Aquila baru teringat sesuatu.
Status kebangsawanan dibagi menjadi beberapa tingkat. Tingkat tertinggi adalah status bangsawan keluarganya, yakni seorang Duke. Sedangkan status bangsawan terendah adalah milik keluarga Zeline, yakni Baron.
Mungkin hal itu pula yang menjadi pemicu Aquila yang dulu bertingkah semena-mena terhadap Zeline. Serta hal itu pula yang membuat Aquila merasa harga dirinya begitu terluka saat putra mahkota lebih memilih Zeline dibanding dirinya.
Kalau dipikir-pikir, dosa serta tindakan jahat yang dilakukan Aquila yang dulu terhadap Zeline sudah terlalu banyak. Dulu, Aquila selalu berusaha membuat Zeline celaka di setiap kesempatan yang ada.
Sialnya, Aquila yang sekarang lah yang harus menanggung konsekuensi dari kejahatan Aquila di novel.
Maka dari itu. Saat ini Aquila berinisiatif untuk mengibarkan bendera damai. Ia berniat untuk berdamai dengan tulus, ia juga sudah menyiapkan sekotak hadiah untuk Zeline. Semoga saja Zeline suka dengan hadiah pemberiannya.
"Nona, kita sudah sampai." Ahn berujar. Ia turun terlebih dahulu dari kereta kuda yang sedari tadi membawa mereka ke kediaman Baron Aideos.
Aquila mengangguk, ia mengikuti langkah kaki pelayannya yang sedang memegangi hadiah untuk Zeline.
Sampai di gerbang, mereka langsung disambut dengan seorang kepala pelayan yang langsung menunduk hormat kepada Aquila.
"Salam hormat dari saya kepada Nona Charles." Kepala pelayan itu menunduk. "Saya akan mengantar anda ke dalam."
Aquila hanya mengangguk. Diikuti oleh Ahn, kini mereka berdua berjalan mengikuti kepala pelayan itu masuk ke dalam.
Aquila mengedarkan pandangannya. Kediaman Zeline terlihat lebih sederhana dibanding kediamannya. Tapi tetap saja, untuk ukuran manusia modern, tempat tinggal Zeline ini jauh lebih besar dan mewah dibanding rumah di kehidupannya dulu.
"Nona Charles, salam hormat." Zeline, yang sudah sedari tadi menunggu Aquila langsung memberi hormat ketika Aquila sampai.
Aquila hanya mengangguk dan tersenyum.
"Anda sudah menerima surat yang sebelumnya saya berikan, bukan?" Aquila bertanya.
Zeline langsung mengangguk. "Iya, nona, katanya ada hal yang ingin anda bicarakan?"
Kali ini Aquila yang mengangguk.
Suasana canggung melanda beberapa saat, sampai akhirnya Zeline berdeham dan mempersilahkan Aquila untuk duduk.
Aquila menatap Zeline dari ujung kaki hingga kepala. Zeline terlihat begitu manis meskipun memakai gaun yang terlihat sederhana.
Memang benar, ya, pesona peran utama itu tidak ada tandingannya?
Bukannya Aquila tidak cantik. Hanya saja, pesonanya benar-benar terlihat seperti 'antagonis' jika dibandingkan dengan Zeline. Apalagi dengan bola mata merahnya serta tatapan sinisnya.
Entah apa yang ada dipikiran sang author saat ia menciptakan kedua tokoh tersebut.
"Nona, sebenarnya saya sangat merasa senang karena belakangan ini nona mulai bersikap hangat terhadap saya." Zeline membuka pembicaraan. "Saya sejak dulu sudah merasa kagum dengan anda dan ingin menjadi lebih dekat dengan anda."
"Kau kagum denganku?" Aquila bertanya tak percaya. Persis dengan yang dideskripsikan dalam novel, Zeline benar-benar baik dan berhati tulus! Bagaimana mungkin ia bisa merasa kagum kepada orang yang selalu berusaha mencelakainya?
"Apa yang membuatmu kagum kepadaku?" Aquila bertanya heran, ia bahkan hampir melupakan tujuan utamanya mengunjungi Zeline. Karena seingat Aquila, ia tak memiliki bakat apa-apa, makanya ia merasa begitu penasaran saat Zeline bilang kalau ia mengagumi dirinya.
"Nona kan sangat cantik!" Balas Zeline dengan mata berbinar. "Selain itu, nona juga sangat pemberani! Nona tegas dalam mengambil keputusan, nona tidak peduli dengan konsekuensi atau bahaya yang ada di depan sana, karena, selama itu keinginan nona, nona akan mewujudkannya."
Eh? Itu alasannya?
Ya, memang benar, Aquila yang di novel memiliki sifat yang tadi disebutkan Zeline. Tapi Aquila yang sekarang berbeda, Aquila yang sekarang sering merasa tidak enakan terhadap orang lain— sungguh sifat yang merugikan. Aquila juga seringkali takut menyuarakan pendapatnya jika itu berseberangan dengan banyak orang.
"Tidak hanya itu." Zeline melanjutkan, "aku juga kagum dengan sifat pantang menyerah yang nona miliki. Meskipun seringkali gagal, nona tetap mencoba dan mencoba lagi! Aku sungguh merasa terinspirasi."
Aquila menggaruk tengkuknya, ia tersenyum seperti orang bodoh. "Kau membuatku malu, terima kasih atas pujiannya, nona Zeline." Jujur saja, Aquila merasa senang atas ketulusan hati sang peran utama. Zeline benar-benar yang terbaik!
"Oh iya!" Aquila bergumam, ia baru teringat tujuannya ke sini saat Ahn menyenggol lengannya.
"Aku membawakan beberapa hadiah untuk nona." Aquila menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Zeline.
"Ini untuk saya?" Zeline bertanya tak percaya, "saya sungguh merasa senang! Kedepannya, saya juga pasti akan membalas ketulusan hati anda."
Aquila turut senang dengan respon Zeline, ia tak dapat menyembunyikan senyumannya!
"Saya senang anda menyukainya." Ujar Aquila.
"Boleh saya membukanya?" Zeline bertanya dengan antusias. Setelah dibalas anggukan oleh Aquila, Zeline langsung membuka kotak itu.
"Woah!" Zeline berseru kagum, matanya berbinar, ia menatap hadiah itu dengan rasa kagum.
"Ini kalung permata yang sangat langka, dibuat oleh seniman andal yang katanya sudah tidak ada yang tahu dimana keberadaannya sekarang." Aquila menjelaskan tentang kalung permata itu persis seperti narasi yang di buku.
"Bukan hanya itu saja, batu yang digunakan juga sangat langka. Hanya ada dua di dunia!" Aquila menjelaskan dengan semangat. Sebenarnya, ia sendiri tidak paham dimana letak istimewanya kalung itu, ia hanya menjelaskan persis seperti narasi di buku.
"Wah, jadi benda ini benar-benar berharga, ya?" Zeline berujar kagum, "pasti anda mendapatkan benda ini dengan bersusah payah, aku akan menjaganya baik-baik!"
Aquila nyengir. Lagi-lagi ia terlihat seperti orang bodoh berwajah antagonis. " Ya, sebenarnya aku tidak mencarinya. Tapi ada seseorang yang memberikannya padaku."
"Seseorang?"
"Iya..." Aquila menggaruk tengkuknya, "putra mahkota yang memberikannya padaku."
"Tapi itu sudah lama sekali, kok!" Aquila buru-buru menyangkal ucapannya. Ia sama sekali tak berniat membuat Zeline cemburu. "Ia memberikan padaku saat kita masih kecil, ada sepasang, yang satu lagi ada pada tangan Yang Mulia. Katanya, batu yang ada di kalung itu bisa menyembuhkan." Aquila lagi-lagi berusaha mengingat salah satu scene dalam novel saat Zero kecil memberikan kalung permata tersebut kepadanya.
"Kau tidak marah, 'kan, Zeline?" Aquila bertanya dengan perasaan khawatir.
Zeline menggeleng, ia tersenyum manis. "Tentu saja aku tidak marah."
Aquila mengembuskan napasnya, ia merasa lega. "Batu yang ada di kalung itu sepasang dengan batu yang ada pada cincin Yang Mulia." Aquila menjelaskan lagi. "Aku memberikannya kepada Zeline, karena menurutku kau sangat serasi dengan Yang Mulia!"
"Ah? Sungguh?" Zeline bertanya.
Aquila mengangguk antusias. Sebagai penggemar nomor satu pasangan Zeline dan Zero, tentu saja Aquila sangat merasa senang!
Berlayarlah kapal Zeline dan Zero!!!
"Nona, aku sungguh merasa berterima kasih!" Zeline berujar, "aku pasti akan membalas kemurahan hatimu!"
"Ah, tidak perlu begitu~" Aquila mengibaskan tangannya. "Sebenarnya hadiah itu merupakan bentuk permintaan maafku atas sikapku selama ini."
Aquila mendadak teringat, banyak sekali scene dalam buku saat ia berusaha mencelakai sang peran utama. Meskipun itu bukan Aquila yang melakukan, tetap saja ia merasa bersalah.
"Aku telah tersadar, sikapku selama ini terhadapmu begitu buruk." Aquila mulai mendramatisir keadaan, "aku sungguh merasa menyesal, maukah kau memaafkanku?"
Zeline terdiam sesaat. Seandainya Zeline tidak mau memaafkannya, Aquila rasa itu hal yang wajar mengingat kejahatan Aquila selama ini sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Zeline mengangguk. "Aku memaafkanmu."
Oh! Persis seperti dugaan! Zeline memang berhati malaikat.
"Yang Mulia putra mahkota juga pasti akan memaafkanmu." Lanjut Zeline lagi.
***
"AKU BARU INGAT!"
Seruan Aquila membuat Ahn tersentak, ia kebingungan dengan ekspresi majikannya itu.
"Ada apa, nona?" Ahn bertanya.
Aquila merutuki dirinya sendiri, ia merasa bodoh, "aku lupa memberikan karangan bunga ini untuk Zeline." Ujarnya saat melihat karangan bunga yang sejak kemarin disiapkan ternyata tertinggal di dalam kereta kuda.
Untungnya, kereta kuda masih belum berangkat, dan mereka masih berada di halaman tempat kediaman Baron Aideos.
"Aku akan kembali ke dalam." Aquila mengambil karangan bunga itu. "Ahn, kau tunggu disini saja, aku tidak akan lama." Aquila segera bergegas menuju ke dalam.
Karangan bunga ini, kemarin Aquila yang meminta Alaster untuk membuatnya— mengingat Aquila yang sekarang tidak memiliki selera yang bagus seperti bangsawan pada umumnya.
Awalnya Alaster langsung menolak mentah-mentah saat tahu buket tersebut akan diberikan untuk Zeline. Tapi, entah mengapa Alaster mendadak berubah pikiran.
"Itu dia," gumam Aquila pelan saat menangkap sosok Zeline dari kejauhan.
Zeline tidak sendiri, ia seperti sedang berbicara dengan seseorang yang mengenakan pita berwarna biru.
Tunggu? Pita biru?
Aquila ingat betul orang itu! Ia adalah orang yang kemarin menyebarkan rumor buruk tentang dirinya.
Tidak salah lagi! Dari struktur wajahnya serta postur tubuhnya pun sama persis.
Ada urusan apa figuran itu dengan Zeline?
"Ah, nona Aquila?!" Zeline terlonjak di tempatnya, ia tak menyangka Aquila akan kembali lagi. "Apa ada yang tertinggal, nona?"
Aquila mendadak merasa otaknya menjadi kosong. "Oh, aku..." Ia menyodorkan buket bunga itu. "Untukmu."
Zeline menerima buket bunga tersebut. "Te— terima kasih, nona," Zeline berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. "Mari, aku akan mengantarmu menuju gerbang."
Aquila mengangguk, ia berbalik, mengikuti langkah kaki Zeline yang seperti terburu-buru.
Sesekali, ia berusaha menoleh ke belakang, menatap figuran dengan pita biru itu.
Aquila yakin ia tidak salah liat.
Aquila bukannya ingin berprasangka buruk terhadap karakter kesukaannya. Tapi, Zeline tidak mungkin bekerja sama dengan figuran itu untuk menyebar rumor, 'kan?
Lalu...
Sebenarnya, sikap asli Zeline itu seperti apa?
***
Penulis gila mana yang menciptakan peran utama yang kebaikannya tidak masuk akal seperti Zeline serta antagonis tanpa hati nurani yang tak segan melakukan apapun seperti Aquila? Setidaknya itu yang ada dipikiran Alena sebelum mulai mendapatkan ingatan dari Aquila yang asli. Benar-benar. Mulai dari kenangan masa kecil, nama-nama juga wajah orang-orang disekitarnya, serta peristiwa-peristiwa yang lainnya. Ingatan Aquila dalam novel itu, diterimanya secara bertahap. 'Alena' kini paham tentang perasaan serta pola pikir milik 'Aquila yang ada di dalam novel.' Sejak kecil, Aquila sudah bersahabat dengan putra mahkota, ia juga seringkali berkorban dalam hal-hal tertentu demi putra mahkota. Sudah banyak sekali suka dan duka yang mereka lalui. Aquila mulai memiliki rasa suka kepada putra mahkota. Tapi itu bukan masalah, karena ia tahu kalau akhirnya ia akan menikah dengan sang putra mahkota. Sebab, hanya keluarganya lah yang paling setia dan mamp
"Nona! Kereta kuda kerajaan sedang menuju kesini!" Seruan Ahn membuat Aquila langsung mengalihkan perhatiannya. Cewek berambut pirang itu langsung mengikuti arah pandangan Ahn. Apa? Eh, Ada apa ini? Aquila langsung bangkit dari tempatnya, ia meninggalkan sepotong kue berperisa stroberi yang bahkan masih belum ia sentuh. Aquila berlari keluar menuju perkarangan rumahnya yang luas. Dan benar saja, begitu gerbang besar dibuka, datang sebuah kereta kuda kerajaan dengan lambang khas istana tertera di bagian depannya. Sebenarnya ada apa ini? Apakah Zero ke sini karena sedang ada urusan dengan Duke Charles? Tapi, ayah Aquila tersebut sedang tidak ada di kediaman ini. Atau mungkin Zero ada urusan dengan Alaster? "Adikku sayang~" Ah, Aquila mendadak merasa menyesal telah menyebut nama Alaster dalam hati, kakaknya itu, tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya. "Adikku, mengapa putra mahkota ke sini? Ap
Orang gila! Semua tokoh yang ada di dalam novel 'Cinta Sejati' adalah orang gila! Tidak ada satupun tokoh yang waras disini. Aquila jadi merasa, sebenarnya ia tidak terjebak di dalam dunia novel, melainkan ia terjebak di dalam perkumpulan orang yang tidak waras. Mulai dari peran utama laki-laki yang terlalu protektif terhadap pasangannya, lalu peran utama wanita yang terlalu baik hingga terasa tidak masuk akal. Lalu ada juga kakak si antagonis yang terlalu 'alay'. Ditambah lagi tokoh Grand Duke yang memiliki aura yang sangat menyeramkan. Bahkan tokoh antagonisnya sendiri 'Aquila yang ada di dalam novel' juga sungguh tidak masuk akal perilaku jahatnya, hingga terkesan kalau tokoh tersebut sama sekali tak memiliki sisi baik. Hanya Aquila yang waras disini. Entah apa yang ada di pikiran si pengarang novel 'Cinta Sejati' sehingga dapat menciptakan novel picisan dengan segelintir orang-orang tidak waras sebagai tokohnya.
Alken de Athanasius. Ia adalah seorang putra dari Raja dan selirnya. Rambut Alken berwarna putih karena keturunan dari sang ibu. Kulitnya yang putih pucat juga merupakan keturunan dari sang ibunda. Usia Alken hanya terpaut beberapa bulan lebih muda dari Zero, tapi kemampuannya sudah bisa menyetarai atau bahkan melebihi putra mahkota tersebut dalam beberapa hal. Alken sadar, posisinya dalam istana hanyalah seorang anak dari selir. Kedudukannya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan Zero yang seorang penerus resmi. Lagipula, Alken juga tidak berniat mengkudeta kekaisaran, ia hanya sengaja mempermainkan orang-orang disekitarnya. "Ah, kekasih dari kakakku sudah datang rupanya," Alken berkomentar saat Zeline telah sampai di lorong kerajaan. "Hormat saya, tuan," Zeline mengangguk sopan. Alken memperhatikan penampilan Zeline dari ujung kaki hingga kepala, "kakakku sedang tidak ada di sini. Ia sedang sibuk menguru
Malam nanti, pesta pengenalan calon putri mahkota akan diadakan. Segala keperluan untuk pesta nanti malam telah disiapkan. Saat ini, meskipun masih pagi hari, Aquila sudah sampai di kediaman istana. Sesuai prosedur yang ada di sana, putri mahkota yang terpilih akan memperkenalkan dirinya terhadap sang putra mahkota. Ya, ini hanyalah formalitas belaka. Aquila yang ditemani Alaster, melangkahkan kakinya menuju aula besar dimana Baginda kaisar sudah menunggu di singgasananya. "Hormat kami, Yang Mulia Kaisar." Baik Aquila dan Alaster, keduanya menundukkan badan. "Saya merasa terhormat bisa menemui anda secara langsung, Yang Mulia." Alaster berucap dengan senyum hangat. Entah ucapannya tulus atau sekadar pencitraan belaka. Kali ini, dari sisi yang berseberangan masuk seorang lelaki berambut cokelat sambil menggenggam tangan seorang perempuan di sebelahnya. Itu Zero dan Zeline, protagonis kesayangan kita. "Hormat ka
"Yang Mulia!" Zeline menghampiri kekasihnya yang sedang menyendiri di lorong atas, memperhatikan pesta dari kejauhan. Zero yang saat itu sedang meminum segelas wine-nya langsung beralih, menatap wajah Zeline. "Hai, Zeline," sapanya. Zeline tersenyum manis, biasanya, senyuman ini selalu sukses meluluhkan hati sang putra mahkota. "Anda tidak menikmati pestanya? Mengapa anda menyendiri di sini?" "Tidak, aku hanya sedang terpikirkan sesuatu." Zero kembali menatap kerumunan pesta. Sedari tadi, ada yang mengganjal di hati Zero. Yakni saat ia melihat saudaranya yang menyebalkan— Alken, sedang berdansa dengan teman masa kecilnya. Hal yang semakin mengganggu, saat Alken dan Aquila tertawa bersama-sama tatkala Aquila melakukan kesalahan dalam berdansa atau sesekali menginjak kaki Alken. Tidak. Zero yakin ini bukan perasaan cemburu. Ia hanya merasa aneh? Karena Aquila yang ia kenal sangat anti dengan cowok lain. Karena bagi Aquila,
Ahn bilang ini bukan pertemuan resmi. Jadi Aquila tidak perlu repot-repot menggunakan korset yang menyesakkan ataupun menggunakan gaun dan sepatu hak tinggi. Ia hanya menggunakan baju sederhana yang biasa digunakannya saat santai— meskipun masih berbentuk dress tapi tidak sekompleks dress yang digunakan untuk pertemuan resmi. Aquila menguap. Ini sudah malam tapi Zero mengajaknya bertemu? Anak itu tidak punya etika, ya? Ditambah lagi, Zero benar-benar tidak jelas. Ia hanya mengatakan 'bertemu di tempat biasa' Aquila bahkan tidak tahu di mana tempat biasa yang dimaksud Zero? Aquila sudah berusaha mengingat-ingat melalui memori dari Aquila yang dulu. Tempat itu terang, banyak ditanami bunga-bunga serta ada sebuah air mancur besar. Aquila menebak, sepertinya itu kebun kerajaan? Yang menjadi masalah. Aquila tidak tahu dimana letak kebun itu! Ia bahkan tidak hafal denah kerajaan ini! ISTANA INI TERLALU LUAS! "Sialan k
"Dulu kita selalu bersama, ya?" Zero menatap wajah Aquila, tangannya membelai rambut pirang teman masa kecilnya itu."Iya," Aquila menimpali. "Namun segalanya berubah saat Zeline datang." Ujarnya tanpa sadar....Tunggu.Seperti ada yang salah.EHHHH?!?!Mati! Aquila salah bicara.Bagaimana ini?!"Eh, tidak, maksudku," Aquila panik sendiri, Zero tidak akan marah, lalu mengeksekusinya karena ucapan Aquila tadi, 'kan? "Untung saja Zeline datang, jadi kau bisa bersama orang yang jauh lebih baik dariku."Aquila tersenyum kaku. Sejujurnya ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan.Zero tidak bereaksi apa-apa, ia hanya menatap lurus ke arah Aquila. Ekspresinya datar.Apa Aquila salah bicara lagi?"Maksudku, kau beruntung sekali bisa menemukan Zeline. Wanita itu begitu manis dan baik hati, 'kan?" Aquila mengangkat kedua jempolnya. "Tidak sepertiku yang berwajah antagonis, kau jauh