"Bukan, Mas," jawab Nara sembari menggelengkan kepala kuat dan cepat. Dia panik serta gugup secara bersamaan. Bagaimana bisa benda seperti itu ada dalam tasnya? "Kutanya padamu dan jawab dengan jujur." Wajah Zavier terlihat sangat serius. Akan tetapi matanya sayu, memancarkan sedikit kekecewaan di sana, "apa kau ingin memiliki anak denganku?"Dengan kaku Nara mengganggukkan kepala. "Pengen tapi tidak sekarang. Aku pe-pernah bertemu dengan kakak seniorku. Dia sedang skripsian dan dalam kondisi hamil. Ti-tidak ada yang menemaninya ke kampus, dia berjalan susah payah. Benar-benar sendiri! Habis itu, beberapa minggu kemudian, aku jumpa lagi dengannya dan perutnya sudah rata. Aku kira sudah melahirkan ternyata keguguran, Mas. Ja--jadi aku takut seperti dia. Tapi pil itu bukan punyaku. La--lagian sejak kapan Nara meletakkan tas di atas nakas? Aku selalu langsung menyimpannya ke meja belajar," jawab Nara sembari menjelaskan jika pil tersebut benar-benar bukan miliknya. Zavier menatap tas i
"Ekhm." Zavier berdehem, cukup kaget mendengar perkataan istrinya. Ah, kenapa juga Zavier harus kaget? Sudah tabiat istrinya mahir dalam berkata buruk. Zavier seharusnya kaget ketika Nara berkata sopan, lemah lembut dan manis. Itu baru mencurigakan. Jika seperti ini, artinya masih normal. Zavier berdecis geli, mengetuk pelan bagian belakang kepala istrinya kemudian menyeret Nara untuk masuk dalam mobil. Jika pikir lagi, lucu juga ucapan Nara pada Sabila. "Kau tidak perlu meladeninya. Masuk dalam mobil," ucap Zavier pelan, tersenyum tipis ke arah Nara. Nara menganggukkan kepala, menuruti perkataan sang suami. Namun, sebelum dia masuk dalam mobil, Nara menyempatkan diri untuk melayangkan tatapan tidak suka pada Sabila.Sedangkan Sabila, mimiknya menahan marah. Dia menghentakkan kaki dengan kesal saat mobil Zavier meninggalkan kediaman Azam. "Awas saja kau, Nara. Aku akan menyingkirkanmu. Segera!"***Tuk'Nara yang saat itu tengah menyiapkan laporan akhir magang, sontak menoleh ke a
"Nara memang seperti itu, Kak Zavier?" tanya Sabila, memperlihatkan raut meringis dan simpati–isyarat memberitahu Zavier jika Nara sangat aneh dengan sikap seperti itu. Bukannya menjawab perkataan Sabila, Zavier memilih memanggil Kenan. "Kenan.""Ah, ya, Tuan?" Segera Kenan menghampiri Zavier. Dia kebetulan baru tiba. Saat di kantor dan di depan orang asing, Kenan akan memanggil Za dengan sebutan tuan. Itu bentuk rasa hormat dan profesionalnya pada Zavier. "Katakan pada pihak agensi StarMoon, tidak ada kontrak kerja sama jika modelnya dia," dingin Zavier, melayangkan tatapan tidak suka pada Sabila. Mata Sabila melebar, begitu juga dengan manager serta perwakilan lain dari agensi tersebut. Mereka sangat terkejut dan langsung panik luar biasa. Bagaimana mereka akan menghadapi bos mereka jika setelah pulang dari sini? "Baik, Tuan," jawab Kenan santai. Dia membungkuk untuk memperlihatkan Zavier berjalan lebih dulu. Zavier melangkah tenang, akan tetapi Sabila langsung menghadang. "Ka
"Kenapa kau diam saja?" tanya Zavier, menoleh ke arah Nara yang saat ini duduk diam di sebelahnya.Setelah Nara memberi contoh memakan bakwan kemudian dia langsung muntah, Zavier langsung membawanya ke rumah sakit. Sekarang mereka dalam perjalanan pulang. "Humm?" Nara berdehem, menoleh sejenak pada Zavier lalu kembali menatap lurus ke arah depan. Nara mengerjap beberapa kali lalu memilih diam, tanpa mengatakan sepatah kata apapun. "Ada apa?" Zavier kembali menatap sejenak ke arah istrinya. Semenjak mengetahui kondisi kesehatannya, Nara mendadak menjadi diam dan sangat kalem. Tidak biasanya, "kau tidak suka?" "Suka apa, Mas?" tanya Nara balik. "Suka bayi dalam perutmu." "Suka." Nara mengangguk pelan. "Senang?" "Senang, Mas," jawab Nara pelan. "Jadi?""Jadi?" beo Nara. Zavier menghela napas pelan, memilih diam dan tak berupaya membujuk Nara untuk berbicara lagi. Mungkin Nara sedikit kaget dengan kondisinya yang tengah hamil atau khawatir pada janin di perutnya. Setelah tiba di
Hari demi hari Nara lewati dengan gembira. Kehamilannya membuat Zavier sedikit lebih manis padanya. Jika soal dimanja, suaminya sejak dulu sudah suka memanjakannya. Namun, setelah Nara hamil, pria itu semakin memanjakannya serta sangat overprotektif pada Nara. Sekarang Nara sedang keluar rumah, bertemu dengan para teman-temannya untuk menyelesaikan perkara mereka dahulu. Nara sudah izin pada Zavier dan dia ditemani beberapa bodyguard serta maid. Mereka menunggu di dalam mobil, sedangkan Nara berkumpul bersama para temannya. "Maafkan aku, Nara. Aku salah sebab hanya diam saat Tamara menyudutkanmu," ucap Karina dengan nada penuh penyesalan dan sedih. Dia sudah pernah meminta maaf dan Nara mengatakan telah memaafkannya. Namun, dia merasa jika Nara menjauh darinya setelah kejadian itu. "Kami juga, Nara. Harusnya sejak awal kami tidak menjadikan Tamara masuk dalam pertemanan kita dan selalu percaya padamu. Maafkan kami, Nar." Sira mewakili teman-temannya yang lain. "Yah, kaki salah. P
"Amanda," gumam Nara pelan, menatap heran, terkejut bukan main serta tertohok secara bersamaan. Di antara sel disini, hanya sel yang ditempati Amanda yang bersih. Bukan hanya itu, di sel tersebut dilengkapi tempat tidur yang terlihat nyaman, ada selimut, bantal, kulkas, sofa. Ini mirip seperti sel tahanan pejaba …-Hampir saja! "Nara," ucap Amanda sedikit kaget sebab melihat sosok Nara di depan selnya. "Wah wah wah, Nyonya Adam ada di sini? Sedang apa, heh?" Lanjutnya dengan menyunggingkan smirk tipis pada Nara. Dia bangkit dari tempat tidur lalu berjalan ke arah sofa dekat jeruji besi. Dengan arogan, Amanda duduk di sana. "Maaf membuatmu kecewa, Nak manis. Harapanmu untuk melihatku tersiksa itu tidak akan terjadi. Zavier tidak bisa melukaiku, dia sangat antusias menunggu kelahiran bayi kami.""Kamu tidak akan berhasil mempengaruhiku," ucap Nara dengan nada arogan, akan tetapi dalam hati dia sudah merasa ketar ketir. Secara hati-hati dan gugup, Nara menatap ke arah perut Amanda. Te
Nara berjalan cepat dalam kamar kemudian langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Melihat itu, Zavier menghela napas kemudian mendekati Nara. "Kenapa langsung tidur? Kau tidak ingin mendengarkan penjelasan ku?" tanya Zavier, duduk di sebelah istrinya berbaring. Dia mengulurkan tangan, mengusap pucuk kepala istrinya secara lembut. "Cukup tahu," ucap Nara cepat, menepis tangan Zavier dari atas kepalanya. Dia menggeser tubuh, menjauh dari sang suami lalu mengubah posisi dengan membelakangi Zavier. "Di depanku, Mas seolah membencinya, seolah dia adalah nyamuk yang sangat ingin Mas bunuh. Tapi di belakangku, Mas memberinya perlindungan--menyediakan fasilitas untuknya lalu menunggu anaknya lahir.""Ada yang salah jika aku menunggu bayinya lahir?" ucap Zavier pelan. Seketika itu juga Nara menoleh tak percaya pada Zavier. Sejenak matanya melotot karena tak percaya pada jawaban Zavier. Lalu selanjutnya, Nara menampilkan raut muka marah. Dia gusar dengan wajah memerah padam. "Seorang
"A--aku takut Za-Tuan Zavier kemari lagi. Tolong pergi, hiks …."Nara mengerutkan kening, memperhatikan Amanda yang saat ini sudah menagis sejadi-jadinya. Perempuan itu memperlihatkan wajah ketakutan, tubuhnya bergetar. 'Kenapa dia sangat takut pada Mas Zavier? Dia kelihatan seperti orang trauma.'"Memangnya apa yang dilakukan Mas Zavier padamu sampai kamu ketakutan begitu?" tanya Nara, memperhatikan Amanda secara lekat. Ketika dia menoleh ke arah sel Abim, pria itu sudah tak ada di sana. Hanya tinggal jejak darah yang belum dibersihkan. Melihat itu, punggung Nara mendadak panas. Sebenarnya sekejam apa suaminya? Dia tahu Zavier memang sering melenyapkan orang, Nara tidak bisa membenarkan dan bukan juga telah terbiasa. Namun, mau bagaimana lagi, papanya dan papa mertuanya juga begitu. "Tu--Tuan Zavier …." Air mata Amanda semakin mengalir deras, bibirnya tiba-tiba merapat dan wajahnya terlihat semakin pucat. Nara semakin mengerutkan kening, dia penasaran kenapa Amanda bisa setakut it