Ghani bersiap-siap berangkat kerja hari ini, dibantu oleh Hanggini yang cekatan mengurus keperluannya sejak resmi menyandang status sebagai istri.Ia menunduk, menatap Hanggini yang sedang memakaikan dasi, dengan kebisuasannya setelah masalah tadi.Helaan napas Ghani keluarkan, jemari itu ia bawa untuk mengusap pinggang sang istri."Kamu masih marah soal tadi, Gin?" Ghani bertanya hati-hati.Hanggini bungkam, menyelesaikan pekerjaannya dahulu."Hanggini, jangan diperbesar dong. Aku 'kan udah bilang kalau itu nggak sengaja, aku refleks doang tadi," panggilnya. Mengimbangi langkah Hanggini, sang istri menjauh pergi memasuki kamarnya.Kesal jika Hanggini tak mendengarkan, Ghani mencengkram pergelangan tangan Hanggini."Akh! Sakit, Mas!" Hanggini mengeluh kesakitan.Rasa nyeri dan panas menjalar, akibat cengkraman yang Ghani berikan. Terlebih, mata hitamnya menatapnya dengan tatapan nyalang."Aku nggak mau ibu tahu soal ini, tolong jangan menyusahkanku dengan memperbesar masalah, Gin." Se
Untuk kedua kali, Gladys harus diusir warga karena kehamilannya. Memang mereka benar, karena dia hamil di luar pernikahan, tetapi tidak harus dengan cara seperti ini juga menghakiminya.Akibatnya, Gladys harus mencari lagi tempat tinggal. Belum tentu ia menemukan tempat sewa yang murah, apalagi ini ibu kota. Sangat jarang ada orang yang menyewakan dengan harga murah.Cuaca Jakarta sedang mendung pagi ini, mendakan akan turunnya hujan karena awan begitu kelabu di atas sana. Gladys diam di pinggir jalanan sepi, sembari meluruhkan tangisan."Harus ke mana lagi aku sekarang? Aku nggak punya uang banyak untuk menyewa tempat tinggal."Gladys ingin menangis sejadi-jadinya. Menangisi takdir yang dipenuhi ujian tanpa henti. Dia berusaha tak membenci, janin yang dikandungnya ini, tapi Gladys membenci orang yang sudah menanam benih di rahimnya.Mungkin sudah saatnya bagi Gladys untuk pergi dan menjauh. Kehadiran Arnesh hanya membuat kehidupan Gladys semakin kacau.Derasnya air hujan selaras deng
Uhuk ... uhuk ....Livya yang hendak minum pun langsung tersedak, mendengar ucapan yang dilontarkan Daniel di semua orang-orang.Mereka panik, Arnesh mengusap punggung istrinya. Wajahnya sudah merah akibat tersedak. Livya hanya bisa menahan sakit di tenggorokan."Lain kali hati-hati, Liv. Lagian aku bercanda doang kok. Mana mungkin aku suka bini orang, dihajar suaminya nanti," kekeh Daniel, Arnesh dan Aaron sih sudah paham. Jika Daniel memang selalu bercanda jika setiap perkumpulan, maka dari itu, anggap saja sebagai peramai agar suasana tak lurus-lurus amat.Livya hanya bisa diam, tak mengindahkan. "Mas, aku ke toilet dulu, ya. Bajuku kotor kena minuman," ujar Livya, menoleh pada Arnesh."Ya, mau kuantar?" tanya Arnesh. Harus bersikap romantis sedikit, karena ada dua temannya. Tidak enak juga, memperlakukan istri dengan abai. Bisa-bisa diceramahi.Livya menggeleng, menolak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri. Kamu lanjutin aja ngobrolnya."Bangkit berdiri, Livya mengusap pundak suami
Jika Livya berharap Arnesh mengejarnya saat dia lari, maka itu salah. Rupanya Arnesh malam memperhatikan dalam diam dan masuk ke dalam ruangannya. Ia terlalu berharap, pada Arnesh yang memang tidak peduli.Livya tidak mendengarkan panggilan ibu mertua, dia buru-buru pergi meninggalkan Rumah Sakit usai mendengar pembicaraan ibu dan anak, sangat menyakitkan.Mau berjuang seperti apapun, di mata Arnesh tidak akan ada harganya. Sudah 4 tahun Livya berusaha, tetap saja tak bisa mendapat cinta sang suami. Bisa dibilang, ia hal mustahil."Aku harus gimana lagi supaya Mas Arnesh cinta sama aku? Arghh! Kenapa sesakit ini, Tuhan!" isak Livya merintih pilu.Ia bergegas masuk ke dalam mobil miliknya. Menjalankan kendaraan tanpa arah tujuan demi menenangkan hati dan pikiran.Benaknya jadi teringat pada Daniel. Hanya pria itu yang bisa menyembuhkan kegundahan yang Livya rasakan. Alhasil, dia menancap gas ke arah Hotel milik kekasih gelapnya.Kedatangan Livya disambut hangat oleh para pegawai, dia m
Memulai hidup baru di kediaman baru bukan hal yang mudah dijalankan. Sudah satu minggu lamanya Gladys tinggal disebuah kost-kostan, harganya lumayan murah meskipun tempatnya kecil.Di tempat tinggal barunya, Gladys berusaha beradaptasi setiap kali bertemu dengan tetangganya. Penyewa kost di sini kebanyakan para anak muda yang bekerja, wajar jika mereka akan terlihat pagi dan sore saja.Hanya Gladys yang belum bekerja. Dia menghabiskan waktu untuk berjualan, bermodalkan yang ada."Glad, dagang apa kamu?" sapa tetangga sebelah kiri Gladys yang menghampiri saat Gladys baru keluar."Biasa, Pril. Gorengan sama kue," balas Gladys.Gladys berhenti, menunjukkan dagangannya pada April. Wanita muda yang seumuran dengan Gladys, dia bekerja di sebuah restoran bintang lima.April juga baik, selalu mengajak Gladys untuk menemani. Dengan begitu, mereka tidak akan kesepian.April sibuk memilih barang dagangan untuk dibeli dan dibawa ke tempat kerja. "Gorengan sama kuenya enak, apalagi masih hangat. N
Waktu bergulir menuju senja, Gladys pulang berdagang pada sore harinya. Dengan memikul beban dan rasa lelah, Galdys ingin segera sampai di kediaman untuk beristirahat. Kost di sini hampir terisi penuh oleh penyewa kamar, karena mungkin kost ini dekat dengan tempat kerja. Saat Gladys berjalan menaiki tangga, ia dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang sangat familiar sedang bergelayut mesra dengan seorang pria. "Bibi Kemala?" gumam Gladys, segera bersembunyi dibalik tembok. Melihat Bibi Kemala bersama seorang pria paruh baya memasuki kamar kost. Gladys tidak tahu siapa, keduanya tampak sangat dekat. Sebenarnya ada hubungan apa mereka berdua? "Bibi sedang bersama siapa? Mungkinkah pria itu kekasihnya?" Rasanya tidak etis saja. Bagi pria dan wanita yang belum menikah memasuki ruangan tertutup, apalagi Gladys sempat melihat kedekatan keduanya begitu intim. Sebelum kehadirannya diketahui, gegas Gladys masuk ke dalam kamar kost. Takut Bibi Kemala tahu dan merampas uang hasil j
Sembari menemani ayahnya yang sudah bisa dibawa pulang. Arnesh gelisah dengan pikiran gamang. Dia sangat gundah, karena belum mendapatkan kabar dari anak buahnya yang ia perintah untuk mencari Gladys. Kedua orang tuanya akan tinggal di sini, agar Arnesh bisa memeriksa keadaan ayahnya jika ada sesuatu. Mama Linda malah khawatir, Livya tidak pulang ke rumah. "Arnesh, kamu itu gimana sih jadi suami. Istri nggak pulang, bukannya dicari kamu malah santai di sini!" omel Mama Linda, melirik ke arah Arnesh yang langsung memutar bola mata malas. Dibanding dengan Livya, Arnesh lebih khawatir soal Gladys. Mungkin karena rasa tak menentu itu hadir di hatinya. "Ya terus harus ngapain? Udah aku hubungin ponselnya nggak aktif, Ma. Lagi shopping paling," timpal Arnesh, meredam kesal. Wajar Mama Linda sangat khawatir. Apalagi Livya pergi usai mendengar pembicaraannya dengan Arnesh, dia juga sedang hamil muda. Mama Linda hanya takut, terjadi sesuatu dengan sang menantu di luar sana. "Inisiatif do
Livya jadi beringas mendengar hal yang ditawarkan oleh sang suami. Setelah sekian lama menanti, akhirnya Arnesh menginginkan dengan sendirinya. Tentu Livya tak bisa menolak. "Mas yakin? Aku ... takut kalau Mas akan kasar padaku, takut terjadi sesuatu pada anak kita nantinya," ujar Livya. "Tenang, aku juga masih punya pikiran. Nggak mungkin melakukan seks kasar saat kehamilan, aku ingin menjenguk anakku," balas Arnesh. "Ba-baiklah, Mas. Aku akan melayanimu malam ini." "Aku mulai, ya." Dia mulai mengangguk malu-malu, karena Arnesh pertama kali menatap dengan begitu lekat. Arnesh menilik wajah Livya, wanita yang sudah menemani dan bakalan memberikan penerusnya. Mungkin, dia memang harus belajar menerima keberadaan Livya. Siapa tahu dengan cara ini, dia bisa sedikit lupa soal Gladys. Wanita yang belakangan ini berhasil membuat pikirannya terusik. "Papa akan menjengukmu, Sayang," bisik Arnesh, mengecup perut Livya yang hanya mengenakan dalaman saja setelah pakaiannya ditanggalkan.