Malam itu Cherie berjalan menyusuri gelap malam tanpa arah. Sudah tidak perlu ditanya lagi seberapa kacau keadaanya. Matanya sudah sembab. Makeup-nya yang semula paripurna kini luntur berantakan. Belum lagi hatinya yang hancur tak karuan. Lebih tepatnya, kini penampakannya seperti pelacur yang dibuang setelah dipakai asal-asalan. Sialnya, baju ganti yang dipakainya dari rumah tadi masih ada di mobil Rio. Ponsel dan tasnya pun juga tertinggal di rumah itu. Tapi, mana mungkin dia tiba-tiba kembali lagi setelah semua yang ia alami? Cherie lebih memilih mati daripada kembali ke rumah laknat itu. Beruntungnya, tas tangan yang ia bawa itu hanya berisi makeup, parfum, sisir, dan nggak ada yang penting seperti dompet atau yang lainnya. Namun tetap saja, ponsel dan bajunya kini yang menjadi masalah. Hidup tanpa ponsel tentu membuatnya hilang arah. Dia jadi tidak bisa menghubungi siapapun untuk meminta bantuan, memesan taksi online untuk pulang, atau bahkan membayar untuk apapun yang
Tidak ada ampun bagi Vena, resepsionis yang judes luar biasa itu. Setelah mendengar penjelasan dari ketiganya, Ax langsung menghubungi HR dan meminta Vena dipecat saat itu juga. Tidak terkecuali Pak Arman, yang ikut terkena sial akibat ulah Vena.Cherie shock berat. Selain pertemuannya dengan Ax yang tidak disangka-sangka, dia juga tidak menyangka Ax memiliki wewenang untuk memecat kedua karyawan itu. Memangnya dia siapa? Apakah dia semacam pekerja yang punya kedudukan tinggi disini? Atau… jangan-jangan Ax pemilik rumah sakit itu?“Ampun, Pak! Tolong jangan pecat saya. Nanti, anak-anak saya makan apa, Pak?” Kali ini Vena menangis dan memelas. Pak Arman ikut bersuara, “Saya sudah kerja disini 10 tahun, Pak. Saya sudah menganggap rumah sakit ini sebagai rumah kedua saya. Disini kami sudah seperti keluarga, Pak.” Cherie yang semula kesal, kini malah jadi iba. Dia menyesal masalah ini bisa jadi panjang dan merembet kemana-mana. Menurutnya, Ax itu berlebihan. Kenapa mereka harus dipecat
“Aku antar kamu ke rumah,”Sebenarnya, tawaran Ax itu seperti oase di tengah kekeringan. Seolah Tuhan mengulurkan tangan melalui Ax untuk memberinya pertolongan, tepat seperti yang ia butuhkan.Namun, disaat yang sama, Cherie jadi bingung dan panik sendiri. Mana mungkin dia bisa pulang ke rumah dengan penampilan seperti ini?!Anggaplah, sekarang para penghuni rumah sudah tidur. Tapi, kan, untuk bisa sampai rumahnya, dia harus melewati portal yang dijaga satpam. Biar bapak-bapak begitu, yang namanya gosip kan, tetap jalan.Ingat insiden Dewi yang kegep enak-enak sama pacarnya? Ya, itulah salah satu ulah para satpam-satpam itu. Kalau kali ini dia kegep pulang tengah malam dengan settingan seperti ini, ia yakin besok gosipnya sudah VIRAL sampai ke penjuru RT.Jadi, pertanyaannya, dia harus kemana sekarang?“Ax, aku nggak bisa pulang ke rumah dengan kondisi seperti.. Ini,” Cherie menunjuk pakaiannya dengan nada putus asa. Dia berpikir sejenak sebelum menemukan secercah ide brilian di kepa
Cherie berjongkok di atas kasur, memotret kakinya dengan kuku yang telah dipoles warna baby pink. Setelah puas mengambil beberapa sudut, ia lalu mengirimkan foto-foto tersebut ke kontak yang diberinya nama “Om Kaki”. [Ini ya, Om!] Cherie mengirimkan foto itu bersama pesan dengan emoticon hati kepada Om Kaki. Bukan, Om Kaki tentu saja bukan nama paman Cherie. Om Kaki adalah panggilan untuk sugar daddy-nya, yang setiap minggu muncul untuk memintanya mengirimkan foto kaki. Sebagai mahasiswa sekaligus anak pertama dari keluarga kelas menengah ke bawah, tentu Cherie membawa beban yang berat di pundaknya. Mengingat statusnya yang masih berkuliah, opsi pekerjaan jadi sangat terbatas. Dan menjadi sugar baby adalah opsi terakhir, sekaligus opsi pekerjaan satu-satunya yang bisa ia dapatkan dengan penghasilan yang lumayan. Dan kini sudah terpaut enam bulan ia berkutat di industri sugar dating. Mengais rejeki dengan mengencani pria kaya, termasuk menjual foto kaki seperti yang ia lakukan sa
Tawaran besar itu tentu tidak disia-siakan Cherie. Dia mengabaikan pekerjaannya di kafe, dan langsung berdandan saat itu juga. Tepat pukul 6 sore, Cherie pun berangkat dari rumahnya. Dengan langkah mantap, Cherie memasuki Le Pierre, restoran bergaya classic french yang terletak di kawasan Senopati. Flare dress merah yang dipakainya malam ini berkibar, memamerkan lekuk tubuhnya yang jenjang dan ramping. Dipadu dengan riasan tipis dan rambut ikal yang dibiarkan tergerai alami, Cherie tampil begitu menawan malam ini. High heels 8cm itu membawa langkahnya dengan percaya diri. “Reservasi atas nama Pak Tata,” ucap gadis itu sesampainya di meja resepsionis. Pak Tata yang Cherie sebut itu adalah sugar daddy-nya Jessi. Dia mengatur pertemuan ini untuk temannya, yang katanya mau mencoba sugar dating. Dengan sigap, pelayan pun mengantar Cherie pada meja yang ingin dituju. Alih-alih meja, pelayan pria malah itu menggiringnya pada sebuah private room berukuran besar, yang diisi satu meja di te
Ternyata, tampak atau tidaknya batang hidung lelaki yang disebut Mr. X itu sama saja. Sama-sama kiamat bagi Cherie. Cowok yang kini berdiri di hadapannya itu menatapnya dengan dingin. Lalu mengeluarkan suara yang tak kalah dingin, “Selamat malam” ucapnya sebelum melangkah gusar menuju meja. Setelah duduk dengan kaki menyilang, ia menoleh pada Cherie dengan tatapan datar. “Sudah mau pergi, nona? Jika ya, silahkan.” Hah? Apa? Cowok itu mengusirnya? Setelah membuatnya menunggu hampir satu setengah jam? Ah, sekarang Cherie mengerti kenapa si Tata-tata itu menyuruhnya bersabar. Ternyata benar. Belum apa-apa, temannya itu sudah SANGAT menyebalkan. Walaupun kesal bukan kepalang, bukan Cherie namanya kalau kalah sebelum perang. Dengan semangat “eyes on the prize”, Cherie bertekad untuk tetap melanjutkan pertunjukan. “Selamat malam, Mr. X,” sapanya lembut. Alih-alih menjawab, Mr. X hanya menatapnya kesal, lalu membolak-balikan menu tanpa selera. Gelagatnya yang ogah-ogahan memperkuat
Selepas kepergian Herman dari ruangan itu, Ax meraih garpu dan steak knife-nya, memulai perang part 2. “Saya penasaran. Jadi apa sebetulnya sebutanmu? Simpanan? Sundal?”Cherie, yang sedang menenggak wine-nya itu tersedak. Dia dikata sundal? Sialan! Cherie tersenyum. Menahan geram. “Well, let me educate you, Mr. Ax,” “First of all, saya bukan jalang seperti yang anda sebutkan. Dua, kedua kategori yang anda sebut tadi bisa anda temui di club atau hotel, dengan intensi untuk.. nina ninu. Apa saat ini kita ingin nina ninu, Mr. Ax?”“Apa itu ninani..?” “Tidur. Apa setelah ini anda mau mengajak saya tidur bersama, Mr. Ax?” “Holy sh-! Ya, jelas tidak! Saya punya is-““Bagus. Saya juga nggak mau. Cause that’s not what I do,” “So?”“That's called Sugarbaby. Selama itu hanya menemani makan, ngopi, nonton, ngobrol, yang tidak ada kegiatan seksualnya, biasanya disebut Sugarbaby.”“Saya tidak melihat apa bedanya. Sama-sama-”“Jelas beda, tuan. Pokoknya, yang saya lakukan cuma sebatas meneman
Ada pepatah yang mengatakan kalau uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Bagi Cherie, pepatah itu bohong, muna, dusta. Buktinya, dengan uang sepuluh juta itu, Cherie bisa membeli kebahagiaannya – membayar tagihan rumah sakit ibunya yang sudah menggunung jumlahnya, membayar tunggakan sewa rumah yang menumpuk sejak lama, serta membiayai reparasi atap rumah mereka yang bocor, sehingga penghuni rumah bisa tinggal dengan tentram dan nyaman. Semua itu hanya bisa ia dapatkan dengan UANG! Jadi, persetan dengan kata pepatah yang bilang bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Baginya, kebahagiaan adalah ketika dia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun sayangnya, euforia kebahagiaan itu membuatnya lengah. Saat ini, di meja makan, ibu dan adiknya tengah menyidangnya. Tampaknya, mereka mulai curiga darimana Cherie bisa mendapatkan uang sebanyak itu secara tiba-tiba. “Benar, uang yang kamu dapatkan ini hasil kerjamu sebagai barista, nak?” Cecilia Norai, ibu Cherie bertanya den