Tangan kekar milik Damian meluncur mulus di atas paha sang istri dengan mata menatap dengan lekat wajah Indi. “Katakan dengan jujur. Kamu … sering bermain dengan mulutmu yang seksi ini?” tanyanya sembari mengusapi bibir itu.
“Mau ngapain lo? Nyuruh gue lakuin hal itu di sini?” tanya Indi kemudian.Damian mengangguk seraya menatap Indi. “Ya. Lakukan sekaraang juga!” titahnya seraya membuak celana pendek yang ia kenakan itu.Pusaka itu sudah berdiri tegak menantang Indi yang langsung terpusat padanya.“Lakukan atau aku akan mengurungmu!” ancamnya sungguh-sungguh.Indi berdecak pelan seraya menatap malas pada suaminya itu.“Kenapa? Pasti sudah biasa kan, melakukan itu? Kenapa dengan suamimu sendiri tidak mau?”“Bukan nggak mau, Damian. Ini di pesaw—““I don’t care! Bahkan, kalau kamu mau, di tempat umum aku tidak peduli! Agar semua orang tahu kalau kamu adalah milikku!”Indi tersenyum miring mendengarnya. “Gilak! Elo gila, Damian.”“Karena kamu lebih gila dariku. Jangan banyak alasan. Lakukan sekarang atau kamu akan jadi ibu rumah tangga selamanya!”“Bentar! Ngumpulin nafsunya dulu.”Damian lantas meraup bibir perempuan itu dengan penuh. Tangannya merobek paksa dress yang dikenakan oleh istrinya itu. Menyelinap masuk ke dalam sana dan menilin pucuk merah muda itu dengan hawa nafsu dalam dirinya yang sudah mulai memuncak.“Arrghh … Damian!” pekik Indi sudah mulai terangsang.Damian menarik tangannya. Mata indahnya itu menatap Indi dan menganggukkan kepalanya. Memerintahkan perempuan itu agar melakukannya sekarang juga.Tangan Indi sudah memegangnya. Lalu menunduk dan memulai aksinya. Ia yang sudah lihai itu lantas tak perlu diarahkan. Bergerak maju-mundur bermain dengan riang dengan pusaka luar biasa milik sang suami.Sementara tangan Damian memegang ujung kursi seraya menahan gairah nikmat yang tengah ia rasakan. Mulut Indi bermain dengan sempurna di bawah sana hingga membuat Damian mengerang tak karuan.“Ough! Indi …,” raung Damian menahanb semua gairah yang sedang merajang dirinya.Mata itu menatap pada Damian yang tengah mengerang seraya menjambak rambut panjang berwarna pirang milik Indi. Kemudian melepaskan pusaka itu dari mulutnya seraya mengatur napasnya yang tersengal.“Sekarang janji sama gue. Jangan halangi gue untuk melakukan apa pun terma—““Asal jangan merokok apalagi mabuk. Kamu lagi program hamil.”“No! Tunggu sampai gue cinta sama elo. Gue nggak mau hamil dulu. Mimpi gue untuk jadi desainer terkenal se-Indonesia aja belum selesai. Masa iya harus punya anak. No way!”Damian menarik wajah perempuan itu kemudian menatapnya dengan amat sangat lekat. “Yakin, karena mimpi kamu? Bukan karena menunggu mantan kekasih kamu itu?” tanyanya dengan tatapan lekatnya.“Ckk! Ngapain gue nunggu orang yang udah nikah, Damian?! Nggak usah bikin mood gue buruk deh!” Indi rupanya tidak ingin membahas Rangga yang sudah meninggalkannya itu.Damian menghela napas kasar kemudian menarik tangan Indi. Mendudukkan tubuh mungil itu di atas pahanya. “Permainan kita belum selesai, Indi!” bisik Damian kemudian mengarahkan miliknya dan masuk pada milik Indi.“Oughh …!” raung Indi seraya mengikuti alunan tempo permainan yang dimainkan Damian.Mata itu menatap Damian penuh. “Seminggu aja oke?”Damian menggeleng pelan. Lalu beranjak dari duduknya dan membalikkan tubuh Indi dan ia beranjak dari duduknya. Bermain kembali dengan posisi yang baru.“Jangan mimpi!” ucap Damian dengan suara paruanya. Lajunya semakin tak terkendali, tangannya meraup buah dada yang bergelayangan seolah diminta untuk ia raih.Diremasnya dengan gemas hingga membuat Indi memekik tak karuan akibat ulah yang dilakukan oleh Damian kepadanya.“Damian … you so … damn!, Damian, ouughh!” pekik Indi meraung-raung. “Arrgghh … ough!” Indi sudah tak karuan. Raungan serta desahan sarat terdengar begitu nyaring.Ia kemudian menolehkan kepalanya kepada Damian yang masih memaju mundurkan tubuhnya di belakang sana. Benar-benar tidak peduli di mana kini mereka berada.Hampir satu jam lamanya mereka bercinta. Damian sudah masuk di puncaknya. Temponya semakin cepat hingga membuat Indi semakin memekik dengan suara yang cukup nyaring dan berisik.“Memang pada dasarnya Indi berisik. Harap maklum saja,” ucap Damian kemudian melepaskan pedang pusaka itu dari dalam sana.Napasnya terengah-engah kemudian duduk kembali. Mengambil tissue dan membersihkannya menggunakan tissue tersebut. Pun dengan Indi yang tampak berantakan karena ulah suaminya itu.“Puas, lo?!” seru Indi masih saja kesal kepada suaminya.Damian menyungging senyum tipis. “Sangat puas. Lanjut lagi di sana. Kita bisa melakukanya kapan pun dan di mana pun. Karena villa di sana hanya ada satu. Mau telanjang setiap hari pun tidak akan ada yang melihatnya.”Indi mengibaskan tangannya. “Menikmati pemandangan di sana jauh lebih baik daripada harus melayani elo selama dua puluh empat jam. Bisa-bisa punya gue melebar karena elo masukin terus, Damian.”Pria itu lantas terkekeh mendengarnya. “Tidak akan seharian penuh. Aku pun bisa pingsan kalau dua puluh empat jam menghajar kamu, Indi. Ya! Enjoy di sana. Jangan lupa bahagia dan belajarlah mencintaiku,” ucapnya sembari menatap sang istri dengan tatapan penuh arti.Indi terdiam. Hanya bisa diam karena memang pada dasarnya ia tidak tahu harus jawab apa sementara pernikahan ini bukan atas kemauan dia, melainkan paksaan dari sang papa yang ingin melihat anak satu-satunya itu menikah dengan pria yang menurut Wijaya baik untuk Indi.“Kalau tidak bisa sekarang juga tidak masalah. Pelan-pelan saja, Indi. Aku akan menunggunya, jangan khawatir.”Indi menoleh ke arah suaminya itu. “Nunggu apaan? Nunggu gue cinta sama elo?”Damian mengangguk. “Belajar untuk menggunakan aku kamu ya, Indi. Agar lebih enak didengarnya. Sama Rangga dulu manggilnya aku kamu, kan?”“Iya, iyaa. Entar dicoba.”Damian mengulas senyumnya kemudian mengusap pucuk kepala perempuan itu. “Thank you!” ucapnya dengan suara yang sangat lembut.Indi menyunggingkan senyum. Lalu menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Damian. “Baju gue robek, Damian. Ambilin baju gue, cepetan!”Indi baru sadar kalau dia masih dalam keadaan polos karena ulah Damian yang merobek bajunya dan tentunya tidak dapat digunakan lagi.“Padahal, untuk apa mengenakan baju. Nggak lama juga aku minta jatah lagi,” ucapnya sembari memberikan lingerie tipis kepada Indi.“Damian … shiitt!”Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah pulau terpencil yang ada di Chicago, Amerika Serikat. Yang mana hanya ada satu villa di sana sesuai dengan yang disebutkan oleh Damian kepada Indi. Hanya ada mereka berdua di sana dan bisa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Indi geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan indah yang ada di depan matanya itu. “Damn! So beautiful,” ucapnya memuji kecantikan pemandangan di sana. Damian tersenyum mendengar ucapan dari istrinya itu. “Aku senang, setidaknya kamu tidak kecewa karena mengagumi keindahan di sini. Semoga betah, Indi.”Perempuan itu lantas membalikkan tubuhnya kemudian melipat tangan di dadanya, menatap datar wajah Damian yang tengah berdiri tepat di depannya. “Ya. Harus kasih poin plus setidaknya gue nggak kabur dari sini kalau pemandangannya membosankan,” ucap Indi kepada sang suami. Damian mengulas senyum tipis. “Enjoy, Indi. Jangan minta yang aneh-aneh karena di sini tidak ada mall atau apa pun itu.”“Lalu, kalau lapar g
“Ada apa, Indi?” tanya Damian dengan suara lembutnya. Mata penuh gairah itu menatap Indi yang tengah mengatur napasnya. Indi menggelengkan kepalanya. “Nothing,” ucapnya parau. Seolah tengah menutupi gairah yang telah hadir dalam dirinya. Damian kemudian menyunggingkan senyum. “Enjoy!” ucapnya lalu menarik tubuh Indi dan meraup dua gundukan kenyal yang sedari tadi ingin dipuaskan. Spontan, perempuan itu membusungkan dadanya. Kepalanya terangkat ke atas dengan tangan meremas rambut hitam nan lebat milik sang suami. Tidak kuasa menahan gejolak gairah yang sudah hadir di dalam dirinya atas permainan luar biasa yang dilakukan oleh Damian kepadanya. “Arggh … Damian!” pekik Indi tak kuasa menahan segala permainan yang dilakukan oleh Damian kepadanya. “You so … arrgghh!” pekiknya lagi.Bukan Indi namanya kalau tidak berisik dan melontarkan kata-kata luar biasa yang dikeluarkan olehnya kala bercinta. Selalu begitu dan Damian sudah sangat hafal dengan istrinya itu. Dan tentunya Damian sanga
Dengan langkah santainya Indi keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Indi?” panggil Damian dengan suara menekan. Matanya menatap tajam wajah istrinya itu lalu menghela napasnya dengan panjang.“Heung?” ucapnya datar tanpa menatap lelaki itu. "Kenapa muka elo kusut kayak gitu?" tanyanya merasakan keanehan pada raut wajah Damian kala menatapnya.“Apa maksud kamu meminum pil kontrasepsi?” tanya Damian meminta penjelasan Indi. "Kenapa kamu menunda kehamilan, Indi? Apa yang membuat kamu menjaganya, huh?"Perempuan itu lantas menghentikan acara mengeringkan rambutnya itu. Lalu menatap Damian yang tengah memegang pil tersebut. Ia pun menghampiri sang suami dan mengambil pil tersebut. Akan tetapi, begitu kuatnya Damian memegang pil tersebut, lantas tidak bisa diambil begitu saja. “Mau elo apakan pil KB gue, Damian? Nggak usah nanya kenapa gue pakai pil KB. Elo udah tahu jawabannya dan nggak perlu gue jelasin!” ucapnya menantang. Damian menghela napasnya. Men
Belum mendengar jawaban dari Damian, perempuan itu kemudian menggeser tombol hijau untuk mencari jawaban siapa perempuan yang menghubungi suaminya itu. “Indi … a—aku bisa jelasin.” Indi menahan tangan Damian yang hendak mencegah Indi menerima panggilan tersebut. “Damian … kamu di mana? Kenapa nomor kamu baru aktif dan … dan kenapa kamu menghilang gitu aja?” tanyanya dengan lemas bahkan bisa dibilang hendak menangis. Indi kemudian menyalakan loudspeaker agar Damian mendengar semua ucapan yang diucapkan oleh Cindy di dalam panggilan tersebut. “Damian ….” Cindy menghela napasnya dengan pelan. “Aku tahu, aku salah. Tapi, nggak seharusnya kamu pergi gitu aja dan nggak mau maafin aku. Aku janji, nggak akan mengulangi hal itu lagi. Aku janji, Damian,” ucapnya lirih—memohon agar Damian mau memaafkan entah salah apa perempuan itu hingga memohon agar dimaafkan oleh Damian. “Kamu ke mana? Sudah tiga hari ini kamu tidak masuk kantor. Aku tanya ke sekretaris kamu, katanya kamu lagi cuti meni
“Perjanjian apa yang kamu inginkan?” tanya Damian ingin tahu. Sembari melipat tangan di dadanya, Indi menatap Damian dengan tatapan dalam. “Gue mau … elo bebasin gue mau ke mana pun gue pergi, jangan pernah dihalangi. Elo percaya kan, sama gue? Maka dari itu, jangan halangi kemauan gue apa pun yang gue ingin lakukan!” Indi memberi tahu apa yang ingin dia lakukan. Perjanjian yang dibuat dengan Damian setelah ada perempuan yang masih belum tahu siapa perempuan itu. “Indi. Itu bukan perjanjian, tapi meminta aku untuk membebaskan kamu. No! Aku nggak akan membiarkan kamu menuruti kemauan kamu yang ingin bebas apalagi hura-hura sama teman-teman kamu itu. Aku tidak akan mengizinkannya, titik!” Damian menolak permintaan Indi. Mana mungkin dia mau menuruti keinginan perempuan itu sementara niatnya menikahi Indi karena Wijaya yang meminta agar menjaga Indi. Jangan sampai perempuan itu kembali seperti saat masih belum menikah dulu. “Kenapa nggak mau? Belum tentu itu cewek nggak bakalan hubu
“Oke! Kalau begitu jangan halangi gue untuk menjaga kehamilan. Tunggu sampai satu tahun, sampai usia gue genap dua puluh enam tahun.” Indi menyunggingkan senyum menyeringai kemudian menjentikan jarinya tepat di depan wajah Damian. Sementara Damian menghela napas kasar seraya geleng-geleng kepala melihat raut wajah Indi yang begitu bahagia karena sudah diberikan izin untuk menjaga kehamilannya sampai satu tahun ke depan. “Tapi, elo nggak boleh kasih tahu ini ke bokap kita. Bilang aja kalau belum dikasih. Mereka tuh cowok, nggak terlalu berisik masalah cucu. Nggak kayak cewek.” Indi kembali berucap sembari menyantap nasi dan sosis yang masih tersisa itu. “Nyokap elo ke mana?” tanya Indi kemudian. Setelah tiga hari menikah, ia baru menanyakan keberadaan mama Damian. Pria itu menghela napas pelan. “Eeeumm … entah. Aku nggak tahu dia ada di mana sekarang. Selama sepuluh tahun terakhir ini aku nggak pernah ketemu sama Mama lagi. Mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. Aku dengar,
Indi tersenyum hampa saat mendengar pengakuan Damian tentang siapa perempuan yang selama ini selalu menghubunginya. “Oh! Hubungan kalian sangat dekat pada jamannya. Kenapa jadi mantan?” tanya Indi ingin tahu lebih detail tentang perempuan yang sudah menganggu pikirannya itu. “Karena aku tidak ingin hubungan ini terlalu jauh dan akhirnya mengakibatkan perjodohan yang dilakukan Papa malah jadi batal. Aku nggak mau mengecewakan Papa dan akhirnya aku memutuskan untuk mengganti Cindy dengan sekretaris baru.”“Dan elo yakin, sekretaris baru ini nggak naksir juga ke elo?” tanya Indi kepada Damian. “Nggak mikir jauh ke arah sana. Elo hanya mengganti yang baru dan nggak bisa menghapus perasaan mereka. Yang ada, orang yang jatuh cinta ke elo jadinya ada dua. Sekretaris baru elo sama mantan sekretaris elo!” Indi memutar bola matanya sebab kesal pada keputusan Damian yang memilih untuk mengganti sekretaris hanya karena tidak ingin membatalkan perjodohan yang dilakukan oleh sang papa. “Kalau u
Satu minggu berlalu …. Sudah satu minggu itu pula mereka berada di pulau pribadi yang ada di Chicago, Amerika Serikat. Menikmati bulan madu hanya berdua di sana, tidak ada yang mengganggu satu pun. Di depan villa, Indi tengah asyik berjemur sembari memandang sang suami yang tengah asyik berenang di pantai. “Udah seminggu aja, gue di sini. Dan kerjaan gue di sini cuma melayani suami, berenang, lihat sunset, bantuin Damian masak. Bener-bener udah jadi ibu rumah tangga alias istri idaman rupanya gue.” Indi berucap pada dirinya sendiri kemudian mengembungkan pipinya. “Bakar seafood entar malam enak kayaknya. Ditambah minumnya vodka atau wine tahun 1990. Damian juga suka kalau wine mah. Nggak suka beer doang. Wajar, orang kaya.” Indi menyunggingkan senyumnya seraya mengkhayal bisa minum alkohol di malam nanti. Dering ponselnya berbunyi. Ia kemudian menolehkan kepalanya ke arah ponselnya. “Si kampret baru nelepon,” ucapnya kepada sang sahabat yang baru menghubunginya. “Indiraaaa! Kapa