Share

4. Kedatangan sang Menantu

Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.

“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.

“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.

Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.

“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.

“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Mari keluar, mereka pasti telah menunggu.” Nadhif tampak hendak meraih gagang pintu mobil dan membukanya.

Namun Nadina dengan cepat mencekal lengan Nadhif dengan kain koko yang membatasi kedua kulit mereka.

“Mas Nadhif, sudah ‘kan? Sekarang bisa ‘kan Mas menjawab pertanyaanku?” ujar Nadina.

Nadhif sedikit menyunggingkan senyuman ke arah istrinya itu. Panggilan itu memang sedikit romantis namun terdengar menyakitkan karena diucap secara terpaksa dan penuh tekanan.

“Saya tidak memberi tahu semua orang, Nadina. Dan mereka juga bukan antek saya. Mereka santri dan santriwati yang sedang menimba ilmu di sini,” jawab Nadhif sedikit melirik ke arah luar jendela tertutup itu.

“Saya hanya memberi tahu umi bahwa saya dan kamu akan berangkat selepas ashar. Mungkin kabar itu menyebar dengan cepat.” Nadhif menambahkan.

“Hsshh!” desah Nadina lalu dengan cepat melepaskan sabuk pengamannya dan hendak segera keluar dari mobil tersebut.

Seluruh anak-anak yang masih berusia 3 tahun hingga taman kanak-kanak segera menyalami Nadhif dengan kedua tangan mereka begitu pun kepada Nadina. Beberapa di antara mereka bahkan menyeletuk dan memuji kecantikan Nadina.

Aminah dan Ali keluar dari dalem dan langsung menyambut Nadhif dan juga Nadina. Kedua pasangan baru itu pun segera mencium tangan pasangan paruh baya itu.

“Akhirnya datang juga, ya?” kekeh Aminah menoleh ke pada warga pondok yang berjajar di belakang Nadhif dan Nadina.

“Maaf Umi, Nadina lama bersiap, ya?” lirih Nadina sedikit menunduk.

“Ahh, bukan begitu maksud umi, Sayang. Maksud umi, mereka-mereka ini telah menunggumu selepas dhuhur padahal Nadhif baru akan membawamu setelah ashar! Mereka terlalu bersemangat bertemu istri Nadhif yang cantik dan baik hati ini!” Aminah tampak mengelus ujung kepala Nadina.

“Sudah bicaranya umi, biarkan Nadina dan Nadhif beristirahat di kamar mereka dulu. Mereka harus menghadiri acara mereka besok. Pasti banyak tamu yang akan datang. Mereka harus banyak beristirahat,” sela Ali.

Di sinilah keduanya sekarang. Dalam satu bilik besar dengan hanya satu ranjang di tengah ruangan yang berukuran cukup besar. Selain ranjang yang besar itu, tampak sebuah meja kerja dengan satu set sofa dan meja di sisinya.

Beberapa hiasan pengantin terpasang di sana dan memberikan kesan manis yang malah membuat Nadina bergidik ngeri ketika membayangkan ia akan tidur bersama pria asing yang bahkan belum ia hafal namanya itu meskipun hanya dua suku kata.

“Biar saya bawakan tasmu ke ranjang supaya kamu lebih mudah mengemasinya nanti,” tutur Nadhif lalu hendak meraih tas jinjing besar yang di bawa Nadina tadi.

“Telat! Seharusnya ditawari dari tadi! Aku sudah lelah membawa ini!” sergah Nadina lalu berjalan menuju ranjang.

“Saya sudah sempat menawari dan kamu menolak.” Nadhif menyusul Nadina.

“Ya seharusnya dipaksa! Langsung diambil juga bisa ‘kan?!” sergah Nadina malah membuat Nadhif tersenyum kecil.

“Ya sudah, saya minta maaf. Sekarang mau saya bantu memasukkan pakaianmu ke dalam lemari?” tanya Nadhif lembut sembari memandang Nadina yang menekuk mukanya sembari mengeluarkan lipatan pakaiannya keluar tas.

“Tidak perlu!” sergah Madina lalu berjalan membuka lemari pakaian.

Ia sedikit terkejut saat mendapat lemari itu masih kosong dan hanya berisi dua buah kapur barus di setiap sudutnya.

“Baju kamu di mana? Ini lemari untukku semua?!” Nadina menoleh ke arah Nadhif yang saat itu sedang hendak duduk di atas ranjang. Akibat keluhan keluar dari mulut Nadina, Nadhif tak jadi duduk dan menghampiri istrinya itu.

“Ini bukan kamar baru bagimu saja, Nadina. Saya pun baru di sini. Sebelumnya saya tinggal di asrama putra bersama para santri lainnya. Tapi karena saya telah memiliki kamu sekarang, jadi kita akan tinggal bersama di sini. Dan lemari itu, nanti akan dibagi. Untuk pakaianmu dan pakaian saya.”

“Oh!” Nadina lanjut memasukkan pakaiannya ke dalam lemari sampai habis isi tasnya itu dikeluarkan.

Nadina berbalik dan memandang Nadhif yang masih menatapnya dari arah lemari.

“Tidak usah melihatku seperti itu! Aku tidak akan kabur!” sergah Madina. “Sekarang Mas Nadhif pilih! Mas mau tidur di ranjang, atau di sofa?” Nadina menunjuk sofa berwarna abu-abu yang ukurannya bahkan dipastikan tak nyaman untuk tidur.

Nadhif sedikit mengerutkan dahinya.

“Apa?! Aku tidak akan setuju untuk tidur satu ranjang dengan Mas Nadhif! Aku belum bisa menerimamu sebagai suamiku. Apa itu salahku?!” sergah Nadina.

“Baiklah, saya tidur di sofa. Kamu tidur di ranjang,” sahut Nadhif.

“Bagus!! Aku mau mandi! Mas Nadhif tidak boleh tiba-tiba masuk atau pun menggedor pintu. Aku tidak suka waktu mandiku diganggu!” sergah Nadina membuat Nadhif hanya bisa mengangguk menurut.

“Jadi suami kok menurut saja sama istri!” cibir Nadina sebelum akhirnya meraih handuk dan meninggalkan Nadhif ke dalam toilet.

Suara pintu kamar yang diketuk membuat Nadhif segera bergegas membukanya. Tampak sang umi berada di depan kamar dan membawa sebuah selebaran untuk putranya lihat.

“Apa umi mengganggu waktu kalian?” tanya Aminah.

“Tidak umi, Nadina sedang ada di toilet. Umi mau masuk saja?” tawar Nadhif.

“Tidak perlu. Ehm Nak, apa Nadina bersikap baik padamu? Bukan bagaimana, tapi pernikahan kalian yang tergesa ini pasti membuat gadis seperti Nadina terkejut bukan? Kalian baik-baik saja?” Aminah memegang pundak Nadhif dan langsung membuat pemuda itu sedikit menunduk.

“Insyaallah semua akan baik-baik saja, Umi. Kami hanya membutuhkan waktu untuk mengenal satu sama lain,” sahut Nadhif.

“Syukurlah kalau semua baik. Ehm, begini umi ingin membicarakan sesuatu tentang acara kalian besok!”

Nadhif tampak memfokuskan pandangan dan pendengarannya pada apa yang hendak uminya tuturkan itu.

“Acaramu besok akan dipegang oleh perusahaan ini. Lebih tepatnya bagian dekorasi dan dokumentasi agar hasilnya lebih baik. Dan mereka memberi umi nomor fotografer jika saja kamu dan Nadina memiliki permintaan konsep tambahan. Ini dia nomornya, kamu bisa menghubunginya di sini, ya!” papar Aminah.

“Baik umi, terima kasih!” pekik Nadhif lalu sang umi berlalu pergi.

Nadhif menutup pintu kamarnya kembali sambil membaca selebaran itu sejenak.

“Arif Sadewa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status