Awan pun terdiam, tidak jadi atau tidak bisa berkata apa-apa. Jari telunjuknya diletakkan di depan mulutnya, menyuruh Rosie agar tidak bersuara.
SSST…
Rosie mengangguk pelan, paham dengan bahasa tubuh Awan.
Mata Awan masih sibuk melihat ke arah sumber suara. Awan tahu benar, ada jarak aman ketika sedang berhadapan dengan binatang liar. Selagi jarak itu terjaga, kemungkinan aman dari terkaman masih besar.
Namun, tentu hal ini bukan jaminan, karena alam liar selalu banyak memberikan kejutan. Kewaspadaan adalah satu-satunya kunci, agar bisa menyelamatkan diri.
“Ros!” ucap Awan sedikit berbisik.
“Apa?” tanya Rosie sangat pelan.
“Kalau kubilang lari, kau harus cepat lari!”
“Lalu, kau sendiri?
Awan tidak menjawab apa-apa.
“Wan?” Rosie memanggil sekali lagi, tetap Awan tidak menjawab.
Sementara, semak-semak terdekat pun menunjukkan ada pergerakan yang semakin dekat dan semakin dekat. Ketika semak-semak yang jaraknya kurang lebih hanya terbilang dua meter dari Awan dan Rosie mulai tersibak, Awan tahu benar, kali ini tidak ada pilihan lain selain berhadapan.
“Wan!” Sekali lagi Rosie memanggilnya, dengan suara yang mulai bergetar.
“Lakukan saja seperti kataku!” kata Awan tegas.
Sekarang giliran Rosie yang terdiam.
Sigap, Awan pun perlahan mulai melangkah ke depan Rosie agar dapat menjadi tameng yang melindunginya. Rosie yang takut-takut pun mengikuti gerakan Awan yang perlahan mulai mundur sedikit demi sedikit ke arah belakang.
GLUP
Rosie menelan ludah, sambil kakinya mulai gemetar.
“Ros!”
“Ya?”
“Hitungan ketiga kau harus lari!”
Kali ini, tanpa banyak bertanya. Rosie hanya mengangguk pelan. Saat itu pikirannya hanya satu, ketika lari ia akan menarik tangan Awan agar lari bersamanya.
“Satu!” Awan memulai hitugannya.
Tatapan keduanya masih fokus melihat ke awah depan, ke arah semak-semak terdekat yang mulai tersibak. Sedikit demi sedikit, semak-semak yang hanya berjarak lima langkah dari mereka pun mulai tersibak juga.
“Dua!”
Awan pun sudah memasang kuda-kuda pertahanan. Bersiap siaga, kalau-kalau mahluk pemilik suara tersebut melompat ke arah mereka.
“Tiga”
Rosie mulai mempersiapkan dirinya, lari sekencang yang ia bisa.
Namun, yang terjadi justru diluar dugaannya. Di saat mereka berdua sudah benar-benar tegang dan siap-siap melihat apapun yang akan muncul dihadapan. Tiba-tiba saja semak-semak yang tersibak mulai terhenti, suara auman hewan pun tidak terdengar lagi. Entah apa yang sebenarnya terjadi.
KRIK..KRIKK.. KRIKK.. KRIKK..
Hutan terlarang kembali menjadi sunyi, menyisakan suara jangkrik yang mulai terdengar kembali. Rosie yang masih ketakutan pun terlihat bingung, dan tetap berdiri kaku sambil memegang bagian belakang jaket Awan.
Awan yang tidak merasakan tanda-tanda alam seperti sebelumnya pun berpikir, ‘jika memang hewan liar, mungkin hanya lewat kemudian pergi. Jika memang bukan hewan, maka biarlah tanpa perlu dipikir lebih jauh lagi’.
Awan pun sedikit mulai menurunkan tensi dan melemaskan tubuhnya yang terlalu tegang tadi. Setelah beberapa saat menunggu tetap tidak ada pergerakan dari semak-semak tadi, Awan pun memilih menggerakkan tubuhnya.
“Sepertinya sudah tidak apa-apa!” Kata Awan ringan sambil bergerak memutar posisi tubuhnya ke belakang.
Tapi, pergerakannya terhenti, saat itu Awan baru sadar, erat sekali Rosie menggenggam jaketnya, tanda betapa ketakutan yang dirasakannya.
Awan pun tidak jadi berbalik dan bertanya, “Kau tidak apa-apa, Ros?”
Rosie tidak menjawab, genggaman tangannya di jaket Awan pun tetap tidak dilepaskannya.
Awan kemudian berkata, “Aku tidak tahu itu tadi apa, tapi yang jelas itu sudah tidak ada, kita aman sekarang.”
Mendengarnya, Rosie tetap tidak bicara. Awan mulai khawatir dan berusaha menggerakkan kepalanya. Namun, tiba-tiba saja kepala Rosie menyandar di punggung Awan. Terisak, walaupun tanpa suara.
“Tenanglah, sudah tidak ada apa-apa, Ros!” Awan mencoba menenangkan selembut yang ia bisa.
Rosie tidak memberikan tanggapan, masih terisak, bersandar di punggung Awan.
Awan pun tidak jadi bergerak dan memilih diam. Membiarkan jaketnya yang perlahan mulai basah terkena air mata Rosie.
“Ros!” setelah dua menit berlalu Awan mulai memberanikan diri lagi, bicara.
Tapi Rosie tetap tidak memberikan jawaban apa-apa, masih terisak. Awan pun tidak punya pilihan lain kecuali diam, menunggu. Setelah beberapa menit, Rosie sepertinya sudah mulai bisa mengkondisikan perasaannya.
“Kau baik-baik saja, Ros?” Awan sekali lagi ragu-ragu bertanya.
Tetap tidak ada jawaban apa-apa dari Rosie. Tapi pungung Awan tidak merasakan getaran dari isak kepala Rosie lagi, tanda Rosie sudah lebih tenang dari sebelumnya. Jaket Awan pun sudah tidak lagi digenggamnya.
Saat itu, Awan masih tidak tahu harus berbuat apa. ‘Berbicara untuk menenangkannya sudah, lantas apa lagi yang harus dilakukan?’ pikir Awan lagi dan lagi.
Astaga, Awan memang orang yang cukup pengalaman dalam menghadapi hewan liar, tapi lihat, dalam kondisi seperti ini dia tidak tahu harus apa. Awan hanya diam, entah apa yang dipikirkannya.
“Ehm..” Ragu-ragu Awan hendak berkata sesuatu, tapi sebelum selesai melanjutkan perkatannya Rosie mulai menggangkat kepalanya dari punggung Awan.
Punggung yang sedari tadi tidak bergerak pun akhirnya bisa sedikit merasa lega. Awan pun berbalik arah. Rosie terlihat masih tertunduk, dengan gerakan tangan yang menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Sekali lagi, Awan sungguh tidak tahu lagi harus bicara apa.
Di saat Awan masih sibuk berpikir, tiba-tiba Rosie berkata lirih, “Maaf.”
Awan yang tidak mengerti maaf untuk apa hanya bisa menatap penuh tanya ke arahnya.
“Maaf aku cengeng sekali bukan? Tapi aku benar-benar takut tadi,” kata Rosie dengan suara lemah.
Mendengarnya, Awan pun reflek menepuk pundak Rosie, mencoba menenangkan. Entah kenapa kemudian Rosie justru menangis kembali.
Awan jadi salah tingkah, tidak tahu harus bagaimana. ‘Sungguh permasalahan ini jauh lebih sulit daripada berhadapan dengan hewan liar sekalipun,’ gumam Awan dalam hatinya.
Awan pun tanpa banyak berpikir mulai berkata, “Aku juga takut tadi, tapi yang berlalu biarlah berlalu.”
Rosie hanya menatap Awan lamat-lamat.
“Ehm, maksudku, sebaiknya kita fokus melanjutkan pencarian. Bukankah itu yang lebih penting sekarang?” tanya Awan ragu-ragu, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Mendengar ucapan Awan, Rosie menghentikan tangisnya, menatap Awan lamat-lamat. Melihatnya, Awan menjadi salah tingkah dan pikirannya bertanya-tanya ‘eh, apakah aku melakukan kesalahan? Kenapa dia menatapku seperti itu?’
Rosie sadar bahwa yang dikatakan Awan adalah benar. Untuk kemudian menghapus air matanya dan berkata, “Kau benar Wan, Ayo kita lanjutkan pencarian, sebelum malam menjelang!”
“Eh, kau yakin?”
“Tentu saja!” Kata Rosie berusaha tampak lebih riang dan menghapus sisa air mata di pipinya.
Mendengarnya, Awan menjadi lega, pikirannya yang sedari tadi mengkhawatirkan banyak hal pun berhenti. Mereka berdua akhirnya melajutkan berjalan, menyusuri danau Hutan Terlarang.
Matahari tampaknya juga akan segera tenggelam, pencarian akan lebih susah jika dilakukan pada waktu malam. Mereka pun bergegas, berpacu dengan waktu, mendahului matahari yang segera ingin menjemput peraduan.
“Wan!” panggil Rosie.
“Ya?”
“Sudah sejauh ini berjalan tapi tidak ketemu juga. Menurutmu, sekarang Jazlan ada di mana?”
Di sisi lain Hutan Terlarang, terlihat para pendaki juga mulai kelelahan. Di area yang cukup luas, mereka satu persatu terduduk di tanah, melemaskan kaki yang sedari tadi dipaksa berlari. Ada yang mengeluarkan air untuk sekadar melepas dahaganya. Ada juga yang memilih menggeletakkan tubuhnya, telentang melepas lelah.Beberapa pendaki lain masih terus berdatangan ke area tersebut. Seorang laki-laki tinggi tegap, yang tidak lain adalah Jazlan, terlihat berjalan sempoyongan, sambil menggandeng bahu seorang pendaki muda yang jalannya terseok-seok.<<Flashback>>Ketika hendak menuju jembatan gantung, kerumunan para pendaki yang berlarian kian tidak terbendung. Jazlan yang notabennya memiliki badan tinggi besar pun sampai terseret karena saking banyaknya pendaki yang menyerbu, berebut untuk menuju jembatan gantung itu. Apalagi R
“SSST…” Jazlan hanya mengkode agar Riki diam.Jazlan yang bisa dibilang cenderung penakut pun tiba-tiba merasa seluruh bulu kudunya berdiri. Pikirannya melayang, membayangkan apa saja yang bisa menjadi sumber suara.“Astaga! Kenapa juga aku teringat kejadian di Hutan Mati sekarang?” Jazlan keceplosan mengucapkan apa yang ada di pikirannya sendiri.“Hah, kau bicara apa?” Riki tidak mengerti.“Eh, lupakan, aku sedang bicara sendiri!” kata Jazlan sedikit berbisik.Walaupun masih terhitung terang, tapi suasanya kali ini lebih ke arah mencekam. Bahkan para pendaki yang ada di area itu pun hanya berdiri kaku, melihat ke arah sumber suara. Tidak ada satupun yang berani berinisitif memastikan apa yang menyibak rimbunnya rumput di sana.“HEI! SIAPA DI SANA? TOLONG JANGAN BERCANDA!” teriak Jazlan yang m
Melihat serigala yang semakin mendekat, Riki yang duduk di samping kanan, tepat di depan pintu gerbang benteng pun tidak bisa lagi tinggal diam. Ia kemudian mencoba bangkit dari duduknya dengan menjadikan dinding benteng sebagai alat bantu berdiri.KRETEK.. KRETEKTidak disangka, saat tangan Riki bersandar di salah satu bagian dinding benteng tua, ada bagian dinding yang tiba-tiba bergerak masuk ke dalam, membentuk lubang. Ajaib, di dalam lubang tembok itu terlihat benda semacam tuas.‘Astaga, jangan-jangan itu tuas untuk membuka pintu gerbang, sudah seperti cerita film saja,'gumam Riki.Tanpa menunggu lagi, sambil berjinjit, Riki pun langsung mengarahkan tangannya ke dalam lubang dan menarik tuasnya ke arah bawah.CIIIT…. BRUK…BRUK…Dan benar saja, setelah itu pintu gerbang tiba-tiba saja terbuka. Jazlan
HAH.. HAH.. HAH..Suara napas Jazlan terdengar sudah sangat tidak beraturan dan dalam. Keringat dingin di dahinya pun mulai mengalir membasahi wajahnya. Entah sudah sejauh mana ia berlari, tapi serigala-serigala itu tetap terus mengejarnya tanpa henti.“Aduh!” saking buru-burunya Jazlan pun tidak melihat ada batu, ia pun terjungkal, jatuh terperosok ke tanah.Sementara, saat itu para serigala yang mengejarnya hanya berjarak lima langkah saja darinya. Jazlan hendak bangkit, berdiri dan kemudian melanjutkan lari. Namun sayang, kakinya sepertinya terkilir, Jazlan pun tidak bisa beranjak dan hanya terduduk di tanah.“PERGI!” teriak Jazlan mengusir serigala-serigala yang sudah didepannya persis.Bukan serigala liar namanya kalau mereka patuh dengan perkataan Jazlan. Saat itu, tanpa aba-aba, para serigala dengan kompaknya mulai melompat, menerjang ke arah Jazlan
Tidak ada jawaban. Hanya langkah kaki yang tetap terdengar dengan bayangan sosok yang tampak mulai mendekat. Headlamp Jazlan pun mulai meredup. Saking panjang dan gelapnya lorong, tidak terlihat jelas bayangan sosok yang mendekat dari ujung lorong itu. “Hei, siapa di sana?” teriak Jazlan sekali lagi. Tetap tidak ada jawaban. “Kalau manusia seharusnya akan menjawab bukan?” gumam Jazlan dalam hati. GLUP Jazlan menelan ludah. Ia pun memaksakan diri, takut-takut mulai mengambil langkah mundur, hendak lari ke ujung lorong di belakangnya. Namun sayang, dari arah belakangnya tiba-tiba saja ada suara langkah kaki yang juga terdengar seperti sedang mendekat menuju ke arahnya. “Apa lagi ini? Hu..hu..” Jazlan yang notabennya penakut dengan hantu pun sudah mulai mau menangis. Saat itu, Jazlan benar-benar tidak tahu harus melihat ke arah mana. Ia pun hanya berdiri kaku di tempat, tidak maju dan tidak mundur. Matanya fokus melihat kedepan, sedang telinganya fokus mende
Riki dan Roman terdiam, tidak ada satu pun kata yang mereka keluarkan untuk menanggapi pertanyaan Jazlan. Pandangan mata mereka masih tidak bisa lepas, tetap melihat ke atas atap.“Ka..katakan aku sedang bermimpi!” ujar Jazlan masih tidak percaya.Namun, Riki dan Roman masih tidak bergeming. Seperti tersihir oleh apa yang dilihatnya di atas atap. Hal yang baru pertama kali mereka lihat, secara langsung, seumur hidupnya.“Hei! Kalian mendengarku?” tanya Jazlan sekali lagi, sambil mengguncangkan pelan lengan Riki dan Roman.Riki dan Roman masih tetap berdiri mematung. Tidak bergerak, pun tidak memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Jazlan.Tes..Suara satu tetes cairan mengalir dari atas atap, mengenai dahi Riki yang sedang mendongak ke arah atas. Ia pun reflek segera membersihkan tetesan cairan yang ternyata adalah darah. 
Di dekat danau Hutan Terlarang, Awan dan Rosie tampak masih berjalan, memecah keheningan malam. Sambil tetap menyapukan pandangan ke seluruh penjuru danau, mencari keberadaan sahabatnya, Cantigi dan Jhagad yang terjatuh ke jurang dengan sungai mengalir di bawahnya. KRU…KRUUU Malam di Hutan Terlarang benar-benar sunyi, nyaris tidak terdengar suara apa pun kecuali suara burung hantu yang sedari tadi terus berbunyi. Atau suara kepak sayap kelelawar yang samar-samar terdengar ketika melintas. Semakin jauh kaki melangkah menyusuri kawasan Hutan Terlarang, satu hal yang masih sama, perasaan dilihat entah oleh apa atau siapa. “Wan! Kau lihat itu?” kata Rosie sambil menunjuk ke tanah di depannya. Awan tidak menjawab, namun langsung mengambil posisi jongkok, mendekati tanah yang ditunjuk oleh Rosie. Perlahan Awan mengarahkan cahaya headlamp miliknya ke arah tanah di depannya.
Awan dan Rosie dalam keadaan yang terdesak. Sudah tidak ada pilihan lagi, harus mengambil tindakan sekarang juga atau terlanjur tidak bisa sama sekali nanti. Sekelebat Awan melihat ke arah depan, sorot mata tampak tidak sebanyak yang ada di sisi kanan maupun kiri mereka.Tanpa berkata-kata, Awan pun langsung menyambar tangan Rosie, menariknya, melarikan diri. Mendengar pergerakan mereka berdua, serigala yang ada di depan mereka pun akhirnya juga sudah mulai bergerak.“Sial!” maki Awan kepada headlamp yang saat itu tidak membantu penerangan sama sekali di dalam kabut.Jarak pandang yang menipis membuat pandangan Awan terganggu, tidak setajam sebelumnya. Awan hanya bisa mengandalkan pendengarannya saja. Berbeda dengan Awan, sepertinya pandangan serigala itu tidak terganggu sama sekali. Artinya, serigala serigala itu bisa dengan mudah menerkam Awan dan Rosie, kapan saja.GERRR&helli