Share

Bab 3 - The Ten Million Dinner

Ternyata, tampak atau tidaknya batang hidung lelaki yang disebut Mr. X itu sama saja. Sama-sama kiamat bagi Cherie. 

Cowok yang kini berdiri di hadapannya itu menatapnya dengan dingin. Lalu mengeluarkan suara yang tak kalah dingin, “Selamat malam” ucapnya sebelum melangkah gusar menuju meja.

Setelah duduk dengan kaki menyilang, ia menoleh pada Cherie dengan tatapan datar. “Sudah mau pergi, nona? Jika ya, silahkan.”

Hah? Apa? Cowok itu mengusirnya? Setelah membuatnya menunggu hampir satu setengah jam?

Ah, sekarang Cherie mengerti kenapa si Tata-tata itu menyuruhnya bersabar. Ternyata benar. Belum apa-apa, temannya itu sudah SANGAT menyebalkan. 

Walaupun kesal bukan kepalang, bukan Cherie namanya kalau kalah sebelum perang. Dengan semangat “eyes on the prize”, Cherie bertekad untuk tetap melanjutkan pertunjukan.

“Selamat malam, Mr. X,” sapanya lembut. 

Alih-alih menjawab, Mr. X hanya menatapnya kesal, lalu membolak-balikan menu tanpa selera. Gelagatnya yang ogah-ogahan memperkuat dugaan Cherie kalau makan malam ini dilakukan atas dasar pemaksaan. Dan Cherie semakin puas dengan wajah kesal yang cowok itu tampilkan. 

Setelah memesan makanan, pelayan dengan name tag “Herman” itu pamit undur diri, membiarkan ruangan itu kembali dalam mode hening.

Satu menit, dua menit, sepuluh menit, mereka masih saling diam-diaman. Di luar pun hujan semakin deras, membuat suasana di dalam ruangan itu berlipat kali lebih mencekam. Aura permusuhan diantara mereka pun seperti didramatisir oleh bunyi guntur yang sesekali menggelegar.

Di bawah meja, Cherie sudah menusuk-nusukkan jari dengan kukunya, mulai menyesali keputusannya melanjutkan makan malamnya dengan cowok psikopat.

Well,” Cherie berjingkat kala suara rendah Mr. X tiba-tiba membelah keheningan.

“Langsung ke intinya saja. Sejujurnya, saya tidak mengharapkan ini,” Ucap lelaki itu sambil menunjuk meja dengan jari.

“Saya tahu,” Jawab Cherie, dengan senyuman yang dipaksakan.

Lelaki itu menatap Cherie dengan satu alis terangkat. “Kalau sudah tahu, kenapa masih dilanjutkan?”

“Disini saya hanya melaksanakan tugas,” Cherie mengangkat bahu sambil tersenyum manis bak tak punya dosa. Walaupun gentar, tetapi Cherie harus tetap terlihat tegar.

“Atau anda mau saya pergi sekarang, Mr. X?”

Lelaki itu tak menjawab, masih mempertahankan ekspresi dinginnya. Walaupun masih acuh, dia sedikit melunakkan tatapannya. “Setelah makan malam. Dan katakan pada siapapun yang membayarmu kalau kencan ini menyenangkan,” 

Cherie tersenyum manis lalu mengangguk, “Baiklah,” 

“Kau tahu siapa yang mengirimmu kesini?” 

“Ya.” Cherie mengangguk, “Namanya Pak Tata,”

Cherie terkejut kala Mr. X tiba-tiba tertawa. Entah bagian mana yang menurutnya lucu, tapi cowok itu tertawa kecil sambil mengulang ucapan Cherie, “Pak Tata,”

Dasar cowok sakit jiwa. “Kenapa, Pak?” Alih-alih mengatainya, Cherie memilih bertanya.

“Tidak apa-apa.” lelaki itu menggeleng sambil mengusap mata. “Katakan pada Tata, kalau kencan ini sukses. Saya tidak mau membuatnya kecewa,” ujarnya lagi.

“Baik, Pak.”

“Jangan panggil saya “Pak”, saya bukan bapakmu,” Kata cowok itu yang mendadak jadi sensi lagi. “And it’s Ax, not Ex,”

Cherie mengangguk patuh, “Baik, Mr. Ax,”

Just Ax. Nggak usah pakai embel-embel lain.” Pungkas cowok itu dengan suara dingin. “Dan boleh saya minta satu hal lagi?” 

“Ya?”

“Jangan berlagak manis di depan saya. Kamu akan tetap mendapatkan bayaranmu, jadi tenang saja,”

Cherie mengerjap bingung. “Tapi disini saya-”

“Saya mengerti disini kamu hanya bertugas. Sama. Saya disini juga karena dipaksa. Jadi, kita berdua tahu kalau disini kita sama-sama terpaksa. So, let’s just cut the crap out of this, shall we?”

Mendengar ucapan itu, wajah sok polos Cherie luntur perlahan, berganti jadi sebuah seringai. “Fine,” Ucapnya. Tentu saja dia sepakat. Dia juga muak beramah-tamah dengan lelaki menyebalkan ini.

Ax tersenyum puas. “Good,”

“Jadi, katakan padaku, nona. Berapa harga yang ditawarkan teman saya untuk makan malam sialan ini?”

“Cukup banyak untuk membuat saya rela membuang satu setengah jam untuk menunggu anda, Tuan.” Cherie menjawab datar, walaupun sebenarnya ingin memaki.

Lelaki itu mencondongkan badannya ke depan, mata cokelatnya melebar, “Sudah saya bilang, jangan panggil saya dengan-“

“Oke, kalau begitu, bagaimana kalau sayang? Atau daddy?” Tanya Cherie dengan santai, memotong ucapan lelaki itu sebelum menyentuh titik.

“Jangan main-main, Nona.” Cowok itu menggeram.

“Tapi anda sudah lebih dulu main-main dengan waktu saya, Tuan. Dan sejak tadi, anda sudah bersikap menyebalkan. Masa, saya tidak boleh membalas? Lagipula, tadi anda sendiri yang menyuruh saya untuk tidak berlagak manis di depan anda. Lupa?”

Revenge! Counter attack! Sekarang, cowok itu yang dibuat melongo dengan kata-katanya. Cowok ini memang perlu dikasih pelajaran. Sesuatu di dalam otaknya perlu DITATAR!

“Tata masih teman saya, kalau kamu lupa.” Ucap lelaki itu dengan nada mengancam.

“Bukannya anda menyuruh saya mengaku pada Pak Tata kalau kencan ini sukses besar? Saya juga memegang kunci mati bapak, kalau bapak lupa.” Cherie mengancam balik.

Sial. Gadis ini CERDAS. 

Untunglah, perang dingin itu di jeda iklan di waktu yang tepat. Sebelum keduanya adu jotos betulan, Herman datang membawa troli berisi pesanan. 

“Filet de Boeuf À La Bordelaise, L'entrecôte-“

“Makasih!” ucap Cherie dan Ax bersamaan, saling beradu tatap dengan sarat kebencian. Tanpa mengindahkan usaha Herman yang sudah menyebut menu Prancis itu dengan susah payah. 

Setelah meletakkan pesanan dan memastikan tidak ada lagi yang dibutuhkan, Herman pun pamit undur diri lagi. Yang artinya, babak baru perang pun dimulai lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status