Share

BAB 8

HAPPY READING

***

“Rumah kamu di mana?” Tanya Kafka, membuka topik pembicaraan.

“Di Pondok Indah.”

“Tinggal sendiri?”

Naomi mengangguk, “Iya. Kalau kamu?” Tanya Naomi.

“Tinggal sendiri juga, saya tinggal di Kelapa Gading.”

“I see, lumayan jauh juga ya kalau dari sini,” ucap Naomi.

“Lumayan kalau macet-macetan,  tapi jam segini udah nggak macet lagi,” ucap Kafka.

Kafka memegang kemudi setir, ia menatap Naomi, “Katanya kamu punya anak?”

“Pasti Enzo yang cerita.”

Kafka tertawa, “Iya, Reni dan Enzo yang cerita sama saya. Namanya siapa?” Tanya Kafka penasaran.

“Namanya Kayla, Tahun ini Kayla akan saya masukan primary school.”

“Sekarang berarti masih TK?”

“Iya, benar.”

“TK mana?”

“TK Cikal.”

“Pasti Kayla cantik seperti kamu,” ucap Kafka.

Naomi tersenyum, “Banyak yang bilang begitu.”

Kafka melirik Naomi, wanita itu hanya diam dan tersenyum kepadanya, “Katanya kamu punya butik tas?”

“Kok kamu tau?”

“Tau dari Reni dan Enzo. Butik kamu sangat sukses, saya sering melihatnya di iklan di branda social media. Kamu sangat sukses menjalaninya.”

Thank you. Kamu sendiri, udah lama jadi dokter spesialis?” Tidak etis rasanya ia tidak bertanya tentang Kafka.

Kafka tersenyum, “Lumayan. Udah sekitar lima tahunan.”

“Rumah sakit mana?”

“Mayapadi Hospital Kuningan.”

“I see. Berarti sama dengan Enzo.”

“Iya sama. Saya sebenernya nggak terlalu fokus di pasien. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Ada kalanya sewaktu-waktu saya turun tangan.”

Alis Naomi terangkat, ia menatap Kafka, “Jadi kamu di kantor?”

“Saya pemilik dari rumah sakit itu, dan Enzo salah satu staff saya.”

Naomi hampir shock mendengar bahwa Kafka lah pemilik dari rumah sakit itu, berarti dia owner, CEO, “Wow, berarti kamu pemiliknya?”

“Sebenernya punya keluarga, cuma sekarang saya dipercaya mengelolanya, bagi-bagi dengan saudara saya. Kebetulan saya menggeluti di dunia medis, so saya melakukan apa yang sudah menjadi tugas saya.”

“Bagaimana perasaan kamu dipercaya mengelolanya?” Tanya Naomu lagi.

Kafka tersenyum, ia melirik Naomi, “Biasa aja sih, cume lebih tanggung jawab aja. Kebetulan saya memang sejak awal tertarik dengan dunia ini, jadi saya enjoy menjalaninya,” ucap Kafka, ia menyetir mobil mengearahkan mobilnya ke Pondok Indah.

“Mungkin karena ini passion kamu,” timpal Naomi.

“Enggak juga. Pada dasarnya saya tidak mencari passion. Karena saya tahu manusia dengan mudah bisa passionet diberbagai bidang. Beberapa orang akan passionet di konteks bisnis, sains, berbicara tentang algo. If that's the case! you'll not long in the industry!”

“Why?” Tanya Naomi.

“Passion itu penting, tapi lebih penting demand and supply! Jika kamu bisa nge blend passion into demand and Supply! 99% kamu bisa menjadi salah satu Rock Star!”

“Orang yang terlalu memikirkan passion, maka akan melupakan hal yang paling dasar dan mengambil keputusan yang tidak logis.”

“So? Menurut kamu bagaimana?” Tanya Naomi lagi, ia mengerti arah pembicaraan Kafka.

“Menurut saya, lakukan saja apa yang kamu bisa, nggakk harus suka banget kayak passion, tapi jangan lakukan apa yang kamu benci juga. Suka nggak, benci juga nggak, pasti bisa lebih objekif dan stabil. Untuk long term-nya akan lebih konsisten.”

“Intinya, ada segala sesuatu yang harus dibayar, ada value, ada profit. Real-real aja, efesien dan efektif.”

“Wow, saya suka pemikiran kamu.”

Thank you, Naomi.”

Beberapa menit kemudian akhirnya mereka tiba di Pondok Indah. Naomi memberi petunjuk di mana arah rumahnya. Akhirnya ia tiba di depan rumah berpagar tinggi itu. Naomi melepas sabuk pengamannya, ia menatap Kafka menghidupkan lampu dasbor. Sehingga ia dapat melihat secara jelas wajah mereka.

“Makasih ya, Kaf sudah di antar pulang.”

“Iya, sama-sama, Naomi.”

Kafka menatap Naomi, mereka saling berpandangan beberapa detik, “Naomi.”

“Iya.”

“Apa boleh saya menghubungi kamu?”

“Kamu ada nomor ponsel saya?”

Kafka mengangguk, “Iya ada, saya minta dari Enzo dan Reni.”

“Iya, boleh.”

Naomi lalu membuka hendel pintu dan ia lalu keluar. Ia melihat Kafka membuka power window, ia memandang wajah cantik Naomi.

“Kamu hati-hati di jalan,” ucap Naomi.

Kafka tersenyum, “Selamat istirahat Naomi.”

“Kamu juga, Kaf.”

Naomi melangkahkan kakinya menuju pintu pagar, ia memandang Kafka masih di posisi yang sama. Ia tahu bahwa Kafka menunggunya hingga masuk ke dalam. Kafka menatap tubuh Naomi menghilang dari balik pintu setelah itu mobil Kafka meninggalkan area rumah berpagar tinggi  itu.

***

“Pak ini box biscuitnya taruh di bagasi?” Tanya pak Anwar selaku salah satu staff nya.

“Iya, pak taruh di bagasi saya.”

“Untuk di bawa ke mana pak? Tumben bapak bawa ginian,” ucap pak Anwar lagi, soalnya sepanjang hidupnya ia bekerja dengan pak Tigran, baru kali ini di suruh membuat bingkisan biscuit anakk-anak sebanyak ini.

“Untuk saya bagikan ke sekolah anak saya pak.”

“Anak bapak? Bapak becanda?”

Tigran hanya tertawa,  ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.10 menit. Ia sudah berjanji kepada Kayla bahwa ia akan datang ke sekolahnya membawakan biscuit untuk gadis kecil itu dan membagikan kepada teman-temannya. Ia merasa ada eforia baru dalam hidupnya, entahlah ia merasa bersemangat melakukannya.

Ia ingin melihat wajah girang Kayla ketika ia menjemputnya. Tiba-tiba ia terbesit rindu kepada wanita bernama Naomi. Wajah cantik itu masih melekat dalam ingatannya. Ia menyungging senyum mengingat mereka berjalan bertiga kemarin. Mereka terlihat seperti keluarga yang sangat harmonis. Apa reaksi ibunya jika ia membawa Kayla ke rumah orang tuanya? Pasti bertanya-tanya, anak siapa? Siapa ibunya? Kenapa bisa bersamanya? Pertanyaan itu pasti keluar begitu saja.

Tigran menatap pak Anwar sudah menutup bagasi, ia lalu masuk ke dalam mobil. Ia menghidupkan mesin mobil, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Setelah itu ia meninggalkan area rumah, menuju TK Cikal. Sejujurnya ia tidak sabar untuk bertemu dengan Kayla dan Naomi lagi. Ia pastikan bahwa ibu dan anak itu bersamanya lagi hari ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status