Di dalam mobil, Fasya tampak memainkan tangannya gelisah. Sesekali dia melirik Adnan yang tengah menyetir di sampingnya. Dia ingin bertanya tapi tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan karena ini menyangkut masa depan hidupnya.
"Jadi?" tanya Fasha pada akhirnya. Adnan hanya melirik sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Untuk saat ini kita jalanin dulu sampai keadaan membaik," ucapnya. "Apa yang harus dijalanin?" tanya Fasya bingung. Adnan menghela napas kasar, "Pernikahan ini. Setidaknya di depan Kakek kita harus menjalankan peran suami-istri." "Kalau di belakang Kakek?" "Terserah kamu. Kita jalan sendiri-sendiri." Fasya tersenyum lega mendengar itu. Mungkin ucapan Adnan ada benarnya. Lebih baik mereka bersandiwara terlebih dahulu sampai keadaan kembali normal. Setelah itu mereka akan memikirkan kembali apa yang harus dilakukan untuk lepas dari pernikahan konyol ini. "Aku tinggal di rumah Mas Adnan?" tanya Fasya lagi. "Hm." "Kalau untuk tidur?" Fasya tampak berhati-hati saat menanyakan itu. "Kamu punya kamar sendiri." Fasya lagi-lagi menghela napas lega. Dia duduk bersandar dengan tersenyum. Hal itu tak luput dari pandangan Adnan. Dia melirik dan menggeleng pelan melihat tingkah Fasya. Gadis itu tidak berusaha untuk menutupi kebahagiaannya karena bisa jauh darinya. "Kamu pikir kita bakal jalanin pernikahan yang sebenarnya? Jangan harap." Fasya membuka matanya dan menatap Adnan aneh, "Siapa yang berharap? Jangan pede!" "Selama kita tinggal satu rumah, jangan pernah ganggu saya," jelas Adnan. "Begitu juga sebaliknya," ucap Fasya. "Deal." Mobil mulai melambat saat sudah sampai di sebuah rumah dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Fasya sempat terkejut melihat itu. Dia tidak tahu jika Adnan akan sekaya ini. Tentu saja! Fasya pernah mendengar dari kakeknya jika keluarga Atmadja adalah keluarga yang cukup terpandang karena kerajaan bisnisnya. Fasya meringis menyadari itu. Ternyata tingkat ekonomi di antara mereka sangat jauh berbeda. Kakek Fasya hanya pemilik peternakan sapi di desa. Itu saja harta yang mereka miliki saat ini untuk bertahan hidup di kota. Awalnya kakek dan nenek Fasya hidup di desa. Namun setelah orang tua Fasya meninggal karena kecelakaan akhirnya mereka memilih untuk pindah ke kota demi merawat Fasya yang masih bersekolah di bangku SMP. Hal itu terus berlanjut hingga Fasya melanjutkan kuliahnya. Setelah mobil terparkir di halaman, tanpa banyak bicara Adnan langsung turun meninggalkan Fasya yang kebingungan. Gadis itu dengan cepat menyusul dan membuka bagasi mobil. Dia kembali merutuk saat Adnan tidak membantunya sama sekali dan langsung masuk ke dalam rumah. Saat mengeluarkan tasnya, ada dua orang yang datang dan langsung membantunya. Fasya tersenyum melihat para pekerja di rumah Adnan yang sigap membantunya. "Terima kasih ya, Pak.. Bu. Sudah dibantu." "Sama-sama, Bu." Fasya terkejut, "Jangan panggil saya 'ibu', Pak." "Kan Ibu sudah jadi istri Pak Adnan," ucap wanita itu dengan ragu. Fasya menggigit bibirnya pelan. Tidak mungkin jika dia berkata jika pernikahan ini hanyalah sandiwara. Namun tetap saja, Fasya merasa masih terlalu muda untuk dipanggil Ibu. "Panggil Fasya aja, Bu. Saya masih imut soalnya," ucapnya dengan geli. "Nggak berani saya, Bu. Gimana kalau Mbak Fasya aja?" Fasya tampak berpikir, "Lebih enak didenger. Ya udah, nggak apa-apa." "Kalau gitu perkenalkan, Mbak. Nama saya Bibi Sari, asisten rumah tangga di sini. Kalau ini Pak Yanto, satpam sekaligus suami saya." Fasya mengangguk mengerti dan tersenyum, "Salam kenal ya Bibi Sari.. Pak Yanto." "Kalau gitu Mbak Fasya masuk aja dulu. Biar barangnya kita yang bawa nanti." Fasya mengangguk dan tersenyum manis. Dia berlalu menuju pintu utama dengan membawa tas kecil berisi alat riasnya. Pintu yang terbuka lebar membuat Fasya langsung berjalan masuk. Langkahnya terhenti saat melihat Adnan sedang duduk berhadapan dengan Kakek Faris. "Loh, Kakek di sini?" Dengan cepat Fasya mendekat dan mencium tangan Kakek Faris. "Iya. Kakek mau liat kamu sama Adnan," jawabnya sambil mengelus kepala Fasya. "Kenapa nggak istirahat aja, Kek?Kakek baru pulang dari rumah sakit soalnya." "Kakek udah sehat kok. Gimana keadaan Kakek kamu?" Fasya tersenyum manis, "Alhamdulillah, Kakek juga baik." Kakek Faris kembali tersenyum. Dia meraih tangan Fasya dan menggenggamnya erat. "Terima kasih ya, Sya. Udah mau kabulin permintaan Kakek. Kakek seneng akhirnya kamu yang jadi istrinya Adnan." Fasya tersenyum masam, "Nggak apa-apa, Kek. Selama itu bisa buat Kakek Faris dan Kakek Farhat senang dan sehat." "Tuh, kamu liat, Nan. Fasya itu baik, nggak salah Kakek pilih dia." Fasya tersenyum malu mendengar pujian itu. "Iya," jawab Adnan pasrah. "Kalau gitu ayo Kakek pulang, aku antar. Istirahat di rumah, jangan ke mana-mana dulu."v Kakek Faris mencegah Adnan untuk berdiri. "Nggak perlu, Kakek udah telepon Edi buat jemput. Kamu pasti capek hari ini, istirahat aja." Kakek Faris beralih pada Fasya, "Kamu juga istirahat ya." "Iya, Kek." Fasya mengangguk patuh. Tak lama kemudian terdengar bunyi klakson mobil dari halaman. Selang beberapa detik, muncul Edi, supir Kakek Faris sudah berdiri di depan pintu. "Kalau gitu Kakek pulang dulu. Kalian yang rukun ya," ucapnya menepuk bahu Adnan dan Fasya bergantian. "Hati-hati, Kek." Saat akan masuk ke dalam mobil, Kakek Faris kembali berbalik dan berjalan mendekat. "Kakek lupa sesuatu," bisiknya pada Adnan dan Fasya. "Apa, Kek? "Kakek pesen cicit ya." Fasya terbatuk mendengar itu. Dia menatap Adnan yang masih terlihat santai dengan wajah datarnya. "Iya, Kek. Sekarang Kakek pulang ya, terus istirahat," jawab Adnan. Fasya melambaikan tangannya saat mobil sudah berlalu pergi. Setelah benar-benar menghilang dari pandangannya, senyum yang sedari tadi ia tampilkan langsung menghilang. "Ikut saya." Fasya menatap Adnan yang sudah berlalu masuk ke dalam rumah. Dengan langkah tergesa dia mengikuti Adnan. Pria itu membawanya ke lantai dua dan berhenti di depan pintu berwarna coklat kayu. "Ini kamar kamu." Dengan ragu, Fasya mulai membuka kamarnya. Mulutnya terbuka lebar saat melihat kamar yang Adnan berikan. Jauh dari ekspetasinya. Dia pikir Adnan akan memberikan kamar yang tak layak mengingat jika mereka saling membenci, tapi ternyata pria itu memberikan kamar yang cukup bagus. Sedikit lebih bagus dari kamar lamanya. "Ini kamar aku?" "Iya. Kalau nggak suka kamu bisa rubah tatanan kamar ini asalkan satu, jangan berisik ataupun ganggu saya." "Oke!" Fasya tersenyum senang dan mulai berjalan masuk. Dia melihat kamarnya dengan teliti. Setidaknya Adnan masih memanusiakan dirinya. "Makasih ya, Ma—s." Fasya berbalik dan kalimatnya mengganting saat sadar jika Adnan sudah pergi. Fasya mencibir, "Dasar demit! Tiba-tiba muncul, tiba-tiba ilang." Fasya mengedikkan bahunya dan merebahkan dirinya di atas kasur. Dia memejamkan matanya untuk menikmati rasa nyaman di punggungnya. Akhir-akhir ini dia kurang tidur karena harus menjaga kakeknya. Beruntung jika dia tengah libur semester kali ini. "Permisi, Mbak." Suara ketukan pintu membuat Fasya kembali bangkit. Ternyata Bibi Sari yang datang. "Ini barangnya di taruh mana, Mbak?" "Taruh sini aja, Bik." Fasya dengan cepat membantu mengangkat barangnya. "Makasih ya, Bik." "Sama-sama, Mbak. Oh iya, tadi kata Pak Adnan kalau Mbak Fasya laper bisa langsung minta ke Bibi ya, soalnya Bapak nggak pulang malam ini." Fasya mengangguk mengerti. Dia memilih untuk menurut dan tidak banyak bertanya. Toh mereka sudah melakukan perjanjian untuk tidak saling mengusik satu sama lain. "Sekali lagi makasih ya, Bi." "Sama-sama, Mbak. Saya keluar dulu." Fasya mengangguk dan mulai menutup pintu. Dia menatap barang-barangnya dan menghela napas kasar. Dia tidak bisa beristirahat jika melihat barangnya seperti ini. "Oke, Fasya. Semangat! Hidup baru akan dimulai." *** TBCHari baru telah tiba. Dengan bersenandung, Fasya tampak memoles wajahnya di depan cermin. Polesan make-up yang tidak terlalu tebal melekat sempurna di wajahnya. Fasya terlihat cantik dengan riasan yang cocok di wajahnya. Setelah selesai, dia mulai memasukkan beberapa barang yang sekiranya ia butuhkan ke dalam tas bahunya. Fasya mengambil laptop dan bergegas keluar dari kamar. Hari ini adalah hari pertamanya magang, oleh karena itu dia tidak boleh terlambat. "Selamat pagi, Mbak?" sapa Bibi Sari saat Fasya mulai memasuki area meja makan. "Pagi, Bik." Fasya tersenyum dan memilih untuk duduk di kursi paling ujung. Matanya sesekali melirik pada pria yang tengah sarapan dengan tenang. Setelan kemeja yang rapi telah melekat di tubuh Adnan, menandakan jika pria itu akan berangkat bekerja. "Mau sarapan roti atau nasi, Mbak?" tanya Bibi Sari. "Hm...," Fasya tampak berpikir, "Nasi aja, Bik." Fasya terkejut saat Bibi Sari mulai mengambilkan sarapan untuknya. Dengan cepat Fasya
Memasuki ruang pertemuan, mata Fasya langsung tertuju pada sekumpulan mahasiswa dengan almamater kebanggaan dari kampus mereka. Mereka semua duduk rapi dengan wajah yang serius, siap mendengarkan materi kunjungan hari ini. Seketika Fasya meringis. Apa dia pernah seserius ini saat kuliah? Sepertinya tidak. "Ini, kalian bagiin kertas ini ke mereka semua ya. Setelah itu duduk di belakang laptop," ucap Shanon memberi arahan. Fasya dan Dinar kompak mengangguk dan segera melaksanakan tugas mereka. Melihat Damar yang sudah berdiri di depan podium, sepertinya pria itu yang akan mengisi materi kunjungan hari ini. Setelah membagikan kertas yang Fasya yakini berisi materi pembahasan hari ini, dia mulai duduk di depan laptop untuk membantu Damar melakukan presentasi. Mendengar penjelasan Damar mengenai perusahaan, Fasya seperti ikut belajar banyak hal di sini. Ini masih hari pertamanya tapi dia sudah mendapatkan banyak informasi. Awalnya yang ia ketahui hanya tentang departemen tempat
Hari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi. "Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu. "Nanti aja, Mbak." "Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh. "Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti." Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini. "Udah jam 7, bi
Suara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras. "Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal. Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya. Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya. "Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tanga
Sebagai mahasiswa magang, tentu pekerjaan Fasya tidak seberat karyawan tetap. Namun baru beberapa hari menjalani magang entah kenapa dia sudah mulai merasakan lelahnya bekerja. Fasya memang senang saat di kantor, tetapi saat pulang dia mulai merasakan lelah pada tubuhnya. Apa ini yang dirasakan oleh para pekerja? Dia meringis saat mengingat kakeknya yang sudah tua tetapi masih bisa mengurus peternakan sapi di desa. Sepertinya Fasya harus mulai lebih menghargai uang sekarang. Setelah pulang magang, mandi adalah pilihan terbaik. Fasya keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Mungkin setelah ini dia akan sedikit bersantai sambil menunggu jam makan malam tiba. Baru saja ingin meluruskan kakinya di tempat tidur, Fasya mendengar suara ketukan pada pintunya. "Bibi?" sapa Fasya saat tau jika Bibi Sari yang mengetuk pintu kamarnya. "Maaf, Mbak. Ada tamu di bawah." Kening Fasya berkerut, "Tamu? Siapa, Bik?" "Katanya namanya Denis?" "Tamu Bapak?" Bibi Sari
Kehidupan rumah tangga Fasya dan Adnan sangatlah aneh. Saat ini mereka tengah duduk di meja makan di mana Adnan dan Fasya masing-masing duduk di ujung meja. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka selain dentingan sendok dengan piring. Ini pertama kalinya Fasya melihat Adnan setelah pria itu kembali dari luar kota tadi siang. Sesekali Fasya melirik Adnan yang masih fokus makan. Dia melihat pria itu dengan pandangan menilai. Bahkan dia memiringkan kepalanya untuk berpikir. Yang ada di otak Fasya saat ini adalah Adnan mirip seperti robot. Tidak ada yang pria itu lakukan selain makan, berbeda dengan Fasya yang tidak bisa diam dan sesekali melirik ponselnya agar tidak jenuh. Ingatan Fasya kembali pada semalam, di mana Adnan menghubunginya dan berkata hal yang membuatnya bingung. Hingga saat ini Fasya masih penasaran kenapa Adnan melarangnya bertemu dengan Denis? Mereka adalah sepupu seharusnya Adnan tidak boleh seperti itu. Apa mungkin memamg Adnan yang menyebalkan di sini? F
Adnan mengetuk pintu apartemen di depannya dengan sabar. Selagi menunggu, dia mematikan ponselnya agar tidak ada seorang pun yang menghubunginya. Tubuh Adnan sangat lelah hari ini dan pertemuannya dengan Denis semakin menguras tenanganya. Pintu terbuka dan muncul seorang wanita cantik dengan senyuman lebarnya. "Aku pikir kamu nggak dateng." "Aku males di rumah," jawab Adnan. "Tumben?" Kinan mengerutkan dahinya dan membuka pintunya lebar untuk membiarkan Adnan masuk. Seperti sudah terbiasa, Adnan melepas jasnya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ini bukan kali pertama dia datang karena Adnan memang sudah sering datang berkunjung. Tentu saja! Kinan adalah kekasihnya. "Capek ya?" tanya Kinan mengelus bahu Adnan. "Kamu masak?" Kinan mengerutkan dahinya dan menggeleng, "Kamu laper ya?" Tanpa menjawab Adnan mengangguk. Dia belum sempat makan di rumah karena ia langsung pergi begitu Kinan menghubunginya. Berada di rumah dan melihat Fasya membuatnya sedikit kes
Fasya diam mematung dengan melamun. Dia menatap pergerakan Adnan dengan wajah yang bodoh. Dia masih berusaha mencerna ucapan pria itu tadi. Tidur bersama? Dalam satu kamar? Tidak, itu tidak akan terjadi! "Mas," panggil Fasya lemah. Adnan sendiri masih tak acuh sambil melepas jam tangannya. Dia melirik Fasya sebentar tanpa berniat untuk menjawab panggilan gadis itu. "Mas!" Kali ini Fasya memanggil dengan keras. Dia baru saja tersadar dan mulai menggunakan emosinya. "Kurang keras. Sekalian biar Kakek denger," sahut Adnan santai. "Aku nggak mau satu kamar." Fasya mulai merengek sambil menghentakkan kakinya. Adnan menatap Fasya datar, "Kamu boleh balik ke kamar kamu kalau nggak mau, tapi kalau kakek saya tau dan penyakitnya kambuh. Kamu orang pertama yang saya salahin." Setelah mengucapkan itu Adnan beranjak menuju ke kamar mandi. "Kenapa jadi aku yang salah? Ini semua salah Mas Adnan! Kenapa tiba-tiba ngilang dan pulang malem?!" Fasya berucap dengan suara tertahan.