“Mencium?!” pekik Nadina kencang hingga langkahnya terhenti seketika. Pekiknya yang sudah jelas tidak lirih itu tentu mengundang perhatian manusia lain di koridor itu. Nadhif terlebih Aminah kini menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Nadina. “Astaga! Kenapa harus teriak?!” umpat Nadina dalam hatinya. “Nadina?” panggil sang umi langsung membuat Nadina menoleh dengan patahan. “Ehm, Umi! Maaf, anu itu, ehm–” ujar Nadina terpotong-potong. “Maaf Umi, Nadina hanya sedikit terkejut dan risau karena mesti melakukan itu di depan para keluarga dan tamu undangan nantinya,” jelas Nadhif cepat sementara Nadina malah tampak terkejut atas jawaban sang suami yang terang-terangan itu. “Mas!” bisik Nadina sambil menarik lengan jas Nadhif ke dekatnya. Aminah berjalan ke arah Nadina sambil sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu kini meraih tangan Nadina dan menghadapkan sang menantu ke arahnya. Dielusnya pucuk kepala Nadina lalu ia berucap lirih. “Umi dulu juga s
Acara akhirnya usai tepat dua jam sebelum adzan dhuhur berkumandang di masjid besar pondok tersebut. Nadina dan Nadhif yang baru saja mengantarkan kedua orang tua Nadina pamit pulang akhirnya kembali bertemu dengan Sadewa untuk membicarakan beberapa hasil foto jika dirasa kurang puas dan ingin melakukan pemotretan ulang. “Itu saja tidak apa-apa, Mas! Aku yakin hasil jepretan Mas Sadewa yang terbaik!” pekik Nadina dengan cepat seolah terang-terangan ingin memberi tahu jika tak akan ada pemotretan ulang antara dirinya dengan Nadhif. “Tidak apa kita lihat dulu, Nadina. Silakan Sadewa,” tutur Nadhif lalu mempersilakan pemuda itu duduk di ruang tamu dalem. Beberapa lirikan sering ditujukan Sadewa pada Nadina usai mendapati hawa tak menyenangkan datang dari adik tingkatnya itu. “Sudah aku bilang hasilnya bagus. Mas yang tidak percaya bukan?” sindir Nadina saat Nadhif sedang memeriksa beberapa berkas foto mereka. “Ya, Nadina benar. Semuanya tampak baik. Terima kasih telah bekerja keras
Nadina melepas satu persatu hiasan hijabnya juga memoles riasan yang melapisi wajahnya, dilihatnya wajahnya sendiri di dalam kaca itu. Beberapa detik ia terdiam lalu menghela napas kasar. “Baru sehari aku di sini, tapi semuanya tampak menyebalkan. Aku harus terus berusaha berpura-pura bahagia atas pernikahan ini. Kenapa abi, umi, maupun Mas Nadhif tidak memberi tahu saja kepada warga pondok jika pernikahan ini hanyalah bentuk bakti kepada orang tua kami? Aku lelah harus selalu tersenyum dan bersikap manis atas hal yang tidak aku sukai dan malah sangat aku benci!” gumam Nadina lalu menjatuhkan kepalanya ke meja rias. Dilepasnya hijab yang menutup rapat rambut hitam indah miliknya lalu diletakkannya di sisi sofa. Ia tersenyum sedikit sebelum akhirnya mengelus rambutnya sedikit dan pergi ke toilet. Tak lama setelahnya, terdengar suara kecil dari pintu utama kamar yang terbuka. Nadhif masuk dengan membawa beberapa paperbag yang tentu saja ia dapat dari kawan-kawan semasa kuliahnya tadi
“Ehkm, maksud saya bukan seperti itu juga, Nadina. Maksud saya itu, saya lupa mengunci pintu. Tidak mungkin saya membiarkannya terbuka hanya untuk mengundang orang melihat saya mengganti pakaian,” papar Nadhif dengan tempo yang cukup cepat untuk membuat Nadina paham jika ia tak berniat mengasingkan istrinya itu. “Terserah deh, Mas. Apapun itu. Aku capek, mau tidur sebentar boleh ‘kan?” tanya Nadina. “Ehm, baiklah. Jika kamu sudah bangun nanti, itu ada hadiah dari beberapa kawan kampus saya dulu. Kamu bisa membukanya nanti,” tutur Nadhif sebelum akhirnya keluar dari ruang kamarnya meninggalkan Nadina yang kembali berbaring di ranjangnya. Pemuda itu kini berjalan dengan cukup tertatih malu jika kembali mengingat kejadian beberapa detik yang amat mengejutkannya itu. Hingga ia sampai pada ruang keluarga dalem dan menyaksikan beberapa pengurus pondok mengatur ruangan tersebut dengan beberapa sofa yang tertata rapi. Melihat sang umi tengah merapikan gorden, Nadhif memutuskan untuk meng
Nadhif dengan seluruh tenaganya mendorong sofa itu ke arah pintu kamarnya. Ia sengaja memutuskan untuk mendorong sofa itu keluar kamar sendirian karena tak tega membangunkan Nadina untuk bisa mengundang dua santri lain masuk. “Gus, kami bantu saja, ya! Sofanya pasti berat!” pekik salah satu santri yang berdiri di depan pintu menghadap koridor di depan kamar itu. “Tidak perlu! Kalian tetaplah di luar dan jangan menoleh ke dalam!” pekik Nadhif dari dalam kamar yang langsung dipahami oleh kedua santri itu. Tak lama setelahnya, sofa itu berhasil di dorong keluar kamar. Nadhif segera kembali menutup pintunya dan mempersilakan santri itu untuk membawanya ke ruang keluarga dalem. “Maaf Gus, apa tidak berat memindah sofa ini sendiri?” celetuk santri lain sambil meringis. Nadhif sedikit menyunggingkan senyumnya lalu melirik ke arah pintu kamar yang baru saja ia tutup itu. “Istri saya sedang istirahat di dalam. Tidak mungkin saya membangunkannya terlebih mengizinkan kalian masuk ke dalam,
“Apa?!” sergah Nadina langsung menajamkan matanya ke arah Nadhif yang saat itu juga langsung menoleh ke arahnya. “Aku harus tidur bersama Mas Nadhif?! Tidak! Aku tidak mau! Mas! Mas sudah janji tidak akan menyentuh Nadina tanpa izin dari Nadina. Lalu sekarang Mas Nadhif hendak melanggar janji itu?” pekik Nadina. Nadhif menurunkan tatapannya menjadi lebih lembut daripada sebelumnya. Pria itu berbalik lalu duduk di ranjang empuk yang belum pernah ia rasakan semenjak ia pindah ke kamar itu. “Saya tahu apa maksudmu meminta janji itu kepada saya, Nadina. Saya berjanji tidak akan menyentuhmu tanpa persetujuanmu. Kita hanya akan tidur di sini. Nadina, saya pernah meminta syarat agar tidak boleh ada yang tahu pertengkaran kita bukan? Dan sekarang umi mulai curiga jika kita belum melakukan apapun. Bukankah ini melanggar janjimu kepada saya?” papar Nadhif memandang Nadina yang terus tampak gusar. “T– tapi, tapi tidak perlu seperti ini juga ‘kan, Mas? Bagaimana jika suatu saat itu terjadi?”
“Tidak, Abi! Tidak. Mas Nadhif sangat baik. Abi tidak perlu khawatir tentang itu. Abi tahu sendiri jika Mas Nadhif adalah pria yang baik,” sahut Nadina sedikit terbata. “Di dunia ini banyak pria baik Nadina. Banyak juga wanita baik. Namun tak banyak yang menjadi suami dan istri yang baik. Itu adalah sesuatu yang sulit. Membangun rumah dari dua raga dan jiwa yang berbeda memanglah sulit. Itulah tantangannya. Bagaimana kedua orang baik ini mengalahkan ego mereka untuk membuat rumah baru yang nyaman untuk keduanya tinggali.” Ali menoleh sebentar ke arah Nadina. “Abi, ada hal yang ingin Nadina tanyakan. Apa boleh?” lirih Nadina langsung menghentikan langkah kaki Ali. Pria paruh baya itu menghadapkan tubuhnya ke arah Nadina lurus. “Tentu saja boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?” “Mengapa Abi dan bapak menjodohkan kami berdua? Nadina belum pernah sekalipun bertemu dengan Mas Nadhif. Apakah ini keinginan Mas Nadhif?” tanya Nadina. Jantungnya berdegup amat kencang, jari jemarinya te
“Sarah! Tolong kamu angkat yang dari oven, Nak!” pekik Aminah memotong pertanyaan Nadina yang telah amat penasaran itu. “Nggih, Umi!” pekik Sarah. “Maaf ya, Mbak! Saya permisi dulu. Tapi gini, Mbak! Gus Nadhif baik kok! Pasti Gus sangat mencintai Mbak Nadina. Jadi tidak mungkin terjadi sesuatu yang lainnya! Maksud saya jangan memikirkan tentang wanita itu, Mbak!” tutur Sarah. Nadina hanya sedikit mengangguk lalu turut bangkit dari posisi duduk silanya menuju sang umi. “Umi, maaf sekali. Kalau Nadina izin kembali ke kamar terlebih dahulu apakah boleh? Nadina melupakan sesuatu di sana. Ada yang ingin Nadina bicarakan juga dengan Mas Nadhif,” tutur Nadina mengutarakan izinnya dengan amat berhati-hati. “Tentu, Nak! Silakan! Kita juga akan selesai setelah ini. Tak masalah, kembalilah ke kamarmu.” Dengan cepat Nadina berlari kembali ke arah kamarnya. Entah pikiran apa yang ada di kepalanya itu. Entah amarah karena Nadhif memiliki sosok wanita lain yang tak ia ketahui atau apa. Yang pa