"Daren?" Madeline hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin Gini selama ini tidak pernah mengkonfirmasi padanya kalau mereka telah diakuisisi dalam perusahaan Darren? "Mady aku tahu kau kecewa karena ini, tapi dengarkan aku dulu."Madeline menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak ada yang perlu aku dengarkan. Sepertinya kerja sama kita berakhir saja di sini.""Mady, please, dengarkan dulu!" Gini melarang perempuan itu untuk gegabah dalam mengambil keputusan. "Pikirkan di zaman sekarang ini, tidak mudah untuk menjual sebuah buku. Tidak peduli seberapa bagus tulisanmu, jika kau bukan orang yang populer, tidak akan mudah menjual karya-karyamu," ujarnya. "Apa maksudmu dengan mengatakan demikian?" tanya Madeline sampai mengurutkan alis. Gini menghela napas panjang. "Selama ini kau terima royalti cukup besar, bukan? Aku rasa itu tidak lepas dari campur tangan Darren.""Jadi maksudmu, selama ini uang yang aku terima adalah uang cuma-cuma dari Darre
Cressida mendengar perkataan Darren, merasa hatinya seperti ditusuk. Namun, dia tidak bisa menunjukkan perdebatannya di depan Michael."Michael, sudah waktunya tidur," ucap Cressida tidak mau membuang waktunya lebih lama lagi. "Kita bisa bicara tentang anak nakal itu besok.”Michael, meski sedikit kecewa karena orang tuanya tampak tidak peduli dengan apa yang dia ceritakan."Mom, bisakah kamu membacakan dongeng sebelum tidur?" pinta Michael dengan mata yang berharap. Namun, Cressida merasa terlalu lelah dan frustrasi. Selain itu, rasa sakit hati yang disebabkan oleh sikap cuek Darren membuatnya sulit untuk mempertahankan kesabaran."Michael, sudah kubilang, kau harus tidur sekarang!" bentak Cressida, suaranya lebih keras dari yang dia inginkan. "Kau sudah cukup besar, jangan manja!"Michael terkejut, matanya membelalak. Dia tidak menyangka ibunya akan semarah ini. Dia berdiri di sana, diam hanya menatap ibunya."Dengar, Michael," kata Cressida, mencoba mengendalikan suaranya. "Kau ha
Darren melewati malam dengan over thinking. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Entah itu soal Cressida atau Michael. Bahkan, dia masih merindukan Madeline.Paginya, ketika dia berada di kantor, Gisela sang sekretaris memberitahukan padanya kalau ada orang yang ingin bertemu. Ketika dikonfirmasi siapa dia, ternyata itu adalah Carlos. Anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari tahu soal Madeline.Darren segera menyuruhnya segera ke ruangan."Pagi Pak Darren!" Carlos memyapa ketika dia sudah tiba di ruangan Darren."Masuklah!" Darren mempersilakannya.Carlos duduk di depan Darren. "Maaf mengganggu, Pak, aku datang ke sini untuk mengatakan kabar penting soal Madeline."Hanya alis Darren yang bertaut."Wanita yang Anda cari itu telah kembali," ujar Carlos.Dalam sekejap, semua kenangan tentang Madeline membanjiri pikirannya. "Di mana dia sekarang?" tanya Darren,"Aku rasa dia masih tinngal di apartemen lama, Pak. Aku sudah memperhatikannya selama beberapa hari ini."Darren memikirk
Gini menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Darren, aku tahu ini sulit. Tapi percayalah, Mady bukanlah orang yang mudah dibujuk. Dia memiliki prinsip dan dia akan mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Aku tahu kau merasa berhak tahu, tapi apakah itu sebanding dengan risiko kehilangan Mady lagi?" Darren tampak ragu, matanya bergerak bolak-balik antara Gini dan latte-nya yang sudah mulai dingin. "Kau tidak akan mengerti dengan apa yang aku rasakan."Gini menggeleng. "Aku mengerti, Darren. Tapi, aku juga kenal betul dengan bagaimana Mady. Pikirkan juga soal istrimu. Kalau kau masih nekat mendekati Madeline, dia bisa dituduh yang bukan-bukan."Darren tampak terpaku, matanya menatap jauh ke luar jendela. Dia tahu semua ini terlalu rumit. Namun, bagaimana bisa dia berhenti mencari tahu? Bagaimana dia bisa berhenti mencintai Madeline?Darren berpikir keras, matanya menatap kosong ke depan. Dia terjepit antara cintanya pada Madeline dan tanggu
Madeline menatapnya dengan tajam, tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut. "Beraninya aku? Oh, Cressida, kau pikir aku akan takut padamu?" Dia tertawa kecil, suaranya penuh dengan sinisme. "Aku tidak takut padamu, baik dulu atau sekarang."“Dasar pelacur murahan!” Cressida menghinanya. “Aku tahu kenapa kau bisa berani begini.”Madeline belum paham dengan tuduhan Cressida.“Sudah pasti kau menggoda suamiku lagi, kan?” tuduh Cressida tanpa bukti. “Kau menggoda suamiku dan mengemis padanya supaya dilindungi.”Madeline bergeming untuk sejenak. Entahlah bagaimana dia harus mengelak. Rasanya mengatakan apa pun akan percuma saat ini.Cressida menunjuk Madeline. “Dengar! Sebesar apa pun cinta kalian, akulah yang istrinya. Kau hanya jalang yang coba kembali untuk menghancurkan rumah tanggaku.”Tuduhan Cressida kali ini mengenai jantung Madeline seperti sebilah pisau yang menancap.“Anakmu itu, jangan coba-coba meminta hak pada Darren atau aku akan membunuhmu! Dia hanyalah anak haram!” Cressid
Dilan menatap lama Michael. “Emm, aku harus bilang semuanya kepada ibuku dengan siapa aku berteman, tapi kamu apakah benar ingin berteman denganku?” tanya Dilan bersungguh-sungguh tapi Michel langsung menyambut dengan anggukan kepala yang mantap. “Karena kau adalah orang yang mau membelaku saat Bobby dan teman-temannya nakal,” jawab Michael dengan sejujurnya. Belum sempat Dilan berbicara ternyata di seberang jalan, Madeline telah menunggu kedatangannya. “Aku duluan, besok kita bertemu lagi,” ucap Dilan berlari menemui ibunya. “Halo, Jagoan kecil,” sapa Madeline berjongkok agar mereka sama tingginya. “Hai, Mom, aku tadi kena hukuman dari Miss Neona.” Dilan tidak sabar ingin bercerita dia membuka percakapan tentang hukumannya tadi. “Oh, begitu, kita lanjut cerita di rumah, sekarang pulang dulu.” Bocah kecil sekolah TK tersebut menurut apa kata ibunya. Mereka pulang ke apartemen bersama-sama. Sore harinya. Madeline telah selesai membuat makan makan untuk mereka berdua. Dilan masi
"Darren?" Perempuan itu terkejut. "Mady." Dia menyapa dengan napas bau alkohol "Kau mabuk?" Darren menegakkan tubuhnya. "Aku hanya minum sedikit untuk menghangatkan badan." Madeline mengibas udara. "Mulutmu bau sekali!" Perempuan itu agak kesal. "Duduklah dulu, kau tidak bisa menyetir dalam keadaan mabuk begini. Aku akan telepon Sean untuk menjemputmu." Brak! Darren mendorong Madeline masuk ke dalam dan memojokkannya ke tembok. "Daren, tenanah!" Madeline mendorongnya. "Aku akan–" "Sst!" Darren membekap mulut Madeline. "Jangan sebut nama itu di depanku. Apa … apa kau tidak bisa menghargai aku yang ada di depanmu ini?""Lepaskan aku, Darren!" Madeline menarik kuat tangan pria itu. "Beraninya kau memperlakukan aku seperti ini!" "Kau membenciku?" Darren sempoyongan ketika bertanya. "Darren, diamlah." Madeline menyuruhnya menjauh. "Aku akan telepon Sean untuk menjemputmu." Darren memerosot lalu memegang kaki Madeline. "Kenapa … kenapa bukan aku yang kau pilih?" Madeline tertegu
Madeline merasakan penyesalan yang mendalam karena dia sudah melakukannya untuk pertama kalinya dengan pria pengecut seperti Darren. Ini sebuah kesalahan besar. Seharusnya, dia tidak membiarkan dirinya kelepasan melakukan itu."Di matamu aku begitu?" Darren menanyakan dirinya.Madeline melihat Darren. Ya ... dia adalah sosok yang tidak memiliki keberanian untuk mendekati dan menyatakan cintanya sejak awal."Terus saja sembunyi, jangan pernah tunjukkan perasaanmu." Madeline mengejek. Perempuan itu merasa frustasi dan kecewa. Baginya, perasaan ini salah karena dia semakin terpesona dengan Darren."Aku akan berubah." Darren berujar."Kau kira aku akan percaya?" Madelin tersenyum sinis. "Bahkan, yang semalam terjadi juga bukti kalau kau pengecut!"Darren menyesali itu. Dia mabuk dan melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Dia menyesal setengah mati karena Madeline, wanita yang ia cintai, masih perawan."Maaf," ucap Darren dengan suara parau dan mata sembab. "Aku tidak bermaksud be