Untuk kesekian kalinya, Sean mengangguk dan menjawab pertanyaan Madeline. "Aku kan sudah bilang dari tadi kalau Darren memang akan datang. Kau ini kenapa kelihatannya bingung begitu?"
Madeline menggeleng. "Aku cuma tanya." Dia berusaha menyembunyikan ekspresi gugupnya. "Umh, maksudku tadi kau bilang dia datang dengan siapa?"
"Cressida," ujar Sean. Mendengar nama Cressida membuat mata Madeline membesar.
Pria itu kemudian menjelaskan kembali soal Cressida. "Dia itu satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan kakakku. Aku rasa, kalau Darren tidak juga berani menyatakan cinta padanya, orang tua kami akan menjodohkannya."
Madeline tersenyum kecut. "Apa dia selalu pengecut begitu?"
Sean mengerutkan alis. "Maksudmu?"
Madeline enggan menjelaskan. "Lupakan saja."
Sean menunjukkan ekspresi bingung yang jelas terlihat di wajahnya. Dia memandang Madeline dengan tatapan tajam, mencoba mencari jawaban atas reaksi kagetnya.
"Ada apa dengan sikapmu ini?"
Madeline juga bingung dengan sikapnya sendiri. Dia membenci Darren karena sudah mengacaukan perasaannya, tetapi di sisi lain dia juga menyadari hatinya patah mendengar pria itu dekat dengan wanita lain..
"Tidak ada apa-apa." Madeline berujar datar. Namun, sikap kikuk dan senyum tipis yang ditunjukkannya membuat Sean semakin curiga. Ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Kau yakin?"
Meski rasa penasaran Sean semakin besar, Madeline tetap bersikeras bahwa dia tidak terganggu dengan kedatangan Darren. "Aku baik-baik saja."
Madeline kemudian beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju paddock di mana Bella berada.
Perempuan itu mengelus lembut kepala kuda tersebut. Bella mendengus pelan dan menggerakkan kepalanya ke arah Madeline sebagai respon.
Menyadari bahwa mereka hanya akan terus bengong menunggu, Madeline berbalik dan memanggil Sean yang masih berdiri di tempatnya. "Sean, bisa tolong bantu aku naik ke Bella?" tanyanya. Lebih baik dia mencoba untuk menunggangi Bella daripada hanya diam menunggu.
"Tentu!" Dengan senang hati Sean akan menurutinya.
Sean meminta penjaga kuda untuk mengeluarkan Bella. Kuda betina tersebut dituntun keluar dengan memegang tali kekangnya. Dan sekarang, kuda itu sudah ada di hadapan Madeline.
Sean membantu gadis itu untuk naik. Sebelumnya, dia periksa dulu pelana kudanya sudah dipasang dengan benar dan stabil. Baru dia memberikan tumpuan pada tangannya untuk membantu Madeline mengangkat kakinya ke stirrup.
Selanjutnya, Sean dengan hati-hati membantu Madeline untuk meletakkan kaki kirinya di stirrup sisi lain sehingga dia bisa duduk dengan nyaman di atas pelana.
"Sudah pas?" Sean ingin memastikan kedua stirrup tersebut sudah pas di posisinya.
"Ya, ini pas."
Setelah yakin bahwa semuanya sudah aman, Sean menuntun Bella pelan-pelan.
Madeline kini sudah berada di atas Bella, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat seiring dengan gerakan perlahan kuda tersebut. Ini adalah sensasi yang ajaib dan memabukkan sekaligus, membuat perasaannya campur aduk. Sedikit banyak dia juga takut.
Dia merasakan tubuhnya menggigil sedikit saat Bella mulai bergerak. Detak jantungnya berirama dengan langkah-langkah lembut kuda tersebut. Dia merasa seperti sedang melayang, terpisah dari dunia di bawahnya.
Madeline bisa merasakan otot-otot Bella yang kuat bekerja di bawah tubuhnya, memberikan sensasi yang unik. Dia juga bisa merasakan embusan angin di wajahnya dan aroma rumput segar yang ditendang oleh kaki Bella. Sementara ini, Sean masih membantunya karena dia belum bisa mengendarai kuda sendiri.
"Jangan tegang!" Ketika Madeline melihatnya, Sean benar-benar kelihatan sangat pendek. "Kuda bisa tahu kalau kau tegang. Cobalah untuk santai bahkan kalau perlu ajak bicara saja kudamu ini."
"Kau tahu bahasa kuda?'' Madeline menggoda.
"Sedikit." Sean membalasnya.
Sepuluh menit Sean membantunya menuntun kuda, Madeline yakin kalau perasaannya dengan Bella sudah menyatu.
"Aku mau coba jalan sendiri. Boleh?"
Sean harus mendongak saat bicara. "Kau yakin?"
"Aku coba pelan-pelan saja." Madeline meyakinkan.
Sean mundur sedikit memberi jalan pada Madeline dan kudanya. Kuda itu melangkah perlahan, lama-lama menjauh darinya.
Madeline baru saja meyakinkan Sean bahwa dia baik-baik saja, tetapi tidak lama setelah itu, Bella tiba-tiba berhenti mendadak. Tubuh Madeline yang tidak siap dengan gerakan tiba-tiba tersebut tergoyang dan dia nyaris jatuh dari punggung Bella.
"Madeline!" teriak Sean ketika melihat wanita itu hampir jatuh. Dia berlari menuju Madeline dengan cepat, siap menangkapnya jika perlu.
Untungnya, Madeline berhasil mempertahankan keseimbangan di detik-detik terakhir. Dia menggenggam tali kendali Bella dengan erat dan mengambil napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantungnya yang berpacu kencang.
"Aku baik-baik saja." Madeline menyeringai menahan malu.
Sean cukup lega Madeline tidak jatuh dari Bella. Namun kekhawatirannya belum sepenuhnya hilang. "Kau yakin?" tanyanya sambil memperhatikan Madeline.
Madeline mengangguk pelan sebagai jawabannya. "Bantu aku untuk turun."
Sean mendekati Bella dan Madeline dengan hati-hati, memastikan bahwa kuda tersebut tetap tenang. Dia kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk memberikan pegangan pada Madeline. Sementara, tangan kirinya memegang stirrup.
Madeline turun perlahan sesuai dengan instruksi Sean. Pria itu meraih pinggang Madeline dengan lembut, membantunya melepaskan kaki kanannya dari stirrup dan mengayunkannya ke atas pelana sehingga dia bisa duduk menghadap ke arah yang sama dengan Sean. Setelah itu, dia berhati-hati membantu Madeline meluncur turun dari pelana.
Sekarang, Madeline sudah berada dalam dekapan Sean. Tiba-tiba saja rasa gemas menyerangnya, hingga tanpa sadar dia memutar tubuh Madeline sehingga wanita itu memekik.
"Sean!" teriak Madeline, suaranya terdengar agak panik. "Berhenti!"
Sean menghentikan gerakan memutarnya, tetapi dia masih memegang pinggang Madeline.
"Bagaimana kalau kau menunggangiku saja?' Sean meledek.
Madeline merotasi mata. "Serius maumu begitu?"
"Ya ...." Sean mengangkat bahunya. "Kau bisa bayangkan, berapa kali kita akan melakukannya?"
"Dua kali?" Madeline asal menebak.
"Aku rasa, bisa puluhan kali." Sean berbisik sensual.
Madeline memukul bahu Sean. "Kau akan menjadikanku mesin ternak bayi?"
Sean tergelak mendengar itu.
Di saat yang sama, tanpa mereka tahu Darren sudah datang. Dia memandangi Madeline dan Sean dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia bisa melihat betapa Sean menyukai Madeline dan gadis itu memberi balasan yang hangat.
Bayangan semalam mereka telah bercinta, merasuki pikirannya kembali. Meski setengah sadar, Darren tahu kalau Madeline membalas sentuhannya. Lebih manis dan hangat dari yang dia berikan pada Sean!
Cressida merangkul lengan Darren. "Kenapa malah bengong di sini?" Perempuan cantik bermata biru itu menegurnya.
Darren hanya mengatup mulut, hanya sorot matanya yang tajam menatap Sean dan juga Madeline.
Cressida memperhatikan juga. Dia berdecak kagum. "Ah, mereka mesra sekali. Aku rasa sebentar lagi keduanya akan berciuman."
Darren tidak suka. Dia akan mencegah itu terjadi!
Dengan langkah berat, pria itu mendekati mereka berdua. Dia berdeham, suaranya cukup keras untuk menarik perhatian Madeline dan Sean. Keduanya tampak terkejut dengan kehadiran Darren.
"Darren?" Sean segera menurunkan Madeline saat kakaknya datang. "Kau Sudah datang, rupanya." Dia bersikap sangat ramah.
Darren bersikap apatis. "Kalian mengabaikan Bella dan bersenang-senang!" rutuknya.
"Aku hanya bercanda dengan Madeline."
Darren melirik Madeline dengan tatapan tajam. "Jadi, kau bersenang-senang?" Pertanyaan itu untuk Sean sebenarnya.
Madeline tampak bereaksi berbeda. Wanita itu mendadak membeku saat bertatapan dengan Darren. Disadari atau tidak, matanya terbuka lebar dan wajahnya tampak pucat.
Darren mendekati Bella. Dia mengulurkan tangannya dan mulai mengelus-elus leher Bella dengan lembut."Kau tampak cantik hari ini."Bella merespons dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah dia memahami apa yang dikatakan oleh Darren.Sean mendengkus. Dia memperhatikan bagaimana Bella tampak begitu tenang di bawah sentuhan Darren. Dengan nada setengah berkelakar, dia berkata, "Semua wanita tampaknya takluk di hadapanmu. Tidak terkecuali Bella."Dengan ekspresi yang sulit diartikan, Darren mendecih pelan. Matanya kemudian kembali melirik Madeline, mencoba untuk menangkap reaksi wanita itu. Namun, Madeline tampaknya telah menyadari tatapan Darren dan dengan cepat mengalihkan perhatiannya.Madeline merasa jantungnya berdebar kencang. Dia bisa merasakan tatapan Darren yang begitu tajam dan dalam, seolah mencoba untuk membaca apa yang ada di dalam pikirannya. Perempuan itu berusaha untuk mengabaikan.Darren, yang masih berdiri di samping Bella, membalas decihan Sean dengan nada datar. "
Bella dengan gerakan yang liar dan cepat, melompat-lompat dan berlari tanpa arah. Gerakan tubuhnya yang besar dan kuat menimbulkan kekacauan di sekitarnya.Madeline berusaha mempertahankan kendalinya dengan berpegangan erat pada tali kekang. Wajahnya tampak tegang dan penuh ketegaran saat dia mencoba meredam gerakan kuda tersebut. Dia sudah berada posisi paling bahaya saat ini, tergantung pada satu sisi tubuh kuda."Sean!" Madeline tidak yakin dia bisa bertahan lebih lama lagi.Darren menunggangi Brown dengan cepat mengarahkan kuda tersebut menuju Madeline dan Bella. Setelah berhasil mendekati, Darren memegang tali kekang Bella, menariknya kuat bertahan dengan posisi yang sangat bahaya lalu melompat ke Bella. Brown jadi berlarian sendiri, sedangkan Darren sudah berada di atas Bella.Pria itu memegang kuat tali kekang Bella, kemudian membantu Madeline untuk duduk lagi dalam posisi yang aman. Darren memegang perempuan itu erat, membuktikan dia sudah aman sekarang."Bella!" Darren memang
"Aku akan membawamu ke klinik." Cressida membantu Darren berjalan. Dia memanggil pengawas kuda untuk mengurus Brown dan juga Chloe.Ben, dokter yang ditugaskan di klinik itu cukup terkejut saat melihat Darren masuk ke ruangannya dengan bantuan Cressida. "Darren, apa yang terjadi?" tanya dokter yang cukup mengenal Darren sebagai seorang penunggang kuda profesional dan mengetahui bahwa dia sangat terampil dalam olahraganya."Dia cedera." Cressida yang menjelaskan."Bagaimana bisa?" Ben bertanya kembali."Tentu saja bisa." Cressida yang masih mewakili Darren untuk menjawab. "Hari ini dia mau jadi pahlawan bagi seorang gadis."Darren mencebik. "Mulutku tidak cedera. Masih bisa dipakai untuk bicara. Jadi, kau tidak perlu mewakiliku untuk menjawab pertanyaan Ben!"Wah, sepertinya mereka sedang bertengkar. "Mari aku periksa." Ben meminta Darren agar duduk dan dia akan memeriksa cedera tangan pada pria itu.Ben melakukan serangkaian pemeriksaan awal pada Darren. Dia memeriksa gerakan send
Madeline tiba di apartemen bersama Sean. Mereka berdiri di depan pintu apartemen, lampu lorong yang redup menciptakan suasana yang sedikit tegang."Kau mau mampir?" tanya Madeline sambil menoleh ke arah Sean. Suaranya terdengar ragu dan gugup."Kenapa harus tanya?" balas Sean dengan senyum tipis di wajahnya. Dia tampak tenang dan santai, seolah-olah memang sudah seharusnya Madeline membiarkan dia masuk. Madeline tampak ragu untuk membuka pintu apartemen. Tangannya berhenti di gagang pintu, tidak yakin apakah harus membukanya atau tidak.Sean kemudian memegang tangan Madeline. "Aku mengganggumu?" "Tidak, bukan begitu." Madeline menggeleng cepat. Segera dia tepis pikirannya dan segera memasukkan kode kunci."Ayo masuk." Pintu terbuka, Madeline empersilakan Sean untuk masuk lebih dulu.Sean pun masuk dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Sofa berwarna putih yang terlihat agak kotor."Aku akan buatkan minuman untukmu," kata Madeline sambil bergerak menuju dapur kecil di bel
Madeline duduk termenung sendiri setelah Sean pergi. Dia menyadari kalau ada pria yang datang ke sini. Lantas apakah Sean juga bisa mereka kalau aroma tubuh yang tertinggal ini adalah aroma tubuhnya Darren?"Apa yang harus aku lakukan?" Madeline bergumam sendiri. Dia tidak masalah kalau Sean benar marah dan meninggalkannya. Namun, yang sudah-sudah pria itu bisa bersikap begitu baik. Ini yang membuat Madeline akan semakin merasa bersalah. Bagaimana dia harus menjelaskannya nanti jika Sean mau memaafkan? Haruskah dia mengatakannya langsung dan membiarkan hati laki-laki itu hancur lalu hubungan mereka ini berakhir?Tidak. Madeline rasa itu bukan ide baik. Sebaiknya Madeline menunggu waktu yang tepat untuk bisa menjelaskan. Pasti akan ada kesempatan untuknya dan dia akan pilih momen di mana itu tidak akan menghancurkan perasaan Sean.*Setelah melalui hari yang panjang, Cressida kembali ke rumahnya. Setidaknya, dia tahu di rumahnya yang mewah di pusat kota Manhattan, New York, akan me
Sean memegang setir mobil, termenung cukup lama. Dia memandangi mansion Darren yang megah dari balik kaca mobilnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia katakan dan bagaimana dia harus bertindak.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, Sean akhirnya membuka pintu mobil dan berjalan menuju mansion tersebut. Langkahnya terasa berat.Begitu masuk ke dalam mansion, seorang wanita berseragam kerja berwarna putih dengan apron hitam dan dasi kupu-kupu kecil di lehernya menyambut Sean.Dia Josy. Wanita bermata biru cerah dan selalu tampak penuh semangat. Wajahnya tampak awet muda meski kerutan sudah mulai tampak di beberapa bagian wajahnya."Kakakku ada?" tanya Sean."Ada, Tuan Muda," jawab Josy sambil memberikan senyum hormat kepada Sean. Dia kemudian membungkukkan badannya sedikit sebagai tanda hormat sebelum mempersilakan Sean untuk masuk lebih jauh ke dalam mansion.Darren duduk dengan tenang di ruang santainya yang luas dan nyaman bergaya klasik Eropa, dengan dinding-dindingnya dilapisi
Madeline menemui Sean segera setelah dia menerima telepon. Mereka bertemu di taman kota. Bagi Sean, tempat itu cukup romantis dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dan gemerlap di kejauhan. Pohon-pohon besar berdiri tegak, memberikan nuansa hening dan damai. Di malam hari, suasananya menjadi lebih tenang dan indah dengan pemandangan langit malam yang ditaburi bintang. "Maafkan aku, Mady," ujar Sean dengan nada serius. Madeline diam. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena Sean tidak tahu bahwa kekasih yang dipujanya ini telah bercinta dengan kakaknya sendiri.Rasa bersalah mendera Madeline. Dia tidak kuat menyimpan kebohongan ini lagi. Hatinya hancur saat membayangkan betapa sakitnya Sean jika mengetahui semua ini. Sean adalah laki-laki baik. Mencintainya tanpa syarat, dan memberikan segalanya untuk membuatnya bahagia. Dan Madeline? Dia telah mengkhianati cinta mereka dengan cara paling buruk yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu menjadi semakin dingin seiring waktu be
Madeline merasa ketakutan yang begitu mendalam saat laki-laki tersebut semakin memperketat cengkeramannya dan memutar tubuhnya dengan kekuatan yang lebih besar. Dia berteriak dengan maksud memohon agar nyawanya tidak diambil. "Jangan bunuh aku!"Kejutan yang tidak terduga melanda Madeline saat dia melihat wajah pria itu dengan jelas. "D-Darren?" Madeline berkata dengan suara yang gemetar, matanya masih memancarkan ketakutan yang mendalam. "Ini aku, Madeline." Dengan napas tersengal berusaha menenangkan Madeline.Madeline merasakan betapa takutnya dirinya saat itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi dan mengalir deras di pipinya. Dalam keadaan yang rapuh, dia memeluk Darren dengan kuat, seolah mencari perlindungan. Darren dengan lembut mengusap bahu Madeline. "Jangan takut, aku di sini untuk melindungimu." "Aku takut," ucap Madeline dengan suara terputus-putus, masih dalam ketakutan yang melumpuhkan dirinya. Dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan dal