"Save me if I become, My demons."
'By Starset Transmissions'
Di kediaman Alexander, Rivo terus saja menghela napas gusar dengan kejadian yang terjadi di Xander Corp. Kedua kalinya, Rafan melampiaskan emosi. Kalau dulu, untuk balas dendam dan tadi untuk menggertak keluarga Ambara.
"Rafan tadi terpancing emosinya, ibu takut ... Rafan melakukan hal itu pada keluarga Ambara." Risa mulai panik lagi, setelah mendengar penjelasan dari Rivo tadi.
"Ayah juga sedang memikirkannya, tapi Rafan pergi begitu saja. Tidak sempat, untuk menenangkan dan mengingatkannya agar tidak bertindak seperti itu lagi." Rivo semakin gusar, di sisi lain juga yakin kalau keluarga Ambara akan melakukan rencana lain. Bisa dibilang, Rivo sudah menebak sifat Levan Ambara ketika mengajukan kontrak kerja sama—ditambah keinginannya yang memaksa.
Di rumah sakit yang sama, tempat dulu dirinya menjalani perawatan untuk menyembuhkan depresi berat. Kini, terjadi lagi. Rafan hanya termenung, meski kembali mengalami luka tembak di bagian kaki dan tangannya. Seakan sudah tidak berkesan apapun baginya.Untung saja, di kedua kakinya hanya luka gores peluru—berbeda di kedua tangannya benar-benar tertembak dan tidak terlalu dalam. Tetapi, darahnya merembes banyak sekali. Ditambah dengan luka di kepalan tangannya, akibat meninju batu—semakin banyak darah yang merembes. Untung saja, langsung diobati.Terkurung kembali? Sepertinya tidak, karena keluarga Alexander meminta persetujuan agar Rafan bisa pulang setelah lukanya pulih. Jadi, akan ke rumah sakit sesuai jadwal untuk menyembuhkan depresi berat bila benar-benar kambuh lagi.Rafan terus melamun, dan tatapannya dingin sekali. Bahkan, saat Asya datang menemuinya—tetap diam. Asya hanya menghela napas pasrah, kembali didiamkan oleh Rafan. Di satu sis
Rafan terus melangkah ke manapun, mengabaikan tatapan orang yang berkeliaran di sekitarnya. Paham, mereka kembali menatap seperti awal dirinya membuat teror. Lagi pula, beritanya langung tersebar luaskan dengan cepat.Cih!Langkah kaki Rafan mendadak terhenti sebentar—sekadar memakai penutup kepala dari jaket yang melekat di tubuhnya. Setelahnya, pergi cepat sekali.****Asya terpaku sejenak, tetapi tatapannya masih tertuju pada Bagas yang mulai menjauh. Lalu menghela napas gusar, bisa dibilang bingung dan terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Bagas terhadapnya—soal perasaan.“Aku tidak menyangka, dia memiliki perasaan terhadapku.”Asya masih tidak percaya, setelahnya mulai melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Kebetulan dosen untuk mata kuliah kedua tidak hadir dan setelahnya tidak ada kelas lagi. Di sisi lain pikirannya terus melayang pada ucapan Bagas.“Tapi, a
Rafan terbangun dari tidurnya, melirik sejenak ke arah Asya masih tertidur dalam dekapannya. Kemudian, beralih ke jam dinding. Ternyata sudah pukul lima sore, kembali menatap Asya dan perlahan melepas dekapannya.Rafan kembali melamun, sesekali mengusap pelan wajahnya. Mendadak pikirannya melayang pada rasa takut—terus saja menghantuinya. Tidak lain, firasat yang entah itu baik atau buruk? Benar-benar membuatnya, bingung dan semakin takut bila firasat—buruk.Tidak lagi!Terkadang bingung, selama mencoba berubah. Selalu banyak masalah yang menghampirinya. Jujur, sudah amat lelah menghadapi dan berusaha menyelesaikannya. Bagi orang awam pun, pasti memilih bunuh diri bila terus dihadapkan masalah besar secara beruntun.“Mencegah, bisa saja. Tapi, masalahnya ... entah kapan itu, akan terjadi?” Rafan menghela napas gusar, berusaha untuk tenang lagi.“Kenapa?” tanya Asya baru saja terbangun, mendadak heran mel
“Lonely, lost inside.”‘Glassy Sky’•••Rafan terus berjalan lambat, tak tentu arah. Alasan tidak terus berada di rumah sakit, karena enggan untuk mendengar secara langsung keadaan Asya. Bisa dibilang, semenjak merasakan firasat dan rasa takut—sudah menduga hal ini akan terjadi.Lebih tepatnya, hubungannya mulai renggang. Benar sekali, salah satu dari mereka akan ada yang terlupakan dan melupakan. Pastinya, tanpa sengaja ataupun karena satu alasan. Itu sebabnya, Rafan yang sudah menduga—memilih lebih dulu menjauh. Agar rasanya tidak terlalu amat menyakitkan—mungkin?“Hah, kejadian ini membuat emosiku berada di ambang batas.” Dengan nada dinginnya, Rafan menggerutu. Bahkan, terkesan mengerikan—menurut orang yang kebetulan melintas di sekitarnya.Beberapa dari mereka yang berpapasan, seketika menjauh. Karena merasa, Ra
Hari-hari berlalu begitu cepat, Asya kini sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, terpaksa mengambil cuti kuliah karena Asya masih harus istirahat, dan tidak ingin terjadi hal lain juga. Yang paling penting, karena ingatannya masih belum pulih. Lebih tepatnya, hanya kenangan lama yang diingatnya. Membuat orang-orang baru—terutama Rafan, sebagai status yang menjalin hubungan dengannya pun tidak bisa diingatnya.Semenjak kecelakaan yang menimpa Asya, membuatnya seperti orang asing. Meskipun, baik Asya ataupun Rafan belum bertemu secara langsung. Kecuali Rafan, meskipun menjauh—hampir setiap harinya selalu memantau.Satu hal, mengenai pelaku yang menabrak Asya. Adalah Liana, ternyata alasannya karena ingin memiliki Rafan seutuhnya. Di sisi lain, Levan—ayah dari Liana tidak menyangka, melihat anaknya melakukan hal itu. Lebih tepatnya, keluar dari rencana yang dibuatnya.Saat itu juga, Levan melenyapkan semua renc
Hingga malam tiba, Asya masih berada di kediaman Alexander. Karena Azdi juga terus sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Rivo. Mendadak bosan, Asya memilih berkeliling. Sebenarnya, ingin bergabung dengan Vio. Tetapi, karena tidak ingin mengganggu Vio yang sedang bersama Refan.“Hm, ayah masih lama kah?” Asya amat bosan, karena tidak ada yang mengajak ngobrol. Seketika terusik, saat Rafan melintas menuju dapur. Saat itu juga, membuatnya kembali menatap ke arah Rafan.Lagi?Asya benar-benar bingung, di satu sisi juga kesal. Kenapa tidak ada yang mau membantunya untuk menjelaskan? Lalu tersentak, saat Rafan melintas lagi sambil menggenggam sebotol air mineral dingin.Rafan berhenti melangkah, mulai melirik Asya, yang sedari tadi terus mengamatinya denganintens. “Apa?”Asya terkejut, saat diajak ngobrol. Refleks menggeleng cepat. “Nggak!&rdquo
Rafan terlihat berjalan lambat masuk ke pekarangan kediaman Alexander, meskipun tadi melihat jelas Asya berciuman dengan laki-laki lain—teman lama. Sudah tidak terlalu dipikirkan olehnya, walau sadar tadi sempat emosi. Di sisi lain, Asya juga tidak mengingatnya—jadi harus apa? Terus melangkah, tanpa mempedulikan semua rekan kerja Rivo. Ternyata masih rapat, lebih tepatnya sedang istirahat sebentar. Terkejut, melihat Rafan muncul dengan pakaian yang penuh lumuran darah. "Rafan," panggil Risa, mulai mendekatkan diri pada anak sulungnya ini. "Melakukannya lagi?" Rafan menatap sebentar dan enggan menjawab, kemudian pergi begitu saja. Saat ini ingin sendiri, sekalian menenangkan diri. Entah kenapa, emosinya ingin terpancing lagi! Namun, langkah kakinya terhenti lagi. kali ini Rivo meminta jawaban. Sebelum sempat bertanya, langsung terhenti karena Raskal mendekat. "Kenapa?" "Biar kujelaskan
Pukul tiga malam, Rafan kembali terlihat melangkah lambat di pekarangan bangunan besar—lebih tepatnya markas Raskal. Sepertinya, tengah malam pergi diam-diam dari rumah lagi untuk meluapkan emosinya. Terlihat jelas, pakaian yang dikenakannya penuh dengan lumuran darah lagi, dan kedua tangannya juga. Langkah kakinya, mendadak terhenti saat Raskal mendekatinya lagi. “Anak buahku yang melanggar sudah kau habisi semua.” Raskal sengaja berbatuk sebentar. “Apa kau akan melakukan teror seperti dulu lagi? Buat melampiaskan emosi?” Ternyata penasaran. Rafan enggan menjawab, melengos dan pergi begitu saja. Itu membuat Raskal menghela napas pasrah, karena tidak mendapatkan jawaban. Hawa begitu dingin, seakan menusuk kulit. Rafan terus berjalan dalam keheningan, tatapan kembali dingin dan kosong sekali. Awalnya, ingin berkeliaran entah ke mana dan sekarang ingin pulang lagi. Langkahnya terhenti seketika, saat sada