"Cakra, ini gajimu bulan ini. Kerja dan sekolah juga yang benar. Biar jadi manusia bermanfaat buat banyak orang," Pak Tejo mendekati Cakra yang sudah bersiap pulang, ia mengulurkan tangan berisi amplop putih, tipis. Namun, begitu berarti bagi seorang Cakra.
Ia adalah anak yatim piatu yang berusaha membiayai pendidikannya seorang diri. Setiap hari ia bekerja paruh waktu di rumah makan Sanjaya, sebuah rumah makan yang cukup terkenal di Pacitan.
Cakra menerima uluran amplop itu dengan mata berbinar. Terkadang ia heran sendiri, bekerja paruh waktu, tetapi mendapatkan gaji lebih dari yang lain.
"Makasih, Pak. Saya janji akan sekolah dengan benar. Sekali lagi terima kasih," ucapnya disertai senyuman hangat. Senyum meneduhkan selalu menghiasi wajah tegas milik Cakra. Pembawaannya yang ramah dan supel itu membuatnya mudah bergaul dengan siapa pun.
"Memangnya, kurang berapa semester lagi kuliahmu?" tanya pak Tejo lagi. Pemimpin rumah makan Sanjaya itu selalu bersikap baik pada semua karyawannya, terlebih kepada Cakra. Namun, Cakra sadar sebagai seorang yatim piatu, mungkin membuat orang-orang menaruh simpati kepadanya.
"Sekarang sudah semester enam, Pak. Setahun lagi saya lulus, doakan jadi lulusan terbaik, Pak," jawabnya sambil menggendong tas ranselnya. Sepulang dari kampus tadi siang, ia memang langsung menuju ke tempat kerja.
"Oh, ya pasti. Anakku dulu juga lulusan terbaik. Setahun lulus dari sekolah, tes CPNS langsung lolos," celoteh pak Tejo. Ia merasa bangga menceritakan anak lelakinya yang saat ini hidup enak dengan menjadi pegawai negeri di luar daerah.
"Wah, nasibnya bagus banget ya, Pak?” tukas Cakra
"Tapi ya harus pinter dulu, kan, biar bernasib baik?"
"Hehe ... iya, Pak. Ya sudah, saya pulang dulu," kata Cakra dengan sopan.
"Iya," Pak Tejo menjawab sambil tersenyum bangga, melihat punggung menjauh itu. Pegawai yang terbilang baru, tetapi memiliki disiplin kerja cukup tinggi.
Di luar, Cakra naik ke atas motor butut yang ia beli setahun lalu dari salah satu temannya. Dengan motor itu, ia membelah jalanan ramai malam hari, menuju kediaman rumah Pamannya yang terletak di dekat pasar Arjowinangun.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di depan rumah Pamannya itu, ia mengarahkan motor memasuki halaman berpagar besi setengah badan. Suasana di luar masih ramai, tetapi rumahnya itu telah sepi. Mungkin Paman dan Bibi telah tertidur, pikirnya.
Ia membuka pintu depan, mendapati ruang tamu yang gelap. Meyakinkan dugaannya, bahwa semua orang di rumah ini telah tertidur. Memang yang ia tahu, selama ini paman dan bibinya akan tidur lebih awal, dan bangun tengah malam untuk memasak nasi pecel dan lainnya. Usaha sang Bibi yang digelutinya selama ini.
Cakra menuju ke dapur karena merasa tenggorokannya mengering, "Baru pulang, Mas?" Mata berat menahan kantuk, terpaksa kembali melebar karena sapaan tiba-tiba di dekat pintu menuju dapur. Seketika lampu menyala, menampakkan wajah sepupu, menatap dengan pandangan tak suka.
"Iya. Memang aku selalu pulang malam, kan?" Cakra menyahut santai.
"Yang penting jangan sampai lupa sama tugas malammu di sini," Seloroh Anggara. Sirat matanya penuh kebencian yang tak pernah Cakra tahu apa sebabnya. Hanya satu kemungkinan yang ia duga, karena selama ini selalu menumpang hidup di rumah itu.
"Tuh! Tau, kan?" Anggara menunjuk ke arah dapur, perabotan kotor menumpuk di sana.
"Iya. Memang sudah jadi tugasku."
"Bagus kalo paham!" seru Anggara sambil melenggang pergi. Bukannya ke kamar, pemuda itu malah keluar entah kemana. Membuat Cakra menggeleng tak habis pikir. Sudah sedewasa itu, tetapi belum mengenal pekerjaan apa pun, kecuali nongkrong hingga larut malam. Tak peduli bagaimana orangtuanya bersusah-payah mencari uang untuk kebutuhan hidup dan pendidikannya.
Cakra melanjutkan langkah menuju dapur. Di sana, setiap malam tumpukan perabotan kotor selalu setia menunggu kepulangannya. Mungkin memang ia satu-satunya petugas cuci piring di rumah ini. Bahkan sebanyak itu, seperti bekas makan sejak tadi pagi tetap dibiarkan begitu saja. Hingga ia pulang kerja. Tak peduli lagi bagaimana lelahnya akibat beraktivitas seharian penuh.
Mengingat kondisinya yang hanya menumpang hidup orang rumah ini sejak kecil, ia tak ingin ribut. Segera menyelesaikan pekerjaan meski rasa lelah membuat matanya berat.
Krumpyang!
"Haduh, gelas kesayangan Bibi, pecah?" Seketika matanya melebar, menyadari kesalahan fatal yang dilakukan tanpa sengaja.
"Apa lagi yang kau pecahkan?!"
Sebuah suara melengking, membuat Cakra menoleh. Di belakang, ternyata sang bibi telah berdiri sambil berkacak pinggang. Wanita itu mendekat, dan membeliak ketika melihat gelasnya pecah.
"Gelasku!" pekiknya, “Kamu bisa kerja nggak, sih?!”
"Maaf, Bi. Aku udah ngantuk banget, jadi ya nggak sengaja," jawab Cakra tenang.
"Makanya, jangan terlalu malam kalo pulang!" hardik sang bibi. Masih juga belum mengerti alasan Cakra setiap hari selalu pulang malam, dalam kondisi badan letih. Meski beberapa kali ia memberikan penjelasan, tetapi selalu salah di mata wanita galak itu.
"Iya. Maaf," jawab Cakra.
"Maaf ! Maaf saja terus, awas kalo ada yang pecah lagi!"
"Iya, Bibi."
Setelah punggung itu menjauh dari arah dapur, Cakra kembali berkutat dengan tumpukan cuciannya. Harus selesai secepatnya, agar bisa tertidur, dan besok bisa bangun pagi. Karena biasanya, setiap pagi sebelum berangkat ke kampus ia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Layaknya pembantu rumah tangga.
Jam setengah sebelas malam, Cakra baru bisa merebahkan badan remuknya. Diatas ranjang tua beralaskan kasur lantai, yang entah kapan ia membelinya waktu itu. Kamar sempit yang biasa ia tempati itu, berbeda jauh dari kamar paman dan bibinya. Juga kamar Anggara yang terbilang mewah.
Namun, lagi-lagi ia tak pernah mempermasalahkannya. Ia sadar betul posisinya saat ini, hanya yatim piatu yang diasuh oleh sang Paman.
Cakra terlelap sangat pulas, akibat raga yang setiap hari diporsir. Hingga tak menyadari bahwa hari telah berganti.
Byur!
"Akh! Apa-apaan ini?"
"Kamu yang apa-apaan! Sudah siang begini masih enak-enakan tidur. Dasar pemalas! Kamu nggak pernah mikir, gimana Paman dan Bibimu ini banting tulang siang dan malam. Untuk cari makan buat kamu!"
Suara uring-uringan itu memang sudah menjadi kebiasaan di rumah itu. Namun, diguyur air karena bangun kesiangan sepertinya baru kali ini. Seketika Cakra melompat dari atas tempat tidur, sibuk menyeka air berbau tak sedap yang baru saja mengguyur wajahnya.
"Maaf, Bi. Aku kesiangan," ucap Cakra tergagap.
"Lihat, jam berapa sekarang?" Teriak Bibi menunjuk ke arah jam dinding, sudah jam tujuh pagi. Cakra membelalak.
"Jam tujuh? Aku pasti telat," gumamnya.
"Paman dan Bibimu sudah bangun sejak tengah malam, sampai sekarang belum istirahat. Kamu malah enak-enakan molor. Ingat, ya. Jangan berangkat sebelum semuanya beres!"
"Iya, Bi,"
"Buk, jangan kasar-kasar sama anak yatim. Nanti kalo kualat, gimana?" Tiba-tiba Paman sudah berada di antara mereka. Melerai, meski tak pernah berhasil. Karena tak pernah menang melawan mulut judes sang istri.
"Terus saja, Bapak bela anak itu. Sampai kita nggak punya apa-apa lagi karena memenuhi kebutuhannya!" seru bibi, membuat paman Karwo terdiam seribu bahasa.
Paman dan Cakra bergeming, saat Bibi hendak pergi dari kamar itu. Namun, sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia menoleh, "Kamu harus ganti gelasku yang kamu pecahkan semalam!" tegasnya.
"Iya, Bi. Ini sekarang saja, mumpung saya lagi ada uang," Cakra menyahut sambil membuka amplop yang tergeletak di atas meja sejak tadi malam. Bibi pun mengernyit, ia berjalan mendekati pemuda itu lagi.
"Banyak uang kamu rupanya," gumam Bibi sambil merebut beberapa lembar yang sedang di pegang Cakra.
"Bi. Memang harus sebanyak itu?"
"Iya. Memang kenapa?" Belum sempat ia menjawab, bibi telah menghilang dari balik pintu kamar. Cakra menghela napas berat, sejenak menoleh ke arah sang Paman yang menyentuh lembut pundaknya.
"Sabar ya, Cakra."
Dua tahun telah berlalu, Cakra telah menjadi seorang sarjana. Ia lulus dengan cumlaude, membawa penghargaan tertinggi dari pihak kampusnya waktu itu. Kini, ia telah berhenti dari rumah makan yang ia geluti sejak awal di bangku perkuliahan. Saat ini, Cakra mulai mengamalkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah. Menjadi pengajar di sebuah SMP negeri, meski hanya sebagai guru honorer yang gajinya tak seberapa. Namun, rasa bangga ketika melihat keceriaan anak didik itu telah melebihi puasnya ketika menerima gaji sebesar apa pun."Baiklah anak-anak, cukup dulu pertemuan hari ini, ya. Tugasnya jangan lupa dikerjakan." Titah Cakra siang ini pada seluruh anak didiknya di salah satu kelas sembilan."Iya, Pak Cakra." Anak-anak serentak menjawab. Sebagai satu-satunya guru muda di sekolah itu, tak ayal jika ia selalu menjadi idola bagi murid-muridnya. Apa lagi anak perempuan, yang rata-rata anak SMP saat
"Anggap saja itu sebagai balas budimu pada keluarga kami. Lagi pula pamanmu berhutang juga untuk kita semua. Termasuk kamu!" Belum sempat Cakra menjawab. Bibi sudah mencecar dengan kalimat bertubi-tubi, yang semakin membuatnya bungkam."Aku tidak mau tau, kalian angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Atau, salah satu diantara dua pemuda itu menikah dengan anakku!" Sosok berwajah sangar itu bersuara, dengan suara lantang memekakkan telinga.Semua orang yang ada di rumah itu terdiam. Paman Karwo menunduk sangat dalam, ia pasti sedang berada di posisi serba salah. Sementara Anggara dan Bibi, menatap tajam ke arah Cakra dengan pandangan menuntut."Bagaimana, jadi tidak ada yang mau menikahi anakku? Kalau begitu, sekarang juga kalian harus tinggalkan rumah ini!""Pak! Tolong jangan usir kami .... " Rintih Bibi dengan suara serak, sambil menangkupkan kedua tangannya. Memohon dengan sangat pada sosok tak punya hati itu.&n
"Selamat malam, Mega. Sudah tidur, ya?" suaranya terlihat kaku. Sesekali merutuk dalam hati, bodoh sekali pertanyaannya. Memang seumur hidup baru kali ini menyapa perempuan dengan momen yang menurutnya luar biasa.Karena yang disapa masih bergeming, ia berusaha mendekat, "Mega?""Pergi! Jangan sentuh aku!" ia tiba-tiba berteriak sambil meringkuk memeluk lutut. Wajahnya terbenam, dengan bahu bergetar hebat. Cakra mengernyit tak mengerti.Melihat hal itu, tentu saja langkahnya terhenti. Bingung hendak bersikap bagaimana. Dalam hati merasa iba dengan perempuan yang sepertinya ketakutan itu, tetapi jika ia mendekat, khawatir Mega akan semakin histeris. Akhirnya ia hanya bisa berdiri mematung dengan menggaruk kepala yang tak gatal.Hingga beberapa saat Mega akhirnya bisa lebih tenang. Gadis itu bergerak dari posisinya yang tadi, tangannya berpindah, tak lagi memeluk lututnya. Ketika mendongakkan wajah, matanya mengernyit memanda
"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak.Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar."Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?" teriak sosok berwajah tak bersahabat itu. Lihatlah, baru saja satu hari pengantin itu melepas masa lajang. Bukan kesan terbaik yang diperlihatkan oleh Ibu mertua, melainkan sebaliknya.Jika saja bukan Cakra, mungkin sudah memilih pergi sejak awal. Tak mau berada di satu atap yang sama dengan mertua super jahat. Namun, baginya tak ada pilihan lain, karena tak ada orang tua. Pun untuk mengontrak rumah sendiri, belum ada dana yang mencukupi."Iya, Buk. Maaf. saya akan segera beraktivitas," jawabnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Ibu mertua dan istrinya yang saling berpandangan itu.Cakra tiba di dapur, di sambut dengan beberapa pasang ma
"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan."Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun."Iya, bentar aku ambil tas dulu," Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak
"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai."Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan."Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja," Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?" Cak
"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat."Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?""Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi."Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra."Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman."Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i