Seluruh warga pondok Darussalam—pondok milik keluarga Nadhif, telah menyambut kedatangan Nadina dengan cukup meriah. Para santri dan santriwati bahkan putra-putri mereka menyambut kedatangan mobil Nadhif di pelataran pondok yang luas itu.
“Istrinya Ustadz Nadhif datang!!” teriak salah satu bocah lelaki yang langsung masuk ke bangunan tengah yang tampak lebih besar dan kokoh—dalem.
“Apa ini? Kau memberi tahukan kedatanganku pada seluruh antekmu?” sergah Nadina menatap Nadhif ketus.
Nadhif tampak mematikan mesin mobilnya, lalu melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya saat berkendara tadi. Pemuda itu masih belum juga menyahut pertanyaan Nadina sementara sang penanya terus menatapnya penasaran.
“Nadhif! Aku bicara padamu!” sergah Nadina lagi.
“Mulai sekarang saya tidak akan menyahut jika kamu hanya memanggil saya dengan nama atau malah tanpa nama. Saya suamimu, Nadina. Saya tahu pernikahan ini sedikit karena paksaan. Tapi saya harap kamu bisa menghargai posisi saya sebagai suamimu. Mari keluar, mereka pasti telah menunggu.” Nadhif tampak hendak meraih gagang pintu mobil dan membukanya.
Namun Nadina dengan cepat mencekal lengan Nadhif dengan kain koko yang membatasi kedua kulit mereka.
“Mas Nadhif, sudah ‘kan? Sekarang bisa ‘kan Mas menjawab pertanyaanku?” ujar Nadina.
Nadhif sedikit menyunggingkan senyuman ke arah istrinya itu. Panggilan itu memang sedikit romantis namun terdengar menyakitkan karena diucap secara terpaksa dan penuh tekanan.
“Saya tidak memberi tahu semua orang, Nadina. Dan mereka juga bukan antek saya. Mereka santri dan santriwati yang sedang menimba ilmu di sini,” jawab Nadhif sedikit melirik ke arah luar jendela tertutup itu.
“Saya hanya memberi tahu umi bahwa saya dan kamu akan berangkat selepas ashar. Mungkin kabar itu menyebar dengan cepat.” Nadhif menambahkan.
“Hsshh!” desah Nadina lalu dengan cepat melepaskan sabuk pengamannya dan hendak segera keluar dari mobil tersebut.
Seluruh anak-anak yang masih berusia 3 tahun hingga taman kanak-kanak segera menyalami Nadhif dengan kedua tangan mereka begitu pun kepada Nadina. Beberapa di antara mereka bahkan menyeletuk dan memuji kecantikan Nadina.
Aminah dan Ali keluar dari dalem dan langsung menyambut Nadhif dan juga Nadina. Kedua pasangan baru itu pun segera mencium tangan pasangan paruh baya itu.
“Akhirnya datang juga, ya?” kekeh Aminah menoleh ke pada warga pondok yang berjajar di belakang Nadhif dan Nadina.
“Maaf Umi, Nadina lama bersiap, ya?” lirih Nadina sedikit menunduk.
“Ahh, bukan begitu maksud umi, Sayang. Maksud umi, mereka-mereka ini telah menunggumu selepas dhuhur padahal Nadhif baru akan membawamu setelah ashar! Mereka terlalu bersemangat bertemu istri Nadhif yang cantik dan baik hati ini!” Aminah tampak mengelus ujung kepala Nadina.
“Sudah bicaranya umi, biarkan Nadina dan Nadhif beristirahat di kamar mereka dulu. Mereka harus menghadiri acara mereka besok. Pasti banyak tamu yang akan datang. Mereka harus banyak beristirahat,” sela Ali.
Di sinilah keduanya sekarang. Dalam satu bilik besar dengan hanya satu ranjang di tengah ruangan yang berukuran cukup besar. Selain ranjang yang besar itu, tampak sebuah meja kerja dengan satu set sofa dan meja di sisinya.
Beberapa hiasan pengantin terpasang di sana dan memberikan kesan manis yang malah membuat Nadina bergidik ngeri ketika membayangkan ia akan tidur bersama pria asing yang bahkan belum ia hafal namanya itu meskipun hanya dua suku kata.
“Biar saya bawakan tasmu ke ranjang supaya kamu lebih mudah mengemasinya nanti,” tutur Nadhif lalu hendak meraih tas jinjing besar yang di bawa Nadina tadi.
“Telat! Seharusnya ditawari dari tadi! Aku sudah lelah membawa ini!” sergah Nadina lalu berjalan menuju ranjang.
“Saya sudah sempat menawari dan kamu menolak.” Nadhif menyusul Nadina.
“Ya seharusnya dipaksa! Langsung diambil juga bisa ‘kan?!” sergah Nadina malah membuat Nadhif tersenyum kecil.
“Ya sudah, saya minta maaf. Sekarang mau saya bantu memasukkan pakaianmu ke dalam lemari?” tanya Nadhif lembut sembari memandang Nadina yang menekuk mukanya sembari mengeluarkan lipatan pakaiannya keluar tas.
“Tidak perlu!” sergah Madina lalu berjalan membuka lemari pakaian.
Ia sedikit terkejut saat mendapat lemari itu masih kosong dan hanya berisi dua buah kapur barus di setiap sudutnya.
“Baju kamu di mana? Ini lemari untukku semua?!” Nadina menoleh ke arah Nadhif yang saat itu sedang hendak duduk di atas ranjang. Akibat keluhan keluar dari mulut Nadina, Nadhif tak jadi duduk dan menghampiri istrinya itu.
“Ini bukan kamar baru bagimu saja, Nadina. Saya pun baru di sini. Sebelumnya saya tinggal di asrama putra bersama para santri lainnya. Tapi karena saya telah memiliki kamu sekarang, jadi kita akan tinggal bersama di sini. Dan lemari itu, nanti akan dibagi. Untuk pakaianmu dan pakaian saya.”
“Oh!” Nadina lanjut memasukkan pakaiannya ke dalam lemari sampai habis isi tasnya itu dikeluarkan.
Nadina berbalik dan memandang Nadhif yang masih menatapnya dari arah lemari.
“Tidak usah melihatku seperti itu! Aku tidak akan kabur!” sergah Madina. “Sekarang Mas Nadhif pilih! Mas mau tidur di ranjang, atau di sofa?” Nadina menunjuk sofa berwarna abu-abu yang ukurannya bahkan dipastikan tak nyaman untuk tidur.
Nadhif sedikit mengerutkan dahinya.
“Apa?! Aku tidak akan setuju untuk tidur satu ranjang dengan Mas Nadhif! Aku belum bisa menerimamu sebagai suamiku. Apa itu salahku?!” sergah Nadina.
“Baiklah, saya tidur di sofa. Kamu tidur di ranjang,” sahut Nadhif.
“Bagus!! Aku mau mandi! Mas Nadhif tidak boleh tiba-tiba masuk atau pun menggedor pintu. Aku tidak suka waktu mandiku diganggu!” sergah Nadina membuat Nadhif hanya bisa mengangguk menurut.
“Jadi suami kok menurut saja sama istri!” cibir Nadina sebelum akhirnya meraih handuk dan meninggalkan Nadhif ke dalam toilet.
Suara pintu kamar yang diketuk membuat Nadhif segera bergegas membukanya. Tampak sang umi berada di depan kamar dan membawa sebuah selebaran untuk putranya lihat.
“Apa umi mengganggu waktu kalian?” tanya Aminah.
“Tidak umi, Nadina sedang ada di toilet. Umi mau masuk saja?” tawar Nadhif.
“Tidak perlu. Ehm Nak, apa Nadina bersikap baik padamu? Bukan bagaimana, tapi pernikahan kalian yang tergesa ini pasti membuat gadis seperti Nadina terkejut bukan? Kalian baik-baik saja?” Aminah memegang pundak Nadhif dan langsung membuat pemuda itu sedikit menunduk.
“Insyaallah semua akan baik-baik saja, Umi. Kami hanya membutuhkan waktu untuk mengenal satu sama lain,” sahut Nadhif.
“Syukurlah kalau semua baik. Ehm, begini umi ingin membicarakan sesuatu tentang acara kalian besok!”
Nadhif tampak memfokuskan pandangan dan pendengarannya pada apa yang hendak uminya tuturkan itu.
“Acaramu besok akan dipegang oleh perusahaan ini. Lebih tepatnya bagian dekorasi dan dokumentasi agar hasilnya lebih baik. Dan mereka memberi umi nomor fotografer jika saja kamu dan Nadina memiliki permintaan konsep tambahan. Ini dia nomornya, kamu bisa menghubunginya di sini, ya!” papar Aminah.
“Baik umi, terima kasih!” pekik Nadhif lalu sang umi berlalu pergi.
Nadhif menutup pintu kamarnya kembali sambil membaca selebaran itu sejenak.
“Arif Sadewa.”
“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif
Hari berganti malam, Nadina saat itu tengah mengenakan beberapa krim malam untuk wajahnya yang elok sebelum tidur. Sambil sesekali melirik ke arah toilet tempat terakhir kali Nadhif menghilang, gadis itu memoles pipinya dengan krim bening yang ia ambil dari wadah. “Dia ngapain sih di toilet? Lama banget! Perasaan sudah sepuluh menit sejak dia masuk ke sana dan belum keluar juga! Mana tidak ada suara percikan air! Dia ketiduran atau pingsan?!” cibir Nadina sambil masih melirik arah toilet melalu cermin kaca yang ada di hadapannya itu. Meja rias dengan paduan cermin dan lampu di sekeliling cermin itu seketika dipenuhi oleh barang-barang kecantikan milik Nadina yang selalu ia gunakan setiap jadwal tertentu. Nadina menutup tempat krim malamnya lalu bangkit dengan sedikit tergesa. Langkahnya perlahan mendekati toilet lalu sambil bergaya mengendap ia hendak melekatkan telinganya itu ke daun pintu toilet. “Sepi banget? Serius Mas Nadhif tidur di dalam sana?!” bisik Nadina semakin mendeka
Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari
“Mas Sadewa! Nadina rasa kita tidak harus membahas perihal ini sekarang. Kita harus segera mengatur konsep pemotretan sebelum waktunya tiba bukan?” sela Nadina saat Nadhif baru saja hendak menarik napas dan menjawab pertanyaan Sadewa barusan. “Ahh, iya! Itu benar. Maaf ya Pak Nadhif, saya terlalu antusias dengan pernikahan kalian hingga melupakan tugas saya di sini.” Nadhif hanya bisa sedikit tersenyum dan sedikit mengangguk. Pemaparan pun dilakukan oleh Sadewa dengan tampangnya yang serius juga profesional. Sementara Nadhif mendengar dengan saksama agar urusan dengan pria di hadapannya itu segera berakhir, Nadina malah tampak terus tersenyum memandang ciptaan Tuhan lainnya itu. “Ehm, Nadina!” panggil Nadhif tanpa menoleh kepada Nadina hingga membuat sang istri sedikit tersentak hingga akhirnya menoleh dengan kerutan nyata di dahinya. “Ada apa?” sahut Nadina singkat dan terkesan sedikit ketus. “Saya rasa saya bisa membahas ini dengan Sadewa berdua saja. Lebih baik kamu menemui um
Sadewa segera membalik badannya dengan ekspresi yang cukup terkejut sementara Nadina seolah muka bebek tak peduli dengan kedatangan sang suami yang memergokinya berduaan dengan pria lain. “Maaf, Pak! Saya mohon jangan berpikiran yang tidak-tidak! Saya hanya membantu Nadina melepas benang hijab yang menyangkut pada gaunnya. Saya bersumpah tidak melakukan apapun!” papar Sadewa cepat dengan raut khawatir jika suami adik tingkatnya itu akan mengamuk saat ini juga. “Terima kasih sudah membantu. Tapi sekarang anda bisa kembali, saya yang akan membantu istri saya jika masalah itu belum selesai,” tutur Nadhif lalu berjalan mendekati Nadina dan Sadewa. “B-baiklah, saya permisi!” putus Sadewa lalu sedikit melirik ke arah Nadina sebentar sebelum akhirnya benar keluar dari ruangan itu. Nadhif terdiam di hadapan Nadina yang seolah tak ingin menjelaskan apapun. Wanita itu malah terus memegangi pundaknya yang tersangkut benang hijab. “Jika kamu membutuhkan bantuan, kamu bisa memanggil saya, Nad
“Mencium?!” pekik Nadina kencang hingga langkahnya terhenti seketika. Pekiknya yang sudah jelas tidak lirih itu tentu mengundang perhatian manusia lain di koridor itu. Nadhif terlebih Aminah kini menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Nadina. “Astaga! Kenapa harus teriak?!” umpat Nadina dalam hatinya. “Nadina?” panggil sang umi langsung membuat Nadina menoleh dengan patahan. “Ehm, Umi! Maaf, anu itu, ehm–” ujar Nadina terpotong-potong. “Maaf Umi, Nadina hanya sedikit terkejut dan risau karena mesti melakukan itu di depan para keluarga dan tamu undangan nantinya,” jelas Nadhif cepat sementara Nadina malah tampak terkejut atas jawaban sang suami yang terang-terangan itu. “Mas!” bisik Nadina sambil menarik lengan jas Nadhif ke dekatnya. Aminah berjalan ke arah Nadina sambil sedikit menyunggingkan senyuman di wajahnya. Wanita paruh baya itu kini meraih tangan Nadina dan menghadapkan sang menantu ke arahnya. Dielusnya pucuk kepala Nadina lalu ia berucap lirih. “Umi dulu juga s
Acara akhirnya usai tepat dua jam sebelum adzan dhuhur berkumandang di masjid besar pondok tersebut. Nadina dan Nadhif yang baru saja mengantarkan kedua orang tua Nadina pamit pulang akhirnya kembali bertemu dengan Sadewa untuk membicarakan beberapa hasil foto jika dirasa kurang puas dan ingin melakukan pemotretan ulang. “Itu saja tidak apa-apa, Mas! Aku yakin hasil jepretan Mas Sadewa yang terbaik!” pekik Nadina dengan cepat seolah terang-terangan ingin memberi tahu jika tak akan ada pemotretan ulang antara dirinya dengan Nadhif. “Tidak apa kita lihat dulu, Nadina. Silakan Sadewa,” tutur Nadhif lalu mempersilakan pemuda itu duduk di ruang tamu dalem. Beberapa lirikan sering ditujukan Sadewa pada Nadina usai mendapati hawa tak menyenangkan datang dari adik tingkatnya itu. “Sudah aku bilang hasilnya bagus. Mas yang tidak percaya bukan?” sindir Nadina saat Nadhif sedang memeriksa beberapa berkas foto mereka. “Ya, Nadina benar. Semuanya tampak baik. Terima kasih telah bekerja keras
Nadina melepas satu persatu hiasan hijabnya juga memoles riasan yang melapisi wajahnya, dilihatnya wajahnya sendiri di dalam kaca itu. Beberapa detik ia terdiam lalu menghela napas kasar. “Baru sehari aku di sini, tapi semuanya tampak menyebalkan. Aku harus terus berusaha berpura-pura bahagia atas pernikahan ini. Kenapa abi, umi, maupun Mas Nadhif tidak memberi tahu saja kepada warga pondok jika pernikahan ini hanyalah bentuk bakti kepada orang tua kami? Aku lelah harus selalu tersenyum dan bersikap manis atas hal yang tidak aku sukai dan malah sangat aku benci!” gumam Nadina lalu menjatuhkan kepalanya ke meja rias. Dilepasnya hijab yang menutup rapat rambut hitam indah miliknya lalu diletakkannya di sisi sofa. Ia tersenyum sedikit sebelum akhirnya mengelus rambutnya sedikit dan pergi ke toilet. Tak lama setelahnya, terdengar suara kecil dari pintu utama kamar yang terbuka. Nadhif masuk dengan membawa beberapa paperbag yang tentu saja ia dapat dari kawan-kawan semasa kuliahnya tadi