“Galak bener temen gue yang satu ini. Mentang-mentang gue nggak datang sama Chika, terus lu sombong gitu sama gue? Ish! Biasa aja kali. Santui. Lagian, salah lu juga. Ngapain ngenalin Chika sama bos lu itu? Padahal, gue tahu kalau lu juga suka, kan, sama dia?”
Padahal, Maya yang baru saja datang itu masih di depan pintu. Ia belum masuk sama sekali. Tapi, mulutnya susah nyerocos setengah ngebut kalau disamakan dengan kendaraan beroda empat. Ia juga tertawa-tawa tak jelas sampai membuat Azka keheranan.
“Nggak jelas lu! Dahlah, kalau mau ngajak ribut mending lu balik, deh. Gue lagi nggak mood terima tamu. Nggak mood ngobrol. Nggak mood ngapa-ngapain, apalagi sama lu!” ujar Azka seraya hendak menutup pintu.
Namun, karena lengah, Azka justru kecolongan saat Maya memilih menerobos masuk daripada pergi dari rumah kontrakan temannya itu. Bahkan, ia yang lelah setelah sedikit berjalan-jalan sepulang kuliah, langsung melempar tubuh tinggi sedangnya itu
“Suka?”Setelah semua hidangan makan sore mereka terhidang di meja, Bryan pun menanyakan perihal menu makanan di restoran milik bibinya itu. Ayam bakar utuh bumbu barbeque, ikan bakar saus rujak nanas, dan sambal goreng lengkap dengan lalapan-nya tampak masih mengepul juga segar. Belum lagiChika menggeleng. Namun, itu bukan karena dirinya tak suka dengan hidangan tersebut. Melainkan karena tergiur dan tak sabar ingin segera menyantap juga menikmatinya sampai kenyang.“Suka,” katanya sambil menyengir lebar. “Tapi, apa nggak kebanyakan ini, Yang? Kita cuman makan berdua loh?” sambung Chika yang seketika mengingat Maya. Ia dan temannya itu bahkan, harus menunggu satu bulan untuk bisa menikmati makanan seenak dan semahal itu.“Nggaklah. Makannya nggak usah pakai nasi aja, gimana?” usul Bryan.Dia yang menjaga kekekaran tubuhnya itu memang jarang sekali menyantap nasi. Paling-palin
Azka tahu kalau yang dilakukannya pada Maya adalah sesuatu yang salah. Namun, ia tetap melakukannya tanpa merasa takit atau berdosa. Ia pikir, yang dilakukannya adalah apa yang diinginkan Mayan. Ia sama sekali tak meminta atau memaksa.Bahkan, jika diulang, Maya lah yang memulainya. Maya lah yang memancingnya. Ia hanya terbawa arus, sampai akhirnya terseret jauh sampai berani melakukannya sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada gadis mana pun.Azka yang baru saja menyelesaikan hasrat dalam dirinya itu menarik diri dari tubuh wanita di hadapannya. Tanpa kata atau pun apa, ia langsung melengos pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya dari keringat. Barangkali, guyuran air dapat menyapu amarahnya yang masih saja berputar dalam kepala. Dan, itu masih saja tentang Chika.Sementara itu, Maya yang juga tak merasa takit sama sekali dengan tindakannya, kemudian duduk seraya beringsut turun. Satu persatu ia ambil pakaian yang berceceran di lantai untuk seg
“Aih, ngos-ngosan gitu. Kenapa?”Di ruang belakang, tempat di mana para karyawan beristirahat, Chika yang baru saja menyimpan tasnya itu dalam loker mengernyit heran saat melihat Maya. Temannya itu menundukkan tubuhnya, dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Sementara deru napasnya terdengar cukup keras, sehingga dapat dipastikan, kalau Maya sedang dalam keadaan capek.Gadis di hadapan Chika itu pun mengangkat wajahnya cepat. Ia masih mengos-ngosan sampai mulutnya maju mundur dengan membentuk sebuah huruf O. Susah paya ia menelan ludah juga sebelum akhirnya berdiri tegak sambil menghela dan membuang napas panjang.“Gue takut telat. Makanya, barusan gue lari dari depan. Mana nggak sempat mandi gue. Kan, asem!” jawabnya sembari mengangkat kedua tangan. Kemudian, ia mencium keteknya sendiri, bergantian. “Tuh, kan ... bau asem!” Ia ngomel sendiri.“Dih! Jorok banget, sih, lu? Lagian, bukannya tadi lu pulang lebih du
“Nanti gue kasih tau!” bisik Maya pada temannya itu. Sengaja agar Chika merasa penasaran. Sementara ia sendiri, kemudian sibuk mekayani pembeli. Tak peduli saat Chika menyikut dan membujuknya untuk bercerita sekarang. Maya tetap tak mau.“Astaga! Lu udah bikin gue penasaran, abis itu ditinggal! Ya, kali!” umpatnya seiring bibir cemberut. Karena pemberi masih saja berdatangan, Chika pun terpaksa abai meski rasa penasarannya berputar-putar dalam bayangan. Sampai-sampai Chika tak merasa konsen.“Yang semangat dong! Sekarang, mending lu cerita tentang makan sore lu sama si Bryan. Seru nggak?” Maya pun kembali memancing Chika untuk bicara, setelah sebelumnya merajuk.“Nanti aja gue ceritain. Sibuk gini!” timpalnya, balas mengatakan apa Yang dikatakan Maya. Chika yang masih cemberut itu seketika menarik kedua sudut bibir, berusaha tersenyum ranah pada pembeli saat kembali mulai melayani.
“Jadi, Maya nelepon gue karena ingin memberitahu keadaan Chika? Astaga! Gue emang bodoh! Tolol!”Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Azka yang sedang menyetir mobil bosnya itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bahkan, ia sampai tak dapat menahan amarah yang membuatnya berulang kali mengepalkan telapak tangan. Sesekali ia pukulkan telapak tangan itu ke setir. Sesekali ia pukulkan pula kepalan tangannya itu ke paha tanpa Bryan sadari.Bosnya yang duduk di belakang itu Azka lihat tengah fokus pada layar ponsel. Bahkan, Azka yakin kalau Maya sedang memberitahu Bryan tentang kejadian yang membuat Chika masuk ke rumah sakit. Azka ingin tahu. Tapi, kali ini ia tak berani bersua.Bryan tahu kalau Azka menyukai kekasihnya. Tapi, Bryan tak kan memberinya kesempatan karena Chika susah menjadi miliknya sepenuhnya. Dengan memperingatkan Azka agar tak merusak hubungan mereka. Barulah setelah Bryan sendiri yang merusaknya, Azka boleh memungut Chika.Seke
Dilihatnya Maya tengah berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Azka dan Bryan pun langsung menghampiri mereka. Bahkan, Azka yang begitu cemas akan keadaan Chika pun langsung bertanya tanpa mengucapkan sapaan dan basa-basi. Beda dengan Bryan yang justru hanya berdiri saja, mendengarkan dua orang di hadapannya.Alih-alih menjawab, Maya justru memarahi Azka habis-habisan karena telepon yang dihubungkannya tadi, justru ditolak Azka. Maya bilang, saat itu ia sedang di perjalanan menuju rumah sakit yang tak begitu jauh dari minimarket. Dan dia ingin memberitahu Azka langsung. Tapi, yang didapatinya justru penolakan. Itu kenapa, Maya pun menghubungi Bryan dari ponsel Chika.Katanya, “Sekarang Chika lagi ditangani dokter. Soalnya tadi dia lemes banget sebelum akhirnya pingsan.”“Ya, Tuhan. Maafin gue, May. Gue pikir, bukan urusan penting. Tadi gue mo nge-gym sama si Bos soalnya.” Azka beralasan. “Tapi,
“Oh, iya. Ya, sudah. Ayo!”Maya yang baru saja masuk itu pun kembali keluar dengan langkah kesal. Dalam hatinya merutuk, gemas akan sikap Azka yang masih saja ketus padanya. Padahal, Maya harap, setelah tidur bersama akan membuat Azka luluh. Tapi kenyataannya tidak. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu justru tampak begitu jijik padanya.Namun, Mayang tak kan menyerah begitu saja. Ia akan terus berjuang, meski mungkin akan melewati hal sulit untuk bisa mendapatkan Azka. Dia pikir, tak mengapa untuk saat ini dirinya terlihat begitu menjijikkan. Tapi nanti, ia pastikan, Azka sendiri uang akan mengejarnya.Sembari terus berjalan melewati lorong panjang di rumah sakit tersebut, Maya tak menoleh sama sekali. Ia pikir, menunggu teman-temannya di parkiran akan jauh lebih baik untuk hati dan perasaannya ketimbang jalan bersama. Maya tak ingin melihat seringai peduli di mata Azka untuk Chika. Ia pikir, ia tak mau melihat seringai jijik
Seperti sore tadi, Azka mau pun Maya sangat menikmati setiap sentuhan. Keduanya bahkan tak lagi merasakan kecanggungan atau keraguan. Azka terus melumat sampai akhirnya ia benar-benar merasa puas.“Turunlah!” katanya, setelah menarik diri dari ciuman yang dimulainya sendiri. “Kita perlu menemani Chika sebentar sampai bos gue mau pulang.”“Sekarang sudah jam sebelas malam. Kalian nggak boleh lama-lama. Takutnya ada yang datang dan mikir kita lagi ngapain.” Nur pun menimpalinya terlebih dulu sebelum hendak turun.“Kita memang sudah ngapa-ngapain barusan. Nggak usahlah ditutup-tutupi!” timpal Azka juga, sebelum akhirnya ia pun turun lebih dulu.Maya yang mendengarnya pun seketika tersenyum senang. Ia pikir, apa yang dikatakan Azka adalah fakta kalau temannya itu mau membuka hati. “Yes! Apa gue bilang, lama-lama lu pasti mikir kalau gue layak dipertahankan bukan?” batinnya seraya menyusul turun. Kemu