Share

Pilihan Untukmu

Madeline berjalan menuju dapur dan mengambil sebotol jus apel dari dalam kulkas. Dengan tangan yang gemetar, dia membuka tutup botol tersebut dan kemudian berjalan kembali ke ruang tamu.

Tanpa memberi peringatan apa pun, Madeline tiba-tiba menyiramkan jus apel tersebut ke sofa tempat mereka melakukannya semalam. Sofa tersebut langsung basah oleh jus apel dan aroma manis dari jus tersebut mulai mengisi ruangan.

Darren terkejut melihat aksi Madeline dan tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. "Kau ini kenapa?" tanyanya dengan suara gemetar.

Madeline menatap Darren dengan tatapan kosong. "Aku tidak.mau bau tubuhmu masih menempel," jawabnya dingin. "Jika kau masih peduli padaku, pergilah sekarang!"

"Mady!'

Madeline menatap Darren dengan tatapan yang tajam dan penuh kemarahan. "Apa lagi yang kau tunggu, Darren?" tanyanya dengan suara yang keras dan jelas.

Kemarahan Madeline membuat Darren seolah terjebak dalam mimpi buruk. 

"Kau mau melihatku lompat dari apartemen ini dulu baru mau pergi?" lanjut Madeline dengan suara yang penuh emosi.

Darren menggeram. Dia merasa hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum sekaligus.

"Aku akan pergi sekarang." Darren berdiri menatap Madeline dengan tatapan yang penuh kepedihan. "Tapi, sebelum aku pergi kamu harus berjanji padaku satu hal."

Madeline menatap Darren dengan tatapan bingung tanpa mau mananyakan apa-apa.

Darren mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Jangan lakukan apa-apa yang akan menyakiti dirimu sendiri."

"Ya, aku mengerti," kata Madeline, berusaha menahan air matanya. Dia mendorong Darren ke arah pintu. "Sekarang pergi!”

Darren menatap Madeline sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar dari apartemen tersebut dan menutup pintu di belakangnya. 

Setelah Darren pergi, Madeline baru bisa menunjukkan bagaimana perasaan yang sebenarnya. Ini menyakitkan karena dia malah meminta Darren untuk menjauh setelah pria itu tahu kalau Madeline mencintainya.

Madeline menyukai Darren, tetapi Sean juga orang yang baik. Tidak mungkin Madeline mengkhianatinya. Apalagi, pria itu telah memberinya sebuah cincin berlian dan mereka telah merencanakan pernikahan.

Melupakan urusannya yang tadi, Madeline berjalan menuju kamar mandi dan memandangi dirinya sendiri di cermin. Dia bisa melihat bekas-bekas sentuhan Darren di tubuhnya. Bekas ciuman di lehernya, bekas genggaman tangan mereka yang masih terasa hangat di kulitnya.

Dengan hati-hati, Madeline mulai membersihkan dirinya dari bekas-bekas sentuhan Darren. Dia akan menghapus semua kenangan tentang malam itu dari pikirannya.

Namun, tidak peduli seberapa keras dia mencoba untuk melupakan apa yang telah terjadi antara mereka, dia tahu bahwa kenangan tentang malam itu akan selalu ada dalam ingatannya - sebagai pengingat tentang kesalahan yang telah dia buat.

Madeline mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. Air hangat dari pancuran membantu membersihkan tubuhnya dari bekas-bekas sentuhan Darren dan juga meredakan pikirannya yang kacau.

Selesai mandi, Madeline membalut tubuhnya dengan handuk dan berjalan ke lemari pakaiannya. Sean bilang mereka akan berkuda, sepertinya dia harus memilih pakaian yang lebih sesuai. 

Celana panjang riding warna hitam yang dibelinya sekitar dua bulan lalu, dia rasa ini cocok karena bahannya  elastis dan nyaman, dilengkapi dengan padding di bagian dalam. Untuk atasan dia mungkin bisa menggunakan salah satu blus favoritnya. Berlengan panjang berwarna putih dengan kerah tinggi untuk melindungi kulitnya dari sinar matahari.

Setelah siap, Madeline melihat dirinya di cermin satu kali lagi sebelum meninggalkan apartemen tersebut.  Kelihatannya cukup sempurna.

Madeline berjalan keluar dari apartemen dan menuju ke lobi, dia tidak mau Sean masuk ke sini dan menyaksikan kekacauan yang sudah terjadi. 

Dia duduk di salah satu kursi yang tersedia di lobi, dan Madeline ingat kalau dia belum makan apa-apa. Perutnya lapar. Dia harap Sean bisa mengajaknya makan pagi dulu sebelum berkuda.

Sean datang 10 menit kemudian. Dia keluar dari mobilnya dan melihat Madeline. Senyumnya terukir.

"Waw!” Dia berdecak kagum.

Madeline mengerucutkan hidung dan bibir. “Aku cuma punya ini. Semoga saja tidak kelihatan aneh.”

Sean mengusap kepala Madeline. “Kau cantik. Bahkan, hanya menggunakan karung goni saja akan membuatmu kelihatan cantik.”  Pria itu  membuka tangan, menarik Madeline dalam pelukannya. 

Terasa hangat, tetap Madeline jadi benar-benar bersedih karena dia sudah mengkhianatinya.

Sean melepas pelukannya, kemudian memegang pipi Madeline. “Kau cantik, kenapa lesu?”

“Aku lapar.” Madeline menyeringai. “Belikan aku makanan dulu, ya?”

“Ayo kita cari makan dulu.” Sean membukakan pintu mobil untuk Madeline, menunjukkan sikapnya yang gentle.

Setelah Madeline masuk, Sean mengambil tempat di sisi pengemudi dan mereka pun memulai perjalanan mereka. Tujuan pertama membeli makanan dulu melalui drive thru, baru lanjut menuju GreenHaven Equestrian Retreat–tempat berkuda.

Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit, mereka tiba di arena berkuda tersebut dan barusan Sean bilang kalau ini adalah warisan dari kakek buyutnya.

Tempat itu tampak indah dengan hamparan padang rumput hijau luas yang dipisahkan oleh jalan setapak berbatu. Di satu sisi ada deretan kandang kuda dengan berbagai jenis dan ukuran kuda, sedangkan di sisi lain ada arena latihan besar di mana beberapa penunggang sudah tampak sedang melakukan latihan atau pertunjukan.

Di tengah-tengah padang rumput, terdapat sebuah rumah klub kayu tua dua lantai dengan veranda lebar yang menghadap langsung ke arena latihan. Dari jauh, aroma segar jerami dan suara gemerincing lonceng dari pelana bisa terdengar.

Sean memarkir mobilnya di area parkir dan membantu Madeline keluar dari mobil. Mereka berjalan bersama menuju ke rumah klub untuk mendaftar dan memilih kuda untuk hari itu.

Di rumah klub, Madeline ditanya oleh petugas tentang kuda mana yang dia inginkan. Karena dia masih pemula, dia memilih untuk menunggang kuda yang paling jinak.

Sean, yang lebih berpengalaman dalam berkuda, langsung membantu Madeline. "Kamu harus mencoba Bella," katanya sambil menunjuk ke sebuah kandang di ujung barisan.

Bella adalah seekor mare Welsh Cob, ras kuda yang dikenal karena sifatnya yang tenang dan dapat diandalkan. Kuda ini memiliki bulu coklat gelap dengan ekor dan poni putih tebal. Mata coklat besar membuat Bella tampak ramah dan tenang. Sean yakin ini ocok untuk Madeline.

“Ini aman buatku?” Madeline coba mengusap Bella dan kepala kuda itu bergerak. Hampir saja membuat gadis itu terpental.

Sean mengekeh. “Bella yang paling aman untukmu. Dia cantik, ramah, dan  mudah dikendalikan."

Madeline meragukan itu. Barusan dia hampir dibuat jatuh dengan kuda ini.

“Jangan takut dengannya. Kuda bisa merasakan itu.”  Sean kemudian menarik Madeline untuk lebih dekat, mengajarkan kekasihnya itu untuk merentangkan tangan dan membiarkan Bella menciumnya.

Bella lebih jinak sekarang.

“Lihat?” tanya Sean dan Madeline sedang tersenyum. “Dia menyukaimu.”

Ya … Madeline mulai merasa nyaman dengan Bella. Kuda itu tampak tenang dan ramah, menenangkan rasa gugup Madeline tentang berkuda. Dia tersenyum pada Sean. 

“Thanks, sudah memilihkan kuda.”

Sean menaikkan jari. “Lorraine akan membantumu menyiapkan atribut berkuda.”

Madeline mengangguk. 

Ketika dia sedang mempersiapkan diri untuk mulai menunggang, Sean menelepon Darren. Jaraknya cukup jauh, gadis itu tidak bisa mendengar percakapan mereka.

Setelah selesai berbicara di telepon, Sean menoleh ke Madeline dan mengatakan, "Darren akan segera datang bersama Cressida."

Madeline merasa jantungnya berhenti sejenak. Dia tidak siap untuk bertemu Darren lagi. Apalagi setelah peristiwa semalam.

“Darren ke sini?” Madeline merasa bingung dan cemas. Ah, betapa bodohnya. Bukankah memang sudah dibilang sejak awal kalau ini acara berkuda keluarga?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status