Namika tidak pernah ingat suasana yang menenangkan seperti ini. Ia menyentuh beberapa barang yang ada di sana dan mendesah pelan. Perhatiannya kemudian teralih kepada orang yang berada di sampingnya.
“Kamu yakin mau tinggal di sini selama tiga bulan? Kenapa enggak sama Alora dan Yumi aja?” tanya Tante Mutia.
Namika mengembuskan napasnya. “Mereka masih sibuk belajar buat UTBK. Lagian aku di sini buat menenangkan pikiran aku, tan. Ini tempat yang cocok banget buat aku.”
Tante Mutia terkekeh dan mengusap kepala Namika. “Tante enggak nyangka kalau kamu bakal mewariskan kekuatan yang kuat. Tapi kamu pasti capek karena kamu enggak bisa menghentikan kekuatanmu.”
Mata Namika menatap jauh ke arah ombak yang berdebur. Pantai ini sangatlah sepi, bahkan Namika tidak melihat ada orang di sana. Perhatiannya mengarah pada beberapa villa yang ada di sebelah.
“Di sebelah ini ada orang semua ya?” tanya Namika. Ia dapat mendengar suara orang yang berbicara namun sepertinya kekuatannya tidak mencakup ke radius orang-orang itu berada.
“Villa di sini memang selalu penuh sih, kalau kamu enggak request dari tiga bulan yang lalu, mungkin tamunya udah penuh.”
Gadis itu mengangguk kecil. “Aku tahu kalau villa tante selalu penuh. Yang di sebelah itu punya tante juga kan? Tapi villanya lebih kecil ya.”
“Iya. Yang di kanan itu punya kenalan tante. Kalau enggak salah yang sering menginap di sana itu sepupunya deh. Mungkin kamu bisa kenalan sama dia,” celetuk Tante Mutia dengan senyum nakal.
Namika mengerutkan keningnya. “Kok firasatku gak enak. Jangan bilang dia itu anak orang kaya yang dimanja? Gak banget deh,” sahut Namika.
“No. Dia bukan kayak yang kamu pikirin. Tante baru ketemu dia dua kali sih, tapi kayaknya kalian berdua bakal cocok. Apa lagi kamu baru putus sama mantanmu kan? Siapa tau kamu suka sama dia.”
“Kalau aku nyari pacar di sini sama aja kayak aku mau bikin hatiku sakit lagi. Tante ga mungkin lupa kalau waktuku di sini tinggal tiga bukan kan?” dengkus Namika sambil merebahkan badannya di sofa.
Tante Mutia terkekeh melihat keponakannya itu. Matanya mengarah ke villa yang ia beli tiga tahun yang lalu. Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu pun mengambil tasnya dan menatap keponakannya.
“Tante bakal balik besok. Kalau kamu ngerasa enggak betah di sini, telepon tante ya,” kekeh Tante Mutia.
Namika mengangguk kecil. Ia mengantarkan tantenya itu hingga dia pergi. Perhatiannya kembali teralih pada villa yang akan dia tinggali. Namika mendesah malas dan segera masuk ke dalam.
Namika akan pindah ke ke Kanada setelah lulus SMA. Sebenarnya orang tuanya sudah menyuruh Namika untuk pindah ketika ia baru naik ke kelas dua belas. Namun Namika menolaknya dan memutuskan untuk pindah ketika sudah lulus.
Ia juga sebenarnya masih belum bisa melepaskan teman-temannya. Alora dan Yumi adalah orang yang berhasil membuat Namika merasa tidak kesepian. Mungkin itu karena mereka istimewa.
Namika tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, namun mereka memang berbeda dari manusia biasa. Mereka menyebutnya sebagai gifted, dan Tante Mutia merupakan salah satu orang yang memimpin organisasi itu.
Gifted memiliki kekuatan yang tak terbayangkan, dan Namika memiliki kekuatan untuk membaca pikiran. Yah, pasti semua orang akan berpikir jika kekuatan yang ia miliki itu sangatlah keren.
Kau bisa mengetahui apakah orang itu berbohong kepadamu, mengetahui sesuatu yang tak pernah kau ketahui, atau hal menarik lainnya. Tapi Namika membenci kekuatannya sendiri.
Kekuatan Namika bangkit ketika dia berusia lima tahun. Pada saat itu, Namika hanya bisa membaca pikiran orang dengan bersentuhan. Tentu saja itu tidak terlalu menyiksa selama Namika tidak menyentuh mereka.
Namun tentu saja kemampuan akan meningkat seiring waktu jika kau terus mengasahnya. Saat Namika berusia sepuluh tahun, Namika bisa membaca pikiran seseorang dengan melihat matanya.
Saat itu dia merasa jika itu sangatlah berat. Namika selalu membaca pikiran seseorang ketika ia bertatapan dengan mereka. Saat Namika pikir itu tidak akan bertambah parah, dia salah.
Namika kini bisa membaca pikiran orang dengan radius enam meter tanpa perlu melakukan apa pun. Jika tidak ada Alora dan Yumi, mungkin Namika sudah memilih untuk melakukan homeschooling.
Namika memejamkan matanya dan mengembuskan napasnya. Rasanya sangat damai. Tidak ada suara-suara yang berputar di kepalanya tanpa henti. Hening. Keheningan yang Namika sukai.
Deburan ombak dan suara angin yang berderu masuk ke dalam pendengaran Namika. Pantai yang berada di barat pulau ini memang sepi. Karena itulah Tante Mutia membelinya untuk menenangkan diri.
Ia menggigit bibirnya ketika ia mengingat tantenya itu. Tante Mutia memiliki kekuatan untuk menghilangkan kekuatan orang lain. Simpelnya, Tante Mutia dapat membuat Namika tak bisa membaca pikiran.
Karena kekuatan itulah Tante Mutia menjadi salah satu petinggi di organisasi Gifted. Namika juga tahu jika ada banyak orang yang mengincar nyawa tantenya itu karena kekuatannya yang terlalu kuat.
Namun sepertinya akan sulit melakukan hal itu karena para Gifted juga memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat dari pada manusia biasa. Namika terkekeh ketika ia mengingat hal itu.
Perhatiannya teralih pada ponsel yang ia genggam. Ibunya menelepon dan senyum Namika langsung merekah. Ia segera mengangkat panggilan itu.
“Halo ma? Tadi Tante Mutia baru aja pergi. Kalau enggak salah dia ada urusan di kantor. Ansel betah di sana enggak ma?” tanya Namika.
Ia meletakkan ponselnya di meja dan mulai mengambil beberapa peralatan memasak. Dia baru saja tiba namun dia sudah merasa sangat lapar. Gadis itu pun memutuskan untuk memasak beberapa makanan olahan.
Namika menganggukkan kepalanya ketika mendengar jawaban ibunya. “Namika masih nunggu ijazah aja sih. Kalau udah dapet, Namika bakal langsung berangkat ke sama, ma.”
Setelah berbincang selama beberapa saat, Namika pun menutup telepon itu. Dia menatap masakannya yang sudah jadi dan mencicipinya sedikit. Rasanya memang biasa saja, namun setidaknya masih dapat dimakan.
Pikiran Namika tertuju pada adik laki-lakinya, Ansel. Dia adalah anak yang sangat aktif, berbeda dengan Namika. Ansel juga tidak pernah berhenti untuk membuat Namika aktif seperti dirinya.
Tapi Namika tahu jika usaha adiknya itu hanya akan berakhir dengan sia-sia. Namika tidak punya tenaga untuk melakukan hal seperti itu. Namun, Namika tahu jika dia sangat menyayangi Ansel.
Ia mengambil sendok dan segera memakan makanannya. Suara orang-orang yang ia dengar tadi kini sudah tidak ada. Sepertinya mereka sudah kehabisan tenaga karena berbicara dengan sangat keras.
Namika melirik pemandangan di balkon. Matahari perlahan-lahan mulai bergerak ke arah barat. Pemandangan itu terasa sangat tidak nyata. Namika mengambil ponselnya dan melakukan time lapse untuk mengabadikan momen itu.
Ia menyeduh teh dan membawanya ke balkon sambil menikmati pemandangan. Sial, bagaimana bisa tantenya itu mendapatkan villa dengan pemandangan seindah ini? Namika merasa dia ingin tinggal di sini selamanya.
Namun Namika tahu jika dia harus mengikuti kedua orang tuanya. Gadis itu juga tidak buta jika ia akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Kanada dari pada di sini.
Rambutnya tertiup angin yang mulai berhembus dengan kencang. Namika tetap tidak bangkit walaupun dia mulai merasa kedinginan. Pikirannya masih tertuju dengan semua yang ada di sini.
“Apakah aku bisa meninggalkan semuanya? Aku sudah ada di sini sejak aku lahir, kan?” pikirnya sambil menatap pantai.
Namika tahu jika orang tuanya memang lebih sukses jika mereka bekerja di luar negeri. Namika juga sangat mendukung karir kedua orang tuanya. Tapi entah mengapa sekarang semua itu terasa sangat berat.
Namika juga pernah mengalami fase ketika dia sangat semangat untuk tinggal di luar negeri. Kapan lagi dia bisa tinggal di negara empat musim dengan kualitas hidup yang lebih baik?
Dia juga bisa membuat Alora dan Yumi merasa iri dengan mengunggah foto dengan pemandangan yang indah di sana. Tapi apakah semuanya akan terasa semudah itu? Namika mulai merasa pesimis.
Matahari pun terbenam sepenuhnya dan Namika dapat melihat langit malam beserta beberapa bintang yang tampak berkilau. Namika terpaku ketika melihat pemandangan itu.
Ia mengusap wajahnya dan segera masuk ke dalam sebelum dia demam karena kedinginan. Namika menutup pintu balkon dan turun ke bawah untuk menyiapkan makan malam.
Namika kemudian membersihkan dirinya dan segera makan sambil menghidupkan televisi untuk menonton film.
Tanpa sadar, jam sudah menunjukkan pukul 10. Namika mematikan televisi dan berjalan ke kamarnya. Gadis itu kembali menghabiskan waktunya untuk membaca novel di ponselnya.
“Kenapa sih para penulis tuh hobi banget bikin karakter sampah kayak gini? Bukannya bikin penasaran, malah bikin para pembaca pengen banting hape,” keluh Namika kesal.
Ia mendesah pelan ketika tidak menemukan novel bagus yang bisa ia baca. Matanya melirik ke jam dan ia melotot ketika jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sebenarnya apa saja yang ia lakukan?
“Sudah aku duga. Aku pasti enggak bakal bisa tidur di tempat baru kayak gini. Tapi kalau aku enggak tidur sekarang, aku pasti bakal ngantuk banget besok. Masa sih aku harus hancurin jam tidurku?”
Tidak ada yang menjawab kata-kata Namika selain suara debur ombak yang semakin kencang. Ia pun akhirnya memilih untuk kembali ke balkon sambil membawa selimut.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi dan Namika dapat mendengar suara kendaraan di jalan utama. Mata Namika pun akhirnya mulai terasa berat dan ia memutuskan untuk kembali ke kamar.
Namun, sebuah suara menghentikan langkah Namika. Suara itu bukanlah suara ombak, namun Namika tidak dapat mengenali apakah suara itu. Matanya menatap ke arah pantai dan mencoba fokus.
Sangat sulit untuk melihat apa yang sedang terjadi ketika keadaan masih sangatlah gelap. Namun entah mengapa Namika merasa sangat penasaran sehingga ia berusaha dengan keras untuk melihat apa yang terjadi.
Namika kemudian menyadari jika ada seseorang yang berjalan dari pantai dengan tubuh yang basah. Matanya langsung membulat. “Orang gila mana yang berenang di pantai jam tiga pagi?”
Gadis itu berdecak dan segera menutup pintu balkonnya. Dia tidak menyadari jika seseorang itu menyadari kehadirannya. Mungkin, sesuatu yang besar akan mengubah kehidupan Namika.
Namika terkejut ketika mendengar suara bel yang kencang. Ia segera turun ke bawah tanpa memedulikan kondisinya yang masih berantakan. Gadis itu membuka pintu gerbang dan melihat seseorang yang ia kenali.Tante Mutia melambaikan tangannya pelan sambil tersenyum miring. Dengan wajah berkerut, Namika membuka pintu gerbang dan membiarkan Tante Mutia masuk ke dalam.“Kamu baru bangun ya? Tante udah lama banget lho nungguin di depan, tapi gak dibuka-bukain,” celetuk Tante Mutia.Namika mendengkus. “Aku itu enggak bisa tidur di tempat yang baru. Ini aja aku baru tidur jam tiga pagi. Oh iya, sebelum tidur, aku ngelihat ada orang yang berenang di pantai jam tiga pagi. Emangnya gak kedinginan ya?”Tante Mutia mengerutkan keningnya sejenak dan mengembuskan napasnya. “Enggak usah diurusin. Tapi di sini enak banget kan? Tante aja rasanya mau tinggal di sini. Sayang banget ini jauh dari pusat kota.”Gadis itu mencuci wajahnya dan mengeringkannya. Matanya menatap ke arah kolam renang yang berada di
Namika mengedipkan matanya dan menatap langit-langit kamar. Ia akan pergi bersama Aruna hari ini dan itu membuat jantungnya tak bisa berhenti berdebar. Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai orang dengan sangat mudah? Tante Mutia mungkin akan memarahinya karena Namika mudah mempercayai orang. Tentu saja itu karena Namika pernah dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai. Gadis itu mengerutkan keningnya. Lagi pula dia hanya akan berada di sini selama tiga bulan. Apa yang akan laki-laki itu lakukan? Mengambil uang atau barangnya? Silahkan. Namika tidak peduli. Tapi tentu saja Namika akan merasa sedikit kesal karena itu adalah uang pemberian orang tuanya. Terlahir dari keluarga yang lebih dari berkecukupan membuat Namika merasa jika dia sedikit boros. Ia bangkit dan membersihkan dirinya dengan cepat. Ia menggunakan baju lengan panjang dan celana pendek. Ia menyemprotkan parfum ke pergelangan tangannya dan mencoba meyakini dirinya bahwa dia sudah terlihat baik. “Kenapa aku sampe s
“Bagaimana bisa ada seorang siren yang tinggal di sini? Lalu peri yang kemarin bahkan belum berhasil tertangkap! Aku enggak mengerti kenapa kita harus mengerjar spesies-spesies aneh itu.” “Sial, aku pasti bakal dipecat jika aku enggak bisa menemukan mereka sekarang. Kalau saja aku enggak butuh uang, aku enggak akan mengambil pekerjaan kayak gini.” Namika sontak menarik tangan Aruna. Dia tidak tahu apa yang terjadi namun entah mengapa dia merasa jika orang-orang itu mengincar Aruna. Namika juga tidak yakin dia bisa menghadapi mereka. Kedua remaja itu kemudian berjalan masuk ke dalam villa Namika. Gadis itu menutup pintu villa dengan jantung yang berdebar. Apakah dia harus menghubungi Tante Mutia? Namika menelan ludahnya. Jika Tante Mutia mengetahui masalah ini, kemungkinan besar tantenya itu akan menyuruhnya untuk kembali. Namika masih belum mau berpisah dengan Aruna. Ia pun mengambil beberapa bahan masakan dan mulai mengolah makanan itu. Dia bahkan tidak sadar jika Aruna sudah me
Namika menatap mentai yang sudah ia buat. Sial, mungkin Namika akan menangis jika Aruna menolak makanan ini. Ini adalah salah satu makanan kesukaan Namika dan ia memutuskan untuk memberikan itu pada Aruna. Namika sudah berdiri di pintu depan selama sepuluh menit. Ia masih memikirkan keputusannya. Ia pun mendengkus dan membuka pintu dengan kencang. Ia tiba di villa Aruna dan memencet bel. Ia menunggu Aruna untuk keluar namun dia tampaknya tidak menerima kedatangan seseorang. Dengan berat hati, Namika membalik badannya dan memikirkan apakah dia harus memakan mentai itu atau tidak. Tapi seseorang memegang bahunya dan menahannya untuk tidak berjalan. Namika membalik badannya dan terkejut ketika melihat Aruna dengan rambut yang masih basah. “Maaf lama, tadi aku masih mandi,” ucap Aruna dengan napas terengah-engah. Namika dapat melihat air yang masih menetes dari rambutnya. “Eh, aku yang minta maaf! Kayaknya aku terlalu pagi ke sini ya?” tanya Namika. Ia benar-benar salah tingkah karen
Namika mencoba beberapa baju yang akan ia kenakan hari ini. Matanya kemudian tertuju pada sebuah dress berwarna putih. Ia dan Aruna sudah berjanji untuk bertemu lagi hari ini. Sejujurnya Namika tidak pernah tertarik dengan tempat-tempat yang akan tuju. Namika hanya memiliki satu tujuan, yaitu menghabiskan waktunya berdua dengan Aruna. Laki-laki bermata biru itu berhasil membuat Namika kembali bodoh. Dua belas tahunnya bersekolah terasa sia-sia. Namika terkekeh ketika ia mengambil catokan dan mulai membentuk rambutnya. Waktu pun menunjukkan pukul lima sore. Namika menunggu Aruna sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tangannya terus memainkan ponselnya walaupun pikirannya tertuju pada Aruna. Bel villa berbunyi dan Namika membuka dengan tergesa-gesa. Aruna melambaikan tangannya dan langsung terpana ketika melihat penampilan Namika. Namika juga merasakan hal yang sama. Aruna menggunakan kaos putih disertai kemeja krem dan celana berwarna hijau gelap. Sementara itu, Namika menggunakan
Aruna terkekeh ketika ia berhasil mencipratkan air ke wajah Namika dan membuatnya langsung menutup wajahnya. “Kamu enggak bakal pernah menang dari aku kalau untuk masalah ini, Mika.” “Bodo amat!” teriak Namika sambil berusaha menarik kaki Aruna agar ia tenggelam. Aruna memang tenggelam, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang ditenggelamkan secara paksa. Namika yang melihat itu hanya bisa cemberut. Ia melipat tangannya dan melihat awan-awan yang bergerak dengan cepat. Aruna pun ikut melihat apa yang sedang dilihat oleh Namika. “Bentuk awan yang itu kayak permen ya,” celetuk Aruna sambil merangkul Namika dari belakang. Badan Namika menegang sejenak dan ia sontak menggeleng. “Itu lebih mirip kayak ipadku. Kamu kok bisa mikir itu permen sih?” “Malah aku yang seharusnya nanya gitu. Mau dilihat sampai badanmu diputar-putar juga enggak bakal kelihatan kalau itu tuh ipad,” sahut Aruna. Namika langsung menoleh dan melihat Aruna yang juga sedang melihatnya. Posisi mereka memang lumaya
Aruna memainkan helaian rambut Namika. “Alasan aku jaga jarak sama kamu ya karena aku takut kalau kamu bakal jadi orang yang berarti buat aku.” Kedua orang itu terdiam. Namika menatap layar televisi yang berwarna hitam. “Berarti Sirius itu siren juga ya?” “Iya. Hampir semua anak-anak di panti asuhan itu siren yang lahir di lautan. Sirius secara rutin menyuruh aku untuk mengecek apakah ada siren yang lahir.” Namika tak bisa berpikir lebih jauh. Semuanya terlihat sangat rumit. Dia bahkan baru tahu jika makhluk seperti itu nyata dan Aruna adalah salah satu dari mereka. “Jadi yang aku lihat waktu aku pertama kali dateng ke sini tuh kamu? Tapi kayaknya kamu juga udah sadar kalau aku ngelihatin kamu waktu itu,” celetuk Namika. Laki-laki itu terkekeh. “Tante Mutia itu sudah tahu semuanya tentang siren, jadi aku pikir enggak apa kalau aku ketahuan. Aku juga udah nyangka kalau kamu itu anggota Gifted.” “Jadi gitu. Oh iya, gimana siren bisa terlahir? Aku masih kurang ngerti konsep dilahir
“Namika, aku tahu walaupun aku sama Yumi ngomong macem-macem, kamu enggak bakal mau dengerin selama itu enggak sama dengan keyakinan kamu. Ikuti kata hati kamu.” “Bener. Namanya juga udah bucin. Aku yakin kamu enggak bakal ngerelain si Aruna itu begitu aja kan? Walaupun aku enggak ada di posisimu, aku pasti bakal menghabiskan waktuku dengan dia selama aku bisa,” sahut Yumi. Namika mengusap air matanya dan mencoba untuk menetralkan napasnya yang terengah-engah. Emosinya masih belum stabil karena dia benar-benar baru mengetahui hal itu kemarin. “It’s not the worst, guys. Dia juga bilang kalau orang yang kenal atau mengetahui siren bakal melupakan siren itu dalam waktu satu minggu. Tapi anehnya, hari ini adalah hari ke delapan dan aku masih inget sama dia.” Alora menjetikkan jarinya. “Aku rasa hal itu sama kutukan yang dimiliki sama siren ada hubungannya deh. Cuma aku enggak tau apa yang bikin dua hal itu jadi berhubungan.” “Kalau boleh jujur, aku emang enggak pengen menjauh dari di