Share

Kenangan Pahit yang Tersimpan dalam Dendam

Sejenak Intan menatap lurus ke wajah Ranti yang hampir kehilangan jantungnya andai saja tak dilindungi oleh tulang rusuknya.

"Apa sebaiknya aku ceritakan lagi pada Pak polisi, ya?" ucap Intan masih menatap wajah Ranti yang kebingungan.

"Memangnya, apa yang kamu lihat? Apa yang mau kamu laporkan sama dia?" tanya Ranti penasaran namun terlihat gugup.

"Begini! Tadi sesaat setelah pergi dari villa itu dan dikejar oleh mobil Gunawan, aku melihat sekilas ada sepeda motor yang berpapasan dengan mobil kami," jelas Intan.

Ranti terlihat semakin gugup namun penasaran menanti kelanjutan ucapan sahabatnya itu.

"Motor apa, kamu yakin dia pelakunya?" tanyanya antusias, tapi terlihat pias di wajahnya seperti menyimpan beban sesuatu.

"Motor Ninja, warna hijau!" jawab Intan cepat.

"Kamu lihat nggak wajah pengendaranya?" selidik Ranti, persis seperti gaya Inspektur Andika saat menginterogasi Intan dan Gunawan saat di kantor polisi.

"Ish! Kamu udah kaya Pak Andika aja, pakai sabar dong!" jawab Intan sambil menyenggol bahu sahabatnya itu.

"Penasaran!" jawab Ranti menyeringai lucu.

"Aku nggak sempat lihat, dia rapet sekali, pakai baju serba hitam. Bahkan sampai helm dan maskernya juga hitam," pandangan Intan menerawang, berusaha mengingat kembali kejadian pagi tadi.

"Tan, sebaiknya kamu nggak usah lapor dulu sama Pak Andika kakau memang belum yakin!" ujar Ranti lirih.

"Kenapa?" Intan memandang Tanti tak mengerti.

"Nanti malah kamu yang jena masalah. Masalah kamu sama Gunawan, suami kamu aja belum kamu beresin," Ranti mencoba memberikan alasan, membuat kening Intan berkerut dan mengangguk setuju.

"Aku rasa kamu bener juga, yang penting aku nggak perlu kebawa kasus mengerikan ini lagi, ya kan?" Ranti mengangguk mengiyakan.

"Bagaimana sama Gunawan, Tan? Apa yang dia katakan tentang Aida?" Lirih Ranti bertanya.

"Aku sudah ambil Keputusan buat dia, Ran," Intan menghela napas berat,"Kami akan bercerai!" Intan berusaha menelan salivanya dengan berat.

Ranti sedikit terkejut, tapi dia tak berminat membela Gunawan.

"Ya udah, Tan. Aku pulang dulu, ya! Kalau kamu butuh teman bicara, aku akan selalu siap mendengar," pamit Ranti seraya bangkit dari duduknya.

Wanita cantik itu menarik napas lega saat telah berada di halaman rumah Intan dan mulai memacu motor matiknya di jalanan ramai.

***

"Kamu dari mana saja, Ran?" tanya ibunya saat Ranti mengetuk pintu rumahnya.

Wajar jika ibunya bertanya demikian, sebab hari ini adalah hari liburnya bekerja. Namun dia keluar rumah sejak pagi dan kembali saat hari mulai gelap.

"Maaf, Bu. Ranti dari rumah Intan setelah mengantar pesanan," jawab Ranti pelan, merasa bersalah.

"Kasihan Aira, dia masih terlalu kecil untuk kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya," nasehat ibunya lagi.

"Apa Aira rewel, Bu?" Ranti terkesiap mendengar ucapan ibunya yang selalu mengasuh Putri kecilnya saat dia tak berada di rumah.

"Entahlah, tapi hari ini dia susah banget diajak makan. Selalu menanyakan ayahnya. Apa mungkin ayahnya sedang kangen sama dia, ya?" ucap wanita paruh baya itu setengah bertanya.

"Hhh_!" Ranti menarik napas berat.

Ada sakit, rindu, dendam, dan kesedihan yang menyesak hingga membuatnya hampir tak bisa bernapas.

Segera dia masuk ke kamarnya dan melihat permata hatinya telah terlelap di tempat tidur.

Dengan perasaan yang campur aduk dia duduk di sisi pembaringan dan mengusap kepala mungil Aira.

Di sudut mata gadis kecil itu masih nampak sisa air mata yang membekas.

Bening di mata Ranti tak lagi dapat dibendungnya, menetes begitu saja membuat bahunya terguncang perlahan.

"Maafin Mama, Sayang! Maafin Mama_!"

Ranti tak mampu menyelesaikan ucapannya. Perlahan, dia berbaring di sisi putri kecil yang manis itu sambil memeluknya.

Namun tak berlangsung lama. Seperti tak ingin membiarkan dirinya larut dalam kesedihan, wanita muda itu segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke lemari pakaiannya.

Membuka kembali brankas kecil di sana dan mengambil lembaran foto yang ada.

"Foto kedua sudah tercentang," gumamnya seraya membubuhkan centang dengan spidol merah yang ada di tangannya.

Sejenak kemudian, dia menatap tajam pada lembar foto yang bertuliskan angka 3.

Ada sebentuk senyum sinis di bibir merahnya.

"Vania, akankah nasibmu akan berakhir sama dengan Siska dan Aida?" monolognya pada diri sendiri.

Ada bening yang kembali mengembun di sudut matanya.

***

(Flashback tiga tahun lalu)

"Mas Yuda mau kemana malam-malam begini?" Ranti yang nampak kerepotan menimang Aira yang terus menangis terkejut saat melihat suaminya malah bersiap untuk pergi. Padahal, saat itu sudah hampir jam sembilan malam dan putri mereka yang baru berusia delapan bulan sedang demam sehingga membuatnya rewel seharian.

"Bukan urusan kamu, urus saja anakmu yang nggak bisa diam itu?" sinis jawaban Yuda merapikan kaos oblong dan celana jeans yang dikenakannya. Tak lupa dia menyemprotkan parfum yang langsung menguar dan menerpa hidung istrinya.

"Mas! Kamu tega ninggalin anakmu yang sedang demam?" pertanyaan yang terdengar sangat miris.

"Aku capek kerja seharian buat kalian, di rumah pengin istirahat tenang. Tapi apa yang kudengar sejak tadi? Tangisan bayi yang nggak pernah berhenti!" bentak lelaki tampan yang mulai mengenakan sepatunya.

"Anak kita sakit, Mas! Wajar kalau dia agak rewel. Apalagi Mas dari tadi uring-uringan terus. Hatinya ikut nggak tenang, Mas," jawab Ranti terdengar memelas.

"Makanya, lebih baik aku pergi supaya dia bisa lebih tenang dan aku juga bisa beristirahat," ucap Yuda seraya menyambar jaket dan bersiap untuk keluar.

"Terus Aira gimana, Mas? Lebih baik kita bawa ke dokter sekarang, ya!" ajak Ranti memohon pengertian dari suaminya.

Tapi nampaknya, Yuda sudah tidak peduli, dia terus melangkah keluar dan membanting pintu hingga Baby Aira terkejut dan menangis keras.

"Mas_!" teriak Ranti panik,"Jangan pergi_!" Dia mengejar sampai ke pintu, namun telah terdengar deru motor suaminya yang menjauhi rumah mereka.

Ranti hanya bisa menangis sambil memeluk erat putri kecilnya yang masih menangis.

Segera dia menelepon Narendra dan memintanya untuk mengantarkan ke rumah sakit.

Beruntung, adiknya yang baru saja diterima sebagai Driver ojek online berada di dekat perumahan Aman, tempat tinggalnya.

Pemuda berambut gondrong dengan kulit kecoklatan itu langsung menarik gas motornya menuju rumah kakak satu-satunya, Ranti.

"Untung kamu cepat datang, Rend. Kalau nggak, Kakak bingung banget harus bagaimana. Aira demam tinggi," Dengan panik, Ranti menyongsong kedatangan Narendra sambil memeluk Baby Aira yang sudah tenang dalam pelukannya.

"Kebetulan, aku baru aja nganter perempuan cantik ke Restoran padang yang ada di dekat sini, Kak," jawab Narendra. Ranti segera naik ke atas boncengan.

"Memang Mas Yuda lembur, Kak?" tanya Narendra penasaran. Ibu muda itu hanya bisa mengangguk, tak tahu harus menjawab apa.

Dengan cepat namun hati-hati, Narendra memacu kendaraan roda duanya membelah jalan menuju ke Klinik 24 jam.

Setelah diperiksa dan diberi obat dari duburnya, karena panas yang hampir mencapai 40°C membuat Baby Aira sulit menelan obat, Aira nampak tertidur tenang.

Saat perjalanan Pulang dari Klinik itulah, Ranti dan Narendra melihat Yuda sedang duduk mesta di Restoran padang, tempat di mana Narendra mengantarkan penumpang.

Alangkah terkejutnya, ternyata gadis cantik yang tadi diantarnya adalah selingkuhan Kakak Iparnya.

Narendra hendak menghentikan motornya dan melabrak kedua insan yang nampak bahagia itu, namun dihalangi oleh Ranti.

"Jangan sekarang, Rend! Aira lebih membutuhkan perhatian daripada dia," suaranya terdengar parau karena menahan air mata yang siap meluncur dari matanya.

Sakit sekali perasaan Ranti saat itu. Dia bersumpah akan mencari tahu siapa wanita yang telah berhasil membuat Yuda-nya yang lembut menjadi kasar pada anak dan istrinya.

Ciiitttt!

Narendra tetap menghentikan kuda besinya di depan Restoran padang teraebut.

"Aku yang akan menghajarnya sekarang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status