Share

7. Masa Lalunya

Mendengar nama itu terucap dari mulut sang istri, Nadhif segera berjalan ke arah pintu. Benar saja, pemuda yang semalam ia lihat fotonya dalam selebaran itu kini berdiri tegap di depan kamarnya juga Nadina.

“Assalamualaikum!” pekik Nadhif menyela tatapan Nadina pada Sadewa begitu pun sebaliknya.

“Ahh, iya! Assalamualaikum, Ustadz!” pekik Sadewa sedikit meringis.

“Waalaikumsalam. Tapi maaf salam saya bukan menyindir anda untuk mengucapkan salam juga. Anda bisa langsung menjawab saja,” tutur Nadhif langsung mendapat tatapan tajam dari Nadina.

“Mas!” Nadina menyikut tangan Nadhif untuk menghentikan tingkah pemuda itu.

Sadewa tampak melirik ke arah Nadhif yang memberikan respons ekspresi datar atas tingkah Nadina yang menyikutnya barusan. Saat menyadari Nadhif menatapnya, ia hanya sedikit mengangguk.

“Ada perlu apa datang kemarin pagi hari? Acara akan dimulai pukul delapan bukan?” tanya Nadhif menatap Sadewa dengan wajah datar yang terkesan dingin itu.

“Ah, itu, Ustadz. Saya datang kemari untuk membahas konsep pemotretan sebelum acara dimulai. Itu akan membuat riasan dan situasi sekitar masih baru jadi hasil foto bisa lebih baik!” pekik Sadewa.

“Ahh, tentu! Silakan masuk, Mas!” pekik Nadina menyela lalu menggeser posisinya guna memberi ruang untuk Sadewa agar bisa masuk ke dalam kamarnya.

“Ehm!” Nadhif berdeham. “Kami akan menemui anda di ruang tamu dalem. Silakan menunggu di sana. Kami akan bersiap-siap dan segera menyusul,” lanjut Nadhif.

Nadina mengerutkan dahinya bingung. Sementara Sadewa langsung mengangguk dan berjalan kembali meninggalkan depan kamar Nadhif dan Madina.

Nadhif langsung membalik tubuhnya dan berjalan ke arah lemari. Sementara itu Nadina langsung menutup pintu dan menyusul Nadhif dengan amarahnya yang tampak memuncak.

“Mas!!” teriak Nadina menarik tangan Nadhif agar pria itu berhenti berjalan dan diam mendengarkannya.

“Ada apa? Kita harus segera bersiap untuk acara kita bukan?” Nadhif membalik tubuhnya dan menatap Nadina dengan ekspresi biasa saja seolah tak pernah terjadi apapun barusan.

“Mas sengaja usir Mas Sadewa?! Kita bisa kok bicara di sini, kenapa harus memintanya pergi? Kenapa mas juga harus meributkan perkara sahutan salam? Mas cemburu?!” sergah Nadina langsung memaki Nadhif.

Nadhif menghela napas sejenak lalu melepaskan genggaman tangan Nadina yang masih mencengkeram tangannya itu dengan cukup kuat.

“Kamar ini ruangan pribadi kita, Nadina. Tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya termasuk Sadewa. Tolong jaga lingkup privasi kita, Nadina.” Nadhif menatap Nadina.

“Tapi dia sudah jauh-jauh dari tempatnya dan mas langsung berbicara ketus! Mas tidak bisa bicara dengan lemah lembut seperti saat mas bicara dengan Nadina? Kenapa nadanya harus penuh penekanan?!” sergah Nadina.

“Penuh penekanan? Saya bicara dengan nada biasa saja Nadina. Jika begitu saja dia merasa sakit hati, kesalahannya bukan ada pada saya, tetapi dia. Mentalnya yang mesti dilatih!” Nadhif lanjut berbalik dan hendak membuka pintu lemari.

Nadina tak berhenti di situ, ia bahkan masih menahan pintu lemari untuk menghalangi sang suami beraktivitas dan terus melanjutkan bahasannya.

“Mas! Nada Mas Nadhif tadi menyindir! Mas cemburu karena Nadina menyukai pemuda itu?! Mas sendiri yang menyetujui ini bukan? Jadi terima saja!” sergah Nadina.

“Saya tidak melakukan penekanan sedikit pun kepada Sadewa, Nadina. Kamu yang terlalu perasan padanya. Sekarang, apa kamu tidak berpikir telah membentak suamimu sendiri hanya untuk pemuda lain? Tidak bisakah kamu berbicara tanpa penekanan?” sindir Nadhif masih dengan gaya bicara datar yang terkesan mencekam.

“Kita tidak punya banyak waktu. Segera siapkan dirimu dan kita keluar bersama!” Nadhif lanjut membuka lemari dan meraih pakaiannya sebelum menghilang di balik pintu toilet.

Kini Nadina dan Nadhif berjalan ke arah ruang tamu dalem dan menemui Sadewa yang telah berada di sana dan baru meneguk teh buatan sang kepala dapur pondok.

“Assalamualaikum!” pekik Nadhif lalu bersama Nadina duduk bersama di sofa di hadapan Sadewa.

“Waalaikumsalam, Ustadz!” pekik Sadewa.

“Tidak perlu memanggil saya seperti itu. Panggil saja Nadhif!” pekik Nadhif bersamaan dengan menyodorkan tangannya pada Sadewa.

“Ah, baiklah Pak Nadhif saja, ya! Saya Sadewa yang akan mengatur semua sesi dokumentasi di acara nanti!” sahut Sadewa membalas tangan Nadhif.

“Ah, iya. Umi kemarin memberikan saya selebaran tentang jasa yang anda berikan. Tapi sepertinya anda sudah mengenal istri saya sebelumnya, ya?” tanya Nadhif sembari sedikit melirik Nadina yang saat itu masih memandangi wajah tampan Sadewa.

Tangan Nadhif menepuk sedikit lutut Nadina hingga membuat wanita itu sedikit tersentak dan mengalihkan tatapannya dari Sadewa.

“Ahh, iya! Nadina adik tingkat saya sewaktu SMA dulu. Saya sedikit terkejut saat melihat dia yang menjadi klien dan istri anda, Pak Nadhif.” Sadewa sedikit menundukkan pandangannya.

Nadhif mengangkat alis lalu melirik ke arah Nadina.

“Memangnya ada apa? Apakah ada masalah?” sahut Nadhif.

“Tidak ada masalah, Pak Nadhif. Saya hanya terkejut jika seorang wanita yang lumayan tenar pada masa sekolah dulu bisa menikahi seorang anak kiai besar seperti anda. Bahkan dia telah menutup auratnya sekarang. Jika melihat saat dulu sepertinya dia bukan tipe wanita yang akan menutup auratnya.” Sadewa menoleh ke pada Nadina.

“Ehm, bagaimana kalian bisa bertemu dan akhirnya memutuskan untuk menikah?” tanya Sadewa membuat Nadhif sejenak terdiam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status