“Kamu sendiri menginap di mana?”Kaisar dan Embun sedang berjalan kaki berdua menuju tempat penginapan Embun saat wanita berambut sebahu itu bertanya pada sang suami. Sebelumnya, Kaisar menawarkan untuk mengantar Embun kembali ke penginapan–yang mana tidak dapat ditolak Embun.Lagi pula, memangnya Embun bisa menolak dengan alasan apa?“Barang-barangku masih di dalam mobil.” Kaisar justru mengatakan itu sebagai jawaban.Embun terkejut. Ia menoleh pada pria yang sedang berjalan di sebelahnya. “Jadi kamu belum memesan kamar atau penginapan?” tanyanya lagi.“Aku tadi langsung ke tempatmu.”Helaan napas keluar dari bibir Embun.“Ya sudah,” ucap wanita itu kemudian. “Nanti pesan kamar di penginapanku sekalian saja. Mobil kamu di mana, Kaisar?”“Ada di parkiran utama.”“Kalau begitu, kita ke sana dulu, baru ke penginapan. Ya?”Kaisar menggangguk. Ia menuruti semua usul Embun. Dengan sengaja, tentunya.Di samping itu, pria ini bersyukur karena ia telah memarkir mobilnya di parkiran utama tadi
“Kaisar …? Ada apa?”Suara Embun menyadarkan Kaisar dari lamunannya. Pria itu menyadari kebingungan di wajah Embun dan tiba-tiba saja merasa malu akan pemikirannya barusan.Bagaimana bisa Kaisar justru teringat akan kejadian malam itu di momen seperti ini?Suami Embun tersebut berdeham. “Tidak apa-apa. Hanya teringat sesuatu,” ucapnya.“O … ke?” Embun masih tampak bingung, tapi tidak bertanya lebih lanjut. “Oke. Kembali sekarang?”Kiasar mengangguk, meski otaknya masih memproses alasan kenapa tiba-tiba ia teringat pada momen itu.Saat itu dia panik, ya. Ia peduli pada Embun. Namun, jika bukan–Jika Kaisar tidak mencintai Embun, ia pasti tidak akan melakukannya. Dan tidak akan membekas seperti ini. Benar begitu, bukan?Rasanya Kaisar sudah bisa mengakui perasaannya pada dirinya sendiri sekarang.Namun, bagaimana dengan Embun?“Oh ya, melanjutkan obrolan tadi,” kata Embun, kembali menarik perhatian Kaisar kepadanya. “Soal anak-anak. Kamu juga bisa mengobrol. Aku lihat kamu dan Giselle
“Bagaimana dengan barang-barangmu? Mau kubantu mengemas?”Embun terdiam. Otaknya tidak bisa berpikir cepat. Baru setelah beberapa detik terlewat, ia bergumam, “Nanti kukemas dulu.”Mendengar itu, Kaisar mengangguk dan menjinjing kembali tas bepergiannya. Pria itu kemudian meminta staf mengantarkan mereka ke kamar yang tadi ditawarkan.“Aku harus mengambil barang dulu,” bisik Embun pada Kaisar. “Setelah ini saja kutemani.” Kaisar membalas. “Cuma sebentar saja.”Kaisar menghela napas. “Baiklah.”Namun, di luar dugaan Embun, alih-alih meninggalkan Embun untuk mengambil barangnya sendiri, Kaisar justru mengatakan pada staf kalau ia berniat mengambil barang sang istri terlebih dahulu di kamar yang lama.Padahal Embun bisa sendiri. Dan ingin sendiri, dengan pikirannya yang macam-macam sekaligus membuatnya tersipu senantiasa tanpa aba-aba tersebut.“Tunggu di sini saja,” ucap Embun di depan kamar lamanya. “Aku tidak akan lama, hanya mengambil barang. Lagi pula, Gina pasti di dalam.”Kaisar
“Ada apa, Embun?”Embun tidak langsung menjawab. Ia kembali termenung, berpikir bahwa ini pertama kalinya ia dan Kaisar berada di dalam satu kamar yang sama. Bukan hanya kamar yang sama, tapi juga tempat tidur yang sama. “Embun?” Dengan hati-hati, Kaisar menyentuh bahu Embun.Wanita itu berkedip sekali, dan tersadar. “Uh, tempat tidurnya hanya satu,” ucapnya pelan, nyaris pada diri sendiri.Kaisar mengangguk. “Iya. Mereka sudah bilang kalau kamar ini menggunakan king bed, kan?”Embun terdiam lagi. Ia tidak dengar bagian ini, tapi setelah diingat-ingat lagi, karyawan di meja penerimaan mengatakan kalau memang kamar ini cocok untuk pasangan suami istri baru yang ingin bulan madu, bukan?“Ya, memang kami pasangan suami istri baru, tapi tidak sedang ingin bulan madu!” omel Embun dalam hati.Ia memang sudah menikah. Pun, sudah melakukan hubungan suami istri, meskipun Embun sama sekali tidak bisa mengingat satu memori pun dari sana. Embun juga paham kalau ia memiliki tugas sebagai istri s
“Bagaimana kalau–”Ketukan pintu membuat ucapan Embun terhenti. Otomatis perhatian sepasang suami istri tersebut terarah ke arah pintu.Kaisar bergegas ke arah pintu dan membukanya, menampilkan sosok Gina yang tengah menenteng satu tas kecil berwarna gelap.“Malam, Kak.” Gina menyapa Kaisar dengan senyum. “Mau mengantarkan barang Kak Embun yang tertinggal. Semoga tidak mengganggu ya.”“Barangku?” Embun menghampiri pintu dan berdiri di samping Kaisar. Gina mengangguk dan menyodorkan tas di tangannya pada Embun, meskipun matanya tidak lepas dari Kaisar.Gadis itu seperti pernah melihat Kaisar, entah di mana. Karena itu, saat ini ia berada di sini untuk memastikan.“... Kak Embun,” bisik Gina pelan. “Suaminya kerja di mana? Kok kayak pernah ketemu.”Alis Embun terangkat satu. Rasanya, ia tidak mengerti maksud Gina bersikap seperti ini. Benarkah hanya rasa penasaran semata, atau memang gadis muda itu sedang mencari perhatian.“Bukankah kamu teman sekamar Embun?” ucap Kaisar saat Embun tid
“Selamat tidur, Embun.” Kalimat itu menjadi hal terakhir yang didengar Embun sebelum ia terlelap hingga keesokan harinya. Tampaknya, setelah hari yang panjang dan jalan-jalan keliling area peternakan bersama Giselle tadi, tubuh Embun menjadi lebih lelah daripada biasanya.Hampir pukul delapan keesokan paginya, Embun baru terbangun. Sepertinya alarm yang Embun pasang tidak berbunyi, karena Embun sama sekali tidak mendengar apa pun dari ponselnya.“Atau jangan-jangan alarmnya sudah berbunyi dan tanpa sadar aku matikan?/” gumam Embun dalam hati. Detik berikutnya, ia teringat satu hal. “Atau, justru Kaisar yang mematikan!?”Wanita itu menoleh ke tempat tidur lipat yang kemarin ada di sebelah ranjang utama. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan, tempat tidur lipatnya sendiri pun tidak ada.Namun, kemarin jelas-jelas Embun tidak bermimpi, bukan? Kaisar benar-benar datang ke sini dan bermalam bersamanya?Ah, yang jelas, Embun harus bergegas sekarang! Ia ada jadwal mengajar dalam sepuluh menit
“Selamat pagi, Bu Embun, Pak Kaisar.”“Selamat pagi,” balas Embun, nyaris bersamaan dengan Kaisar saat mendengar menerima sapaan dari pegawai restoran tersebut. Sosok itu kemudian mencoret nomor kamar Kaisar di daftar sebelum kembali tersenyum pada sepasang suami istri di hadapan.“Silakan mengambil sarapan sesuai selera, Pak, Bu,” ucap pegawai tersebut. “Masih ada banyak menu yang tersaji di meja.”Embun tersenyum. “Terima kasih,” jawabnya. Ia mengalihkan perhatian di meja buffet yang menyajikan sederet menu sarapan, mulai dari gaya barat dengan roti, sereal, telur, dan sebagainya, hingga menu Indonesia berupa nasi goreng, bakmi, dan masih banyak lagi. Tak lupa mereka juga menyajikan berbagai olahan susu–baik dalam bentuk kue, lauk, maupun minuman. Embun juga melihat banyak buah tersaji di meja.Kaisar mengangsurkan sebuah piring pada Embun sebelum ia mengambil satu untuk dirinya sendiri.“Kamu mau makan apa?” tanya Embun, saat Kaisar tidak kunjung beranjak dari tempatnya. “Sereal
“Adikmu itu sudah seperti benalu di sini. Harusnya dia tahu diri!” Embun baru saja hendak mengucap pamit berangkat kerja saat dia mendengar suara omelan ibu mertua kakak semata wayangnya dari dalam rumah. Gadis cantik bermata coklat tersebut pun terdiam di tempat dan menguping percakapan di dalam dapur itu. “Numpang di rumah orang kok keterusan. Dia kan sudah bekerja, seharusnya secara finansial sudah bisa mandiri. Suruh dia cari tempat kos atau kontrakan kek. Bukan tinggal terus-menerus di rumah anakku ini!” Lagi-lagi suara ibu mertua sang kakak kembali mengudara. “Bu, Embun adik Rindang satu-satunya. Hanya dia keluarga Rindang yang tersisa.” Kali ini Embun mendengar suara kakak perempuannya, Rindang, berujar dengan sabar. “Anak perempuan tinggal di luar sendirian bahaya, Bu.” “Tapi bukan berarti dia bisa seenaknya tinggal di sini, dong! Ibu nggak mau tahu, suruh dia secepatnya keluar dari rumah ini.” “Tapi, Bu ….” “Tidak ada tapi-tapian ya, Rindang. Kamu yang ngomong ke ad