, terus masuk SD aja pake kudu dirayain," sungut Cici, satu-satunya asisten rumah tangga yang paling mengerti Kalina, dan selalu gemas dengan perlakuan anggota keluarga Wijaya pada menantunya yang satu ini.

"Nggak apa. Lagian Thea cucu pertama di keluarga ini. Mungkin acara ini termasuk salah satu rasa syukur mereka karena diberi cucu yang cantik dan cerdas seperti Thea," sahut Kalina masih dengan sikap tenangnya.

"Nggak kebayang kalau suatu saat nanti mereka dapet cucu laki. Auto sewa bunderan HI terus bikin party di atas Monas," cibir Cici sembari mengepalkan tangan menahan geram.

Kalina hanya terdiam mendengar ocehan Cici, sembari menata kembali gelas-gelas berisi Thai Tea untuk disuguhkan pada para tamu undangan yang lalu-lalang di depan.

"Excusme, pelayan!" Sebuah panggilan menginterupsi keduanya.

Cici yang menyadari, langsung memutar bola mata dan memasang tampang julitnya.

"Cih, Dede Lampir bunting pasti mau berulah," cetusnya. "Biar saya aja yang samperin, Mendingan Nyonya tunggu di sini!" tambah Cici sembari berlalu menghampiri perempuan yang diketahui istri dari putra bungsu di keluarga Wijaya. perempuan berambut panjang curly dengan perut membuncit itu terlihat baru saja duduk di antara para ibu sosialita yang menggosipkan Kalina tadi.

"Ee, ee, eh. Bukan, kamu, Ci. Panggilin Lina!"

"Astaga. Sudah kuduga bakal kek gini. Itu bini ipar pertama lu sendiri, Della. Panggil nama seenaknya kagak ada sopan-sopannya," batin Cici menjerit. Akhirnya dia hanya bisa memutar tubuh dan menghadap Kalina dengan wajah sendunya.

"Nggak apa-apa, Ci." Lagi-lagi Kalina mengeluarkan kalimat andalannya untuk meyakinkan Cici bahwa dia baik-baik saja selama ini.

"Thai teanya mana?" tanya Della setengah membentak saat Kalina sampai di hadapannya.

"Pan elu belum minta, Lam--" Bergegas Cici membekap mulut saat melihat Dela melotot ke arahnya.

"Cici! Ambilin saya pudding cokelat di stan pojok sana. Nggak usah pake toping, pake piring yang diameternya lima inci, garpunya harus yang warna pink, sebelum dipake kamu cuci dulu sepuluh kali!"

Cici meringis kecil. Dia mengangguk pelan sebelum pergi dan bergumam dalam. "Della ... nama yang cocok untuk Dede Lampir yang halal untuk dilempar panci."

Sepeninggal Cici, Kalina berniat kembali ke stan untuk mengambil beberapa Thai tea yang diinginkan Della.

"Thanks," ujar Della setelah Kalina menata gelas-gelas kecil berisi minuman itu di atas meja. "Eh, sebentar! Kakiku lecet, karena haknya terlalu tinggi. Bisa--"

"Oke, saya ambilkan ke atas," potong Kalina sebelum sempat Della menyelesaikan kalimat.

"Eee, ee, eh. Nggak usah. Copot sepatu kamu aja, biar aku pake," sela Della sebelum Kalina berlalu.

Perempuan berkucir tinggi itu terdiam sejenak, tanpa kata dia langsung melepas sepatu bertumit tiga centi itu dan menyodorkannya pada Della.

"Pakein! Aku nggak kuat nunduk, kehalang perut," pinta Della dengan manja.

Kalina menatap iparnya dengan pandangan yang sulit diartikan, sebelum berjongkok untuk memasangkan sepatu bertali itu di kaki Della.

"Maacih-- eh, Sayang!" Della langsung bangkit saat melihat seorang lelaki dengan setelan santai, di acara yang cukup formal. Lelaki berambut gondrong dengan kaus dipadukan blazer dan celana robek-robek itu berjalan menghampiri. Dia adalah adik bungsu Wisnu, lelaki berusia dua puluh lima tahun bernama Indra Prawijaya yang baru mempersunting Della satu setengah tahun yang lalu. "Kenalin ini Jeng Susi, Marie, sama Jenny!" Indra tersenyum sembari menyalami mereka satu per satu.

Pandangannya beralih saat melihat Kalina yang bertelanjang kaki. Beberapa saat memperhatikan, akhirnya dia hanya mengedikkan bahu dan berpaling lagi.

Kalina kembali ke stan minumannya tanpa alas kaki. Dia sadar Della tak akan mungkin bersedia meminjamkan sepatunya walaupun ukuran mereka sama. Maka dari itu dia memutuskan untuk tak menghabiskan energi hanya untuk memastikan sesuatu yang sudah jelas penolakannya.

Beberapa saat kemudian sepasang suami istri datang menghampiri, bersamaan dengan Cici yang membawa pesanan Della tadi.

"Lampir menghilang, Kuyang pun datang," gumam Cici setelah mengantarkan pudding di meja Della.

Tanpa permisi perempuan berambut cepak dengan penampilan sedikit tomboy yang diketahui sebagai Yayang Kumala, istri dari adik kedua Wisnu itu terlihat menyambar satu gelas minuman, dan menegaknya sekaligus. Dahinya mengernyit sejenak, lalu memuntahkan lagi minuman di mulutnya ke dalam gelas di genggaman tangan.

"Kurang dingin. Tambahkan lagi es batu," cetus sembari meletakkan kembali gelasnya di hadapan Kalina, dan berlalu sembari menuntun bocah perempuan berusia tujuh tahun.

"Maaf tentang sikap istriku, dia memang gitu," ujar Hendri sembari menumpukkan tangan di atas meja stan. Lelaki seumuran Kalina itu mengusap rambut klimisnya, lalu memamerkan outfits yang dia kenakan kali ini. "Bagaimana penampilanku hari ini?"

"Sempurna seperti biasanya," jawab Kalina to the point dan tanpa pikir panjang.

"Sudah kuduga, cuma kamu yang ngerti tentang fashion di keluarga ini."

Hendri Danuwijaya memang dikenal memiliki selera yang unik, gayanya yang nyetrik dengan fashion yang kadang nyeleneh membuat orang di sekitarnya tak jarang terganggu.

"Omong-omong di mana Bang Wisnu? Jangan bilang dia lagi mojok sama artis seksi itu." Hendri celingukan mencari keberadaan abangnya yang sama sekali belum terlihat sejak acara dimulai.

Kalina mengedikkan bahu. "Aku permisi ambil es dulu."

"Oke, kapan-kapan kita ngobrol tentang fashion di butikmu lagi, ya!" Kalina mengangguk kecil, dan beralih pada Cici.

"Tolong jaga stan-nya sebentar, ya, Ci. Saya mau ambil es batu dulu."

"Siap, Nya."

***

Tubuh Kalina mematung tanpa ekspresi saat melihat suaminya Wisnu tengah bercumbu dengan seorang wanita bertubuh sintal di koridor kecil dekat dapur. Ekspresinya masih setenang air, tapi genggaman erat di pegangan wadah es batu sudah cukup menjelaskan apa yang tengah dia rasakan.

"Kalina ...." Perempuan bernama Yuna yang lebih dulu menyadari kehadiran Kalina, langsung mendorong dada Wisnu, dan membersihkan jejak lipstik di sudut bibir lelaki itu.

Sementara Wisnu hanya bisa menatap istrinya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sudah dua tahun sejak Kalina tahu tentang hubungan terlarangnya dengan Yuna. Tak ada ekspresi berarti yang ditunjukkan wanita berkulit kuning langsat itu. Sudah sepuluh tahun sejak menjadi bagian dari anggota keluarga Wijaya, dia sudah memperkirakan segala bentuk penyiksaan yang akan dialami.

"Lain kali cari tempat yang aman! Aku malas bila harus berhubungan dengan wartawan yang membutuhkan klarifikasi jika kalian ketahuan nanti." Setelahnya Kalina berjalan melewati Wisnu dan Yuna.

"Maaf, Kal. Maaf kalau aku selalu merepotkanmu," ujar Yuna yang membuat langkah Kalina terhenti seketika.

"Ya."

Kalina pun berlalu menuju dapur untuk mengisi ulang es batu. Sebelum pergi dia sempat mendengar Wisnu mengatakan agar Yuna tak perlu merasa sungkan akan kehadiran Kalina.

Dalam keheningan perempuan itu memindahkan es dalam container menuju wadah yang lebih kecil. Sesekali dia memijat kakinya yang terasa pegal dan nyeri.

Tiba-tiba suara langkah kaki beberapa orang terdengar. Belum sempat Kalina menoleh untuk melihat siapa yang datang, rambut panjangnya yang terikat sudah lebih dulu ditarik seseorang.

"Apa yang lo masukin di dalam kue Thea, Sialan?" Ternyata Yayang yang datang menjambak rambut Kalina, bersama dengan Della, Indra, Henri, dan kedua mertuanya.

"Apa maksudmu?" tanya Kalina menatap Yayang tak mengerti.

"Nggak usah pura-pura tolol, tadi lo kasih tart buat anak gue, kan? Sekarang dia muntah-muntah terus pingsan!"

"Memang saya yang ngurus kue tart buat Thea, tapi saya nggak tahu apa-apa tentang kandungan di dalamnya."

"Halah, dia bohong, Kak," Della mulai memperkeruh suasana dan dihadiahi cubitan dari Henri. "Aw."

"Nggak usah ikut-ikutan! Anak kecil mending diem."

Della mengerucutkan bibir.

"Kalina, jelasin yang sebenarnya biar kita semua paham." Dahlan Wijaya, mertua Kalina menengahi. Sementara istrinya Dahlia yang memang jarang bicara hanya bisa menatap dengan sorot tak suka.

"Demi Tuhan aku bener-bener nggak tahu, Pa--"

Plak!

Semua orang terdiam saat Bu Dahlia tiba-tiba melayangkan tamparan di pipi Kalina.

"Selama ini saya cukup respek dengan kehadiranmu, Kalina. Tapi, sesuatu yang menyangkut nyawa saya tidak akan bisa mentolelirnya. Jangan hanya karena ketidakberdayaanmu sebagai wanita, kamu jadikan anak yang tak berdosa sebagai pelampiasannya!"

"Ma ...." Kalina mengusap pipinya dan menatap Bu Dahlia dengan mata berkaca-kaca.

"Buktikan ketidakbersalahanmu, dan datangi toko kue itu sekarang! Bawa orang yang kamu pikir bertanggung jawab atas peristiwa ini ke hadapan kami!" tegas Bu Dahlia tanpa bantahan.

Suasana berubah hening. Tak ada yang berani membuka mulut mendengar satu-satu anggota keluarga yang biasanya tak banyak bicara bertindak tegas dan tak pandang bulu.

"Oke." Kalina bangkit menghadap Bu Dahlia. "Akan kubuktikan pada kalian bahwa aku tak seburuk dan selemah yang kalian pikir!"

Kalina melangkah lebar, sembari melepas apron yang dikenakan. Dia menyambar kunci mobilnya di gantungan, dan berhenti sejenak saat melihat Wisnu tiba-tiba muncul di hadapan.

"Minggir, Brengsek!" pekik Kalina sembari menabrak bahu Wisnu.

Langkahnya semakin cepat menerobos orang-orang yang menghadiri party, dia bahkan mengabaikan Cici yang terus-menerus memanggilnya sejak tadi.

Tanpa ba bi bu Kalina langsung tancap gas meninggalkan garasi kediaman utama Wijaya setinggi tiga lantai ini. Kaki telanjangnya menekan pedal gas, mobil melaju kencang melewati jalan pintas.

Dari arah yang berlawanan terlihat mobil lain yang melaju sama kencang melewati jalan yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Kalina mulai panik saat dia menyadari rem yang dia injak sama sekali tak berfungsi.

Hanya ada dua pilihan dengan jalan yang sama-sama berisiko. Kalina harus menabrakan diri dengan risiko langsung mati dengan kecepatan seperti ini. Atau menjatuhkan diri ke jurang dasar sungai dengan risiko tidak ditemukan.

Beberapa saat bergulat dengan pikiran, akhirnya dia mengambil opsi yang kedua. Kalina membanting setir hingga mobilnya jatuh terperosok ke jurang.

Keesokan harinya bangkai mobil berhasil ditemukan mengambang di sungai, tanpa tanda-tanda keberadaan Kalina di dalamnya.

***

Dua bulan kemudian ....

"Udah dua bulan, tapi masih belum ada tanda-tanda Kalina ditemukan. Alasan apa lagi yang harus kita berikan pada keluarganya di Surabaya?" Pak Dahlan memulai percakapan, di tengah keheningan ruang makan.

"Bukannya dia anak haram, ya? Meskipun terlahir dari keluarga kaya, aku yakin dia sama sekali nggak berguna dan nggak diinginkan," timpal Yayang.

"Jaga mulutmu, Yang. Setidaknya Kalina punya paras dan tubuh yang bisa dia andalkan," sahut Hendri.

"Ini semua salah mama, harusnya mama nggak minta Kalina pergi," ujar Bu Dahlia penuh sesal.

"Mama nggak salah, kok. Mungkin udah takdir Lina terlahir dengan nasib yang sangat menyedihkan. Bukan begitu, Bang Wisnu?" Della mengerlingkan mata sembari menatap Wisnu yang duduk di hadapan.

Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu bergeming. Tanpa kata dia bangkit dari tempatnya dan hendak berlalu. Namun, sebelum sempat beranjak dari kursi teriakan heboh Cici menginterupsi.

"Tuan! Nyonya! Di luar!" teriak Cici histeris.

Mereka semua berdiri.

"Nyonya Kalina kembali!"

Suara napas yang tercekat terdengar mendominasi.

Hampir serentak mereka semua berlari keluar untuk memastikan apa yang dikatakan Cici itu benar.

Sebuah Alphard hitam mengkilap sudah terparkir di pelataran. Pintunya terbuka otomatis. Sebuah kaki jenjang yang dilapisi heel tujuh centi menyembul menginjak teras.

Semua orang tercengang saat melihat Kalina turun sembari menjinjing tas mungil yang terlihat begitu mahal, sementara tangan lainnya menarik rambut seorang lelaki bergaya funk dan mendorongnya ke hadapan Bu Dahlia dan Yayang.

Plop!

Suara balon permen karet yang meletus dari mulut Kalina terdengar.

"Bajingan ini yang bertanggung jawab atas kue tart beracun yang diberikan pada Thea. Kudengar dia adalah mantan kekasih yang sudah Yayang campakkan." Yayang terbungkam dengan pupil mata bergetar. Terkejut pasti.

Sejenak Kalina membenahi kemben pakaiannya, sebelum berhenti di hadapan Della.

"Puh!" Dia melepeh permen karet sisa kunyahan di telapak tangannya. Lalu berjongkok dan menempelkan benda lengket itu di salah satu kaki Della. "Lepaskan sepatuku dari kaki baumu! Asal tahu saja model sepatu itu hanya ada satu di Indonesia."

Della mengerjapkan mata, butuh sekitar sepuluh detik untuk mencerna, sebelum teriakan histeris keluar dari mulutnya.

Kalina beralih pada Wisnu yang sejak tadi mematung menatapnya. Perempuan itu mendekatkan diri dan mengendus wajah suaminya.

"Hm, kayaknya menu kali ini adalah kepiting Saus Padang. Tunggu apa lagi, mari kita makan!"

Plok!

Wisnu tercengang saat menyadari Kalina menepuk bokongnya sebelum pergi.

Tak ada yang berani mengeluarkan suara bahkan setelah Kalina berlalu dari pandangan mereka. Sampai akhirnya celetuk Henri menyadarkan keterkejutan mereka.

"Fix, kepala si Kalina kebentur saat kecelakaan."

.

.

.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Renni Sartika
kocaakkkk............
goodnovel comment avatar
Fahmi
Kepala si kalina kebentur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status