Share

Bab 5 - Pinocchio

Ada pepatah yang mengatakan kalau uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Bagi Cherie, pepatah itu bohong, muna, dusta.

Buktinya, dengan uang sepuluh juta itu, Cherie bisa membeli kebahagiaannya – membayar tagihan rumah sakit ibunya yang sudah menggunung jumlahnya, membayar tunggakan sewa rumah yang menumpuk sejak lama, serta membiayai reparasi atap rumah mereka yang bocor, sehingga penghuni rumah bisa tinggal dengan tentram dan nyaman.

Semua itu hanya bisa ia dapatkan dengan UANG! Jadi, persetan dengan kata pepatah yang bilang bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Baginya, kebahagiaan adalah ketika dia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Namun sayangnya, euforia kebahagiaan itu membuatnya lengah.

Saat ini, di meja makan, ibu dan adiknya tengah menyidangnya. Tampaknya, mereka mulai curiga darimana Cherie bisa mendapatkan uang sebanyak itu secara tiba-tiba.

“Benar, uang yang kamu dapatkan ini hasil kerjamu sebagai barista, nak?” Cecilia Norai, ibu Cherie bertanya dengan nada curiga.

Cherie menelan ludah sambil mengangguk “tentu saja lah, ma. Mau dari mana lagi memangnya?”

“Memangnya gajimu di Sapphire Bliss itu berapa?” Kali ini Celine, adiknya gantian bertanya.

Cherie berusaha menjawab dengan tenang, “UMR. Tapi, bonusnya lumayan besar kalau melebihi target penjualan.”

“Jadi, total gajimu bulan ini berapa?” Celine bertanya lagi. Alih-alih curiga, sebenarnya Celine tampaknya lebih ke arah penasaran. Namun, pertanyaannya itu membuat Cherie gelagapan, terlebih saat Cecilia ikut menatapnya untuk menuntut jawaban.

“Tujuh juta,” Jawab Cherie penuh dusta.

Celine yang pertama kali menampilkan muka bingung. Ia langsung mengeluarkan sepuluh jarinya dan mulai berhitung. “Tapi, yang kakak bayarkan kemarin kayaknya lebih, lho?”

Sial. Celine benar. Mereka semua tahu berapa banyak tagihan mereka, dan berapa banyak yang Cherie bayar.

“Sisanya, aku pakai tabungan.” Jawab Cherie cepat. “Aku juga masih ada pemasukan dari ghostwriting kalau kamu lupa,” Cherie menambahkan alibinya.

Sebelum menemukan profesi sugar baby dulu, Cherie memang pernah menjadi ghost writer. Namun sekarang, tentu sudah tidak lagi.

Celine hanya mengangguk-angguk dengan mulut membentuk “O”. Namun, tidak dengan Cecilia. Cecilia menatap Cherie lekat-lekat, seperti mencari kejujuran di mata anak sulungnya itu.

Sementara itu, suasana pun hening dan canggung. Cherie mencoba bersikap santai, menekan segala ketegangan yang membuat dadanya bertalu.

Namun, sebelum ketegangan semakin berlanjut, ponsel Cherie tiba-tiba berdering. Dan saat itu juga, Cherie ingin sembah sujud pada Jessi untuk menyelamatkan kondisinya yang terhimpit.

Cherie pun pamit kembali ke kamar untuk menjawab panggilan Jessi.

“Jess, first of all, terima kasih sudah menyelamatkan hidupku. Kamu mau aku traktir apa besok? Boba, kopi atau soju?”

Di seberang sana, Jessi mengernyit bingung. “Cher, kamu halu?”

“Worse, aku hampir mampus. Betewe, kenapa telepon?”

“Hangout, yuk?”

“Kapan?”

“Sekarang. Di tempat biasa, ya?”

Cherie sudah terbiasa dengan Jessi yang suka membuat janjian bak tahu bulat — digoreng dadakan. “Okay. Aku siap-siap dulu kalau gitu,”

Setelah sambungan dimatikan, Cherie pun bergegas menyiapkan diri untuk hangout dadakan nya. Setelah siap dengan setelan casual, Cherie pun keluar untuk pamit pada ibunya.

“Ma, aku pergi sama Jessi dulu, ya.”

Cecilia tersenyum lalu mengangguk, “Hati-hati,”

Namun, sebelum Cherie berlalu, Cecilia tiba-tiba berkata dengan lemah,

“Nak, mama percaya sama kamu. Tolong jangan kecewakan kepercayaan mama, ya?”

Singkat, namun Cherie merasa dadanya berat saat mendengar kata-kata itu. Hatinya dipenuhi rasa bersalah, mengingat dirinya telah mengkhianati kepercayaan ibunya sejak enam bulan lalu.

Cherie mengalihkan pandangan, tidak sanggup bertemu tatap dengan tatapan Cecilia yang sendu. Menelan pahitnya rasa bersalah, Cherie tak punya pilihan lain selain berkata, “Ya, ma. Aku janji,”

***

“KAMU BILANG, KITA CUMA HANGOUT BERDUA? KENAPA ADA DIA?!” Cherie berbisik dengan nada MURKA.

Sesampainya di cafe andalan mereka, Cherie menemukan Jessi tengah berduaan dengan cowok, yang tak lain dan tak bukan adalah Tata, sugar daddy kesayangannya Jessi.

Jessi cengengesan. “Aku kan cuma bilang hangout, nggak bilang berdua. Lagipula, dia cuma mampir sebentar. Kangen, katanya,”

“Jes-”

“Ssst!” Jessi berdesis, sebelum tersenyum lebar pada Tata yang baru kembali dari kamar kecil. “Daddy, kita kedatangan tamu!”

YANG TAMU ITU DIA ATAU AKU?! Cherie menjerit dalam hati. Aslinya, dia cuma bisa nyengir saat Tata mengajaknya berjabat tangan. Cherie memperkenalkan dirinya sebagai “Jasmine”.

“Jadi, Jasmine ini yang kemarin dinner sama temannya daddy,” Sial. Dari banyaknya topik, bisa-bisanya Jessi memulai dengan topik begini.

“Wah, kebetulan sekali!” Mata Tata melebar menatap Cherie. “Gimana dinner-nya kemarin? Seru?”

SERU, MBAHMU! “Seru, kok! Seru banget!”

Cherie pun berbincang panjang lebar dengan Tata tentang dinner romantisnya yang dikarang bebas. Tentu saja, dia harus berbohong tentang makan malam itu, sesuai perjanjiannya dengan Ax.

“Iya, awalnya memang dingin banget. Cuma, setelah ngobrol, ternyata baik, kok,”

Gila. Hari ini, yang keluar dari mulut Cherie isinya dusta semua. Kalau dia Pinokio, mungkin hidungnya sudah bisa mencolok mata Tata.

“Do you find him attractive?” Tanya Jessi pada Cherie, membuat gadis itu tersedak kopi.

“Well, he is,” jawabnya sambil terbatuk-batuk. Namun, dia sama sekali tidak berbohong soal hal itu. Ax itu memang tampan dan seksi. Tipikal sugar daddy impian para sugar baby. Tapi sayang, kelakuannya amit-amit.

Tata pun tersenyum senang. “I think we should hangout together sometimes. Double date, gimana?”

Jessi yang pertama kali merespon dengan antusias, “Good idea!”

Sementara, Cherie tersenyum sengit. Baginya, ide itu PAHIT.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status