Share

5. Seseorang yang Dicintainya

“Arif Sadewa?” ulang Madina langsung menyambar kertas yang dicekal Nadhif itu tanpa permisi.

“Nadina, tidak sopan mengambil sesuatu tanpa izin,” tutur Nadhif saat menyadari sang istri langsung menarik selebaran itu dari tangannya dan kini memandang fokus kertas itu.

“Sssutt! Diamlah dulu!” sergah Nadina melebarkan telapak tangannya ke depan wajah Nadhif. Pemuda itu hanya bisa mengerutkan dahinya dengan penuh tanya.

Mengapa Nadina sangat tertarik dengan nama Arif Sadewa bahkan hingga segera menarik selebaran itu dari tangannya. Kira-kira begitulah isi pikiran Nadhif saat ini.

“Ya ampun! Mas Dewa!” pekik Nadina langsung tampak semringah berbeda jauh saat dirinya menyeletuk ketus ke arah Nadhif.

“Mas Dewa? Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” tanya Nadhif kembali melirik selebaran di mana terdapat foto seorang fotografer bernama Arif Sadewa.

“Kamu dapat dari mana selebaran ini?!” sela Nadina tanpa gelagat hendak membalas pertanyaan Nadhif dengan jawaban. Mendapati tatapan datar dari Nadhif, Nadina menyadari sesuatu.

“Okey! Mas Nadhif! Mas dapat selebaran ini dari mana?” ulang Nadina kini berlaga lembut.

“Umi yang memberinya barusan. Besok dia yang akan memotret kita di acara resepsi. Kamu mengenal pemuda itu, Nadina?” jelas Nadhif beserta mengulang pertanyaan yang belum ia dapatkan jawabannya.

Nadina bisu sejenak. Ia bingung hendak mengatakan apa. Namun jauh di dalam hatinya ia senang jika mendengar nama itu.

“Ehm, bukan siapa-siapa!” sahut Nadina lalu hendak berbalik.

“Apa dia pemuda yang kau cintai dan kau kagumi itu, Nadina? Apakah pemuda itu Arif Sadewa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut Nadhif itu seketika membuat gerakan Nadina berhenti.

Gadis itu tak jadi melanjutkan langkahnya dan masih berhenti dengan selangkah berbalik meninggalkan Nadhif. Sementara itu Nadhif berjalan mendekati Nadina.

Pemuda itu tampak telah bersiap dengan segala kemungkinan yang akan ia dengar dari mulut istrinya. Nadhif kini telah berada di hadapan Nadina yang kala itu sedikit menunduk sambil masih menggenggam selebaran fotografer itu.

“Nadina, saya sedang bicara denganmu. Barusan saya bertanya bukan memberi tahu. Itu bukan berita. Itu pertanyaan yang memerlukan jawaban, Nadina.” Nadhif kembali berucap.

“Apakah jika aku menyebut nama seorang pemuda itu berarti aku mencintainya, Nadhif?!” sergah Nadina lalu kini berjalan melewati Nadhif.

“Kamu tidak perlu menyembunyikan perasaanmu dari saya, Nadina. Saya tahu kamu sedang mengagumi pemuda lain saat pernikahan kita diputuskan. Apakah dia pemuda yang kamu maksud?” tanya Nadhif tanpa membalik badannya.

“Ya! Dia orangnya! Dia yang selama tujuh tahun selalu aku harapkan menjadi suamiku suatu saat nanti! Arif Sadewa! Pemuda pertama yang membuatku jatuh hati sejak pertama kali memandang matanya bahkan hingga detik ini! Apa aku salah jika aku masih mencintainya?! Pernikahan antara aku dan Mas Nadhif bukan pernikahan yang aku harapkan, Mas! Bukan pernikahan seperti ini yang aku impikan! Bukan!!” teriak Nadina memberontak.

Dada gadis itu tampak kembang kempis usai mengucapkan semua kalimat yang ia rasa mengganjal di dalam hatinya selama putusan pernikahannya itu. Bahkan ia tak tahu seberapa menyakitkan setiap kalimatnya yang masuk ke telinga suaminya.

“Mas Nadhif terkejut?! Kecewa?! Ah, sudahlah! Akhiri saja hubungan kita! Ceraikan aku! Toh tidak akan ada yang bahagia juga ‘kan, Mas?!” Nadina menarik lengan Nadhif yang berbalut baju koko itu hingga membuatnya kembali berhadapan dengan suaminya.

“Istigfar, Nadina! Perkataanmu sangat dibenci Allah! Pernikahan kita bukan permainan yang bisa kamu akhiri kapan saja! Kita telah diikat secara sah dengan janji sehidup semati yang sakral! Jangan kamu nodai makna pernikahan dengan mengucapkan permintaan perceraian.” Nadhif kali ini berucap tegas. Kalimatnya yang terkesan tegas dan pas mengena langsung membuat Nadina membisu.

Napas Nadina tampak sedikit kasar. Gadis itu bahkan mulai mengeluarkan air matanya di ujung mata. Entah apa yang ia rasakan. Entah penyesalan karena membentak sang suami atau penyesalan karena tak bisa meminta cerai dari Nadhif.

“Maafkan saya karena telah membentakmu. Tidak semestinya saya bicara kasar padamu, Nadina.” Nadhif memelankan nada dan volume suaranya.

“Saya tak akan masalah jika kamu masih mengagumi pria lain selagi itu masih dalam batas yang wajar. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat Nadina. Kamu telah menjadi istri saya sekarang. Dan saya harap kamu tahu apa saja yang baik dilakukan dan apa yang tidak baik untuk dilakukan,” imbuh Nadhif memandang Nadina sendu.

“Aku mau istirahat. Mas Nadhif boleh keluar kamar tidak?” celetuk Nadina tanpa membalas semua petuah Nadhif tadi dan tanpa menatap mata pria di hadapannya itu.

“Baiklah.” Tak ada balasan lainnya, Nadhif langsung pergi begitu saja bahkan Nadina sempat membalik tubuhnya memandang pemuda itu seolah menangkap hawa kekecewaan dari suaminya itu.

Hari semakin sore, saat itu pukul lima di mana Nadhif mengetuk pintu kamar tiga kali dan tak mendapat balasan dari dalam. Pemuda itu lanjut membuka pintu kamarnya karena memanglah itu kamarnya sendiri.

“Assalamualaikum, Nadina!” pekik Nadhif lalu memasuki ruangan.

Nadina tak ada di atas ranjang. Nadhif beranggapan bahwa istrinya itu telah terlebih dahulu keluar kamar untuk persiapan sholat maghrib.

Pemuda itu pun berjalan menuju sebuah koper yang ada di sebelah lemari. Dibukanya koper itu namun ia tak mendapati pakaiannya di sana. Dibukanya lemari dan ia sedikit terkejut saat pakaiannya telah tertata rapi di sebelah pakaian Nadina.

“Ibu Khoiri benar, sebenarnya hatimu baik, Nadina!” bisik Nadhif.

Pemuda itu lalu mengambil salah satu pakaian kokonya. Sambil berbalik dan hendak berjalan menuju toilet, ia tampak melepaskan satu persatu kancing pakaian koko yang tadi masih ia kenakan sepulang dari rumah sakit.

Namun di saat yang bersamaan, dari arah toilet, Nadina baru selesai membasuh wajahnya dan keluar tanpa mengenakan hijab yang ia tanggalkan di atas ranjang.

Mata Nadina terperanjat saat melihat suaminya itu sedikit bertelanjang dada menunduk dan berjalan hendak menabraknya.

“Aaa!!” teriak Nadina sontak langsung membuat Nadhif berhenti dan mendongakkan kepala.

Mata mereka saling bertemu dan saat itu adalah saat pertama Nadhif melihat Nadina tanpa menggunakan hijab yang menutup kepalanya.

“Astagfirullah!” celetuk Nadhif langsung memalingkan wajahnya.

“Mas Nadhif kenapa masuk ke sini?! Kenapa juga membuka kancing pakaian di sini?!” sergah Nadina langsung berlari menuju ranjang dan mengenakan kembali hijabnya.

“Kamu sendiri juga kenapa keluar dari toilet tanpa hijab, Nadina?” lirih Nadhif kembali mengancingkan pakaiannya cepat.

“Astagfirullah! Kamu istriku, Nadina! Tidak apa aku melihat rambutmu sekarang ini, begitu pun denganmu,” tutur Nadhif langsung membuat Nadina memberikan tatapan canggung.

“Aku mau keluar bertemu umi. Pasti umi sudah menungguku sekarang!” Nadina dengan cepat meraih mukenanya dan pergi keluar kamar dengan sedikit berlari.

“Lucu sekali istriku itu!” kekeh Nadhif.

Sementara Nadhif masuk ke dalam toilet, Nadina telah bertemu dengan Aminah di serambi masjid.

“Apa kamu sudah sempat beristirahat, Nak?” tanya Aminah. Nadina mengangguk kecil.

“Umi punya satu rahasia yang hanya umi dan Nadhif yang mengetahuinya. Kamu pasti sebentar lagi juga akan mengetahuinya. Malam nanti pasti kamu akan mengetahui hal itu. Lihat saja, nanti!” bisik Aminah.

“Rahasia apa Umi?” Nadina mengerutkan dahinya.

“Nanti malam saat kamu tidur bersanding dengan Nadhif, kamu akan mengetahuinya, Sayang! Apa kamu sudah tidak sabar menunggu malam itu datang?” kekeh Aminah langsung membuat Nadina terdiam kaku.

Rahasia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status