Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
“Menikahlah dengannya Nadina, bapak dan ibu sudah mengetahui bagaimana pemuda itu juga dengan keluarganya. Ia pemuda yang baik yang bisa menuntunmu menjadi lebih baik lagi,” tutur pria berusia 60 tahunan yang telah tampak lemah di atas brankar rumah sakit.“Nadina tidak mau menikahinya! Nadina tidak mengenal siapa pemuda itu! Bahkan lingkungannya sangat monoton! Nadina pasti akan menjadi seorang wanita dapur di sana! Selalu mengenakan hijab seharian! Nadina tidak akan menyetujui pernikahan ini!” tolak seorang gadis berusia 23 tahun yang tak lama ini menyandang gelar sarjana bahasa asing—Nadina Hafisa Rahmi.Seorang wanita tua yang tak jauh berbeda usianya dengan si bapak tampak merangkul Nadina sambil lirih mengucapkan istigfar.“Hijab itu kewajiban, Nadina! Kamu tidak boleh menolak seperti ini. Lagi pula kamu sudah belajar mengenakan hijab selama kuliah satu tahun terakhir ini bukan? Kamu sudah mulai terbiasa. Nadhif juga pemuda yang baik. Ibu dan bapak yakin dia bisa membimbingmu, N
Dokter keluar dari ruang rawat inap Harun bersama seorang suster dan langsung disambut oleh kedua belah keluarga.“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Khoiri sambil mencuri pandang ke ruangan dalam tempat sang suami berada.“Keadaan Pak Harun kini semakin melemah. Beliau kembali tak sadarkan diri. Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau,” papar sang dokter kembali membuat Khoiri menjatuhkan air matanya.Ibu Nadhif segera merangkul Khoiri dan menenangkannya. Sementara Nadina yang mendengar berita buruk itu sontak langsung kembali ke tempat duduk di depan ruang inap sang ayah. Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menutup muka dengan kedua tangannya.“Temui istrimu, tenangkan dirinya. Ini tugasmu sekarang, Le!” pekik Ali sambil sedikit mengarahkan Nadhif agar mendekati Nadina.Nadhif dengan sedikit canggung berjalan ke dekat wanita yang beberapa menit lalu baru ia sebut namanya dalam akad. Perasaannya sedikit campur aduk takut jika mendapatkan penolakan seperti sebelumnya.“Ehm!
Keesokan paginya, Nadina terbangun dari tidurnya dengan menyingkap selimut yang menutup tubuhnya itu.“Semalam aku tidur di sebelah bapak, kenapa sekarang aku bangun di sofa?” gumam Nadina lalu mengubah pandangannya ke arah depan.Tampak Nadhif duduk di sebelah sang ayah sambil melipat tangan di depan dada dengan kepala yang tertunduk karena kantuk.“Kamu sudah bangun, Nadina? Sebentar lagi subuh, segera ambil air wudu, kamu mesti berjamaah dengan suamimu bukan?” tutur Khoiri yang tiba-tiba muncul di sana sambil menyodorkan tas mukena pada Nadina.“Semalam Nadina tidur di posisi Nadhif, kenapa sekarang Nadina terbangun di sofa?” sergah Nadina tampak sedikit kesal.“Itu artinya ada yang peduli dan menyayangimu. Dia tak ingin kamu sakit punggung setelah tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Sudahlah, segera bersih diri!” Khoiri segera menarik Nadina agar putrinya itu segera bersiap untuk menunaikan salah satu kewajibannya sebagai umat muslim.Sambil masih sedikit kebingungan, Nadina
Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Ma
“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif
Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah. “Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu. Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu. Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet. “Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendeka