Share

BAB 7: Tidak Tahu Harus Bagaimana

Awan pun terdiam, tidak jadi atau tidak bisa berkata apa-apa. Jari telunjuknya diletakkan di depan mulutnya, menyuruh Rosie agar tidak bersuara.

SSST…

Rosie mengangguk pelan, paham dengan bahasa tubuh Awan.

Mata Awan masih sibuk melihat ke arah sumber suara. Awan tahu benar, ada jarak aman ketika sedang berhadapan dengan binatang liar. Selagi jarak itu terjaga, kemungkinan aman dari terkaman masih besar.

Namun, tentu hal ini bukan jaminan, karena alam liar selalu banyak memberikan kejutan. Kewaspadaan adalah satu-satunya kunci, agar bisa menyelamatkan diri.

“Ros!” ucap Awan sedikit berbisik.

“Apa?” tanya Rosie sangat pelan.

“Kalau kubilang lari, kau harus cepat lari!”

“Lalu, kau sendiri?

Awan tidak menjawab apa-apa.

“Wan?” Rosie memanggil sekali lagi, tetap Awan tidak menjawab.

Sementara, semak-semak terdekat pun menunjukkan ada pergerakan yang semakin dekat dan semakin dekat. Ketika semak-semak yang jaraknya kurang lebih hanya terbilang dua meter dari Awan dan Rosie mulai tersibak, Awan tahu benar, kali ini tidak ada pilihan lain selain berhadapan.

“Wan!” Sekali lagi Rosie memanggilnya, dengan suara yang mulai bergetar.

“Lakukan saja seperti kataku!” kata Awan tegas.

Sekarang giliran Rosie yang terdiam.

Sigap, Awan pun perlahan mulai melangkah ke depan Rosie agar dapat menjadi tameng yang melindunginya. Rosie yang takut-takut pun mengikuti gerakan Awan yang perlahan mulai mundur sedikit demi sedikit ke arah belakang.

GLUP

Rosie menelan ludah, sambil kakinya mulai gemetar.

“Ros!”

“Ya?”

“Hitungan ketiga kau harus lari!”

Kali ini, tanpa banyak bertanya. Rosie hanya mengangguk pelan. Saat itu pikirannya hanya satu, ketika lari ia akan menarik tangan Awan agar lari bersamanya.

“Satu!” Awan memulai hitugannya.

Tatapan keduanya masih fokus melihat ke awah depan, ke arah semak-semak terdekat yang mulai tersibak. Sedikit demi sedikit, semak-semak yang hanya berjarak lima langkah dari mereka pun mulai tersibak juga.  

“Dua!”

Awan pun sudah memasang kuda-kuda pertahanan. Bersiap siaga, kalau-kalau mahluk pemilik suara tersebut melompat ke arah mereka.

“Tiga”

Rosie mulai mempersiapkan dirinya, lari sekencang yang ia bisa.

Namun, yang terjadi justru diluar dugaannya. Di saat mereka berdua sudah benar-benar tegang dan siap-siap melihat apapun yang akan muncul dihadapan. Tiba-tiba saja semak-semak yang tersibak mulai terhenti, suara auman hewan pun tidak terdengar lagi. Entah apa yang sebenarnya terjadi.

KRIK..KRIKK.. KRIKK.. KRIKK..

Hutan terlarang kembali menjadi sunyi, menyisakan suara jangkrik yang mulai terdengar kembali. Rosie yang masih ketakutan pun terlihat bingung, dan tetap berdiri kaku sambil memegang bagian belakang jaket Awan.

Awan yang tidak merasakan tanda-tanda alam seperti sebelumnya pun berpikir, ‘jika memang hewan liar, mungkin hanya lewat kemudian pergi. Jika memang bukan hewan, maka biarlah tanpa perlu dipikir lebih jauh lagi’.

Awan pun sedikit mulai menurunkan tensi dan melemaskan tubuhnya yang terlalu tegang tadi. Setelah beberapa saat menunggu tetap tidak ada pergerakan dari semak-semak tadi, Awan pun memilih menggerakkan tubuhnya.

“Sepertinya sudah tidak apa-apa!” Kata Awan ringan sambil bergerak memutar posisi tubuhnya ke belakang.

Tapi, pergerakannya terhenti, saat itu Awan baru sadar, erat sekali Rosie menggenggam jaketnya, tanda betapa ketakutan yang dirasakannya.

Awan pun tidak jadi berbalik dan bertanya, “Kau tidak apa-apa, Ros?”

Rosie tidak menjawab, genggaman tangannya di jaket Awan pun tetap tidak dilepaskannya.

Awan kemudian berkata, “Aku tidak tahu itu tadi apa, tapi yang jelas itu sudah tidak ada, kita aman sekarang.”

Mendengarnya, Rosie tetap tidak bicara. Awan mulai khawatir dan berusaha menggerakkan kepalanya. Namun, tiba-tiba saja kepala Rosie menyandar di punggung Awan. Terisak, walaupun tanpa suara.

“Tenanglah, sudah tidak ada apa-apa, Ros!” Awan mencoba menenangkan selembut yang ia bisa.

Rosie tidak memberikan tanggapan, masih terisak, bersandar di punggung Awan.

Awan pun tidak jadi bergerak dan memilih diam.  Membiarkan jaketnya yang perlahan mulai basah terkena air mata Rosie.

“Ros!” setelah dua menit berlalu Awan mulai memberanikan diri lagi, bicara.

Tapi Rosie tetap tidak memberikan jawaban apa-apa, masih terisak. Awan pun tidak punya pilihan lain kecuali diam, menunggu. Setelah beberapa menit, Rosie sepertinya sudah mulai bisa mengkondisikan perasaannya.

“Kau baik-baik saja, Ros?” Awan sekali lagi ragu-ragu bertanya.

Tetap tidak ada jawaban apa-apa dari Rosie. Tapi pungung Awan tidak merasakan getaran dari isak kepala Rosie lagi, tanda Rosie sudah lebih tenang dari sebelumnya. Jaket Awan pun sudah tidak lagi digenggamnya.

Saat itu, Awan masih tidak tahu harus berbuat apa. ‘Berbicara untuk menenangkannya sudah, lantas apa lagi yang harus dilakukan?’ pikir Awan lagi dan lagi.

Astaga, Awan memang orang yang cukup pengalaman dalam menghadapi hewan liar, tapi lihat, dalam kondisi seperti ini dia tidak tahu harus apa. Awan hanya diam, entah apa yang dipikirkannya.

“Ehm..” Ragu-ragu Awan hendak berkata sesuatu, tapi sebelum selesai melanjutkan perkatannya Rosie mulai menggangkat kepalanya dari punggung Awan.

Punggung yang sedari tadi tidak bergerak pun akhirnya bisa sedikit merasa lega. Awan pun berbalik arah. Rosie terlihat masih tertunduk, dengan gerakan tangan yang menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya. Sekali lagi, Awan sungguh tidak tahu lagi harus bicara apa.

Di saat Awan masih sibuk berpikir, tiba-tiba Rosie berkata lirih, “Maaf.”

Awan yang tidak mengerti maaf untuk apa hanya bisa menatap penuh tanya ke arahnya.

“Maaf aku cengeng sekali bukan? Tapi aku benar-benar takut tadi,” kata Rosie dengan suara lemah.

Mendengarnya, Awan pun reflek menepuk pundak Rosie, mencoba menenangkan. Entah kenapa kemudian Rosie justru menangis kembali.

Awan jadi salah tingkah, tidak tahu harus bagaimana. ‘Sungguh permasalahan ini jauh lebih sulit daripada berhadapan dengan hewan liar sekalipun,’ gumam Awan dalam hatinya.

Awan pun tanpa banyak berpikir mulai berkata, “Aku juga takut tadi, tapi yang berlalu biarlah berlalu.”

Rosie hanya menatap Awan lamat-lamat.

“Ehm, maksudku, sebaiknya kita fokus melanjutkan pencarian. Bukankah itu yang lebih penting sekarang?” tanya Awan ragu-ragu, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mendengar ucapan Awan, Rosie menghentikan tangisnya, menatap Awan lamat-lamat. Melihatnya, Awan menjadi salah tingkah dan pikirannya bertanya-tanya ‘eh, apakah aku melakukan kesalahan? Kenapa dia menatapku seperti itu?

Rosie sadar bahwa yang dikatakan Awan adalah benar. Untuk kemudian menghapus air matanya dan berkata, “Kau benar Wan, Ayo kita lanjutkan pencarian, sebelum malam menjelang!”

“Eh, kau yakin?”

“Tentu saja!” Kata Rosie berusaha tampak lebih riang dan menghapus sisa air mata di pipinya.

Mendengarnya, Awan menjadi lega, pikirannya yang sedari tadi mengkhawatirkan banyak hal pun berhenti. Mereka berdua akhirnya melajutkan berjalan, menyusuri danau Hutan Terlarang.

Matahari tampaknya juga akan segera tenggelam, pencarian akan lebih susah jika dilakukan pada waktu malam. Mereka pun bergegas, berpacu dengan waktu, mendahului matahari yang segera ingin menjemput peraduan.

“Wan!” panggil Rosie.

“Ya?”

“Sudah sejauh ini berjalan tapi tidak ketemu juga. Menurutmu, sekarang Jazlan ada di mana?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status