Melupakan perdebatan di dapur, aku dan kedua sahabat somplakers pun hendak memakan hidangan cilok yang dibuat oleh mereka sendiri tadi. Berharap, asam dari perasan jeruk, manis dari sejumput gula dan pedas dari segenggam cabai rawit mampu membuang resah dan gelisah yang sedang kurasakan saat ini, seperti biasanya.
Perlahan, kuhidu aroma segar dari asap yang masih mengepul dalam mangkuk. Lantas kuaduk cilok yang ditabur daun bawang, selederi, dan sebungkus Tiktuk ini sampai tercampur rata. Membuat air liurku seketika mencair dan hampir saja menetes, kalau saja tak buru-buru kutelan.
“Woah ... seger sangat ini!” celetuk Kho sambil mengunyah cilok. Mata belonya terpejam. Sementara bibir tipisnya bergerak lambat. Mungkin, selain karena sedang menikmati perpaduan rasa di dalamnya, tekstur ciloknya memang sedikit alot. “Cocok banget dimakan anget-anget pas cuaca lagi dingin begini.”
“Serius! Asam, manis dan pedasnya itu pas. Pas ... banget!” timpal Tania sambil menempelkan jempol dan telunjuk di depan bibirnya yang aduhai. Merah dan seksi. Dia juga terpejam. Bibirnya pun sama-sama bergerak lambat.
“Dah biasa makan juga. Biasa aja kali!” timpalku, sebelum mencicip kuah ciloknya dulu. Hm ... seger sih memang. Enak juga. Mantap lagi. Haduh. Paket komplit ini.
Tapi, ya, biasa aja! Nggak perlu lebay!
“Dih! Si Tika.” Tania langsung memutar bola mata, mendelik ke arahku, dengan mulut dipenuhi cilok. “Gue serius. Kali ini, cilok dan bumbunya enak banget tauk. Iya nggak Kho?” tanyanya pada Kho. Lirikannya pun beralih pada Kho.
“Huum!” Sambil menjilati tulang paha ayam, Kho mengangguk-angguk. “Tulangnya juga empuk. Yumi pokoknya.” Ia, bahkan tak melirik aku mau pun Tania saking khusuk dengan rasa nikmat yang dirasanya itu, mungkin.
“Siapa dulu dong yang masak?” timpal Ibu dengan PD-nya begitu muncul dari ruang sebelah. Dari bibirnya terukir seulah senyum. Senyum yang kesongongannya hakiki. “Karena memang sengaja ibu buat enak, biar si Neng nggak galau terus mikirin jodohnya orang.”
Jah, dibahas lagi! Reseknya, dua somplakers pun ikut ngetawain. Kan, bikin aku pen ngunyah mangkok. Eh, bukan-bukan. Ngunyah cilok banyak-banyak maksudnya.
“Malah bengong si Neng. Makan itu ciloknya. Tadi katanya mau cilok.” Ibu, sebelum melangkah entah hendak pergi ke mana mengomentariku. Padahal, aku lagi usaha buat meredam otak yang hampir berasap karena gelak tawa mereka.
“Nanti dulu deh, Bu. Neng ... tiba-tiba pen berak. Nggak kuat ini hampir berojol!” seruku seraya bangkit dari duduk bersila di lantai ruang tamu. Kemudian aku berlari menuju dapur sebelum ditimpuk mangkuk sama dua somplakers.
“Tika ...!” teriak Kho dan Tania, yang kurasa seketika langsung berhenti mengunyah cilok.
Ha-ha.
Emang enak?
***
Malam pun akhirnya menjelang juga. Dan, yang tersisa hanya tumpukkan piring dan perabot kotor bekas bikin dan makan cilok tadi siang, di wastafel. Membuat aku akhirnya berjibaku sendiri, membersihkannya sambil menyetel musik dangdut, karena Ibu sama sekali nggak mau bantu. Dia bilang, dia mau pergi ke rumah Bibi Cahaya. Entah ada urusan apa, aku tak sempat menanyainya tadi.
Selesai dengan semua perabot dapur, aku cepat-cepat mencuci tangan sampai bersih dari aroma sabun. Lantas bergegas masuk ke kamar, untuk segera meluruskan pinggang yang terasa begitu pegal dan ngilu. Begitu sampai aku langsung melempar tubuh sampai memantul pelan, lalu berbalik ke sisi kiri dan kanan, guna untuk merenggangkan otot-otot. Suara 'krek' dari tulang-tulangku pun seketika terdengar nyaring.
Leganya ...!
Sambil terpejam aku menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan bersamaan dengan keluarnya gas beracun—bagi orang lain yang menciumnya—dari area belakang tubuh. Rasanya luar biasa nikmat, karena selain otot-otot melerai ... perut melilitku pun terasa hilang.
Namun, saat mataku ini hendak terpejam ... suara notifikasi dari benda berteknologi canggih terdengar nyaring. Buru-buru aku meraih ponsel dari dalam saku celana kolor merah muda yang aku pakai.
Pak Dodot? Mau ngapain dia menelepon malam-malam begini? Bukannya besok juga masuk kerja? Ah, dahlah angkat saja, Tik. Kali mau ngasih bonus, setelah dua tahun aku kerja di mini marketnya. Hi-hi.
“Halo, Pak.” Sambil menguap aku menyapanya terlebih dulu. Karena sebenarnya, aku malas untuk mengangkat panggilannya itu.
“Ya, ampun. Lama banget, sih kamu angkat teleponnya.” Pak Dodot langsung mengomel. Dan, itu sudah kuduga. Dia, selain bengis juga jagonya marah-marah.
Ish! Enaknya diapain dia, ya? Diulek bareng cabai, atau disantap baren sambal? Mulutnya itu, loh. Pedes!
“Malah bengong?!” serunya lagi, sampai mengagetkanku.
“Lah ... malah Bapak yang ngomel. Harusnya saya yang marah, Pak. Bapak ngapain coba telepon saya malam-malam begini. Ganggu orang mau tidur aja tauk nggak?” Kantukku pun langsung menghilang, setelah mendengar omelan Pak Bos yang nyaring itu.
“Terserah saya, dong. Saya kan bos. Kamu tuh, kenapa berani ngomel sama bos?” tanyanya, dari seberang telepon. Buru-buru aku menjauhkan ponsel dari telinga. Barangkali si bos masih mau mengomel.
“Diam lagi?” tanyanya, yang sontak membuat aku buru-buru menempelkan ponsel kembali ke telinga. “Kamu dengerin saya nggak, sih, Tik? Wah, jangan-jangan molor kamu!” tuduhnya.
“Oiya-iya, Pak. Saya denger, kok. Mana ada molor. Bapak mau apa emang?”
“Saya cuma mau nanya kunci cadangan. Kamu yang pegang, 'kan?” Kali ini suaranya terdengar kalem. Gitu, dong. Baru cakep bosku. Bukan malah teriak-teriak dah kayak orang kesurupan.
“Hooh. Kenapa emang? Bapak butuh? Kan, Bapak punya juga?” Aku menginterogasinya. Nggak apa-apalah berlagak songong sekali-kali. Mudah-mudahan aja dia nggak marah lagi. Awokawok.
“Bukan!” serunya lantang.
“La, terus buat apa Bapak nanyain kunci?”
Wajahku langsung mengernyit, heran dengan sikap bapak yang satu ini. Sudah mah gangguin orang malam-malam. Ditanya mau apa malah ngomel. Untung bos, tua dan punya anak istri pula. Coba kalau masih mudaan dikit, tak jadiin pacar, dah.
Lumayan, kan ... buat ganti posisi Bian? Ahaha.
“Besok datangnya agak pagian. Ada yang mau nganterin barang soalnya, Tik.”
“Biasa juga datang pagi. Bapak, tuh, yang kalau datang suka telat!” Mulutku keceplosan lagi. Pak Bos pasti langsung ngegas.
“Eh, malah marahin saya kamu. Bos mah biarin datang telat juga. Kalau kamu, baru nggak boleh.”
Nah, kan? Apa kubilang! Ngomel lagi dia.
“Iya-iya. Jam berapa memang datang barangnya?” Padahal, ingin rasanya aku balas mengomel. Lalu, membuat dia bertekuk lutut. Ah ... tapi mana mungkin seorang bos bertekuk lutut sama bawahan. Yang ada, digetok kali palaknya kalau ketahuan selingkuh.
“Pastinya, sih nggak tau saya. Tapi, kamu jangan datang lewat jam tujuh ok?” ucapnya, udah kek bunglon. Berubah mulu. Kadang santui. Kasang ngegas.
“Ok, Pak. Siap laksanakan. Asal jangan lupa aja sama anu.” Tawaku pun hampir pecah saat untuk pertama kali berani menggodanya. Beruntung, aku berhasil menyumpal mulut dengan ujung bantal.
“Anu apaan, Tik? Saya sudah punya istri, ya. Jangan macam-macam kamu.”
“Lah ... otak Bapak ngeres, tuh. Sapuin sana!” timpalku seraya mengucap salam. Lalu buru-buru menutup telepon, agar tak perlu mendengar amukannya terlebih dulu. Padahal, aku cuma mau minta bonus tadi. “Siapa juga yang mau sama laki beristri.”
Tawaku pun akhirnya pecah seketika. Tak kuat menahan lucu di tengah-tengah rasa kesal, tiap kali mengobrol sambil becandain Pak Dodot yang super cerewet itu. Untungnya, dia nggak pernah pandang bulu. Mau sama pelayan kek, sama cleaning servis kek, sama Kang Cihu atau sama Kang Parkir... tetap aja sikapnya baik dan ramah.
Hanya saja, kalau dia marah biasanya meledak. Yang bikin kesalahan seorang, eh ... yang kena marah semua. Kayak kemarin tuh pas si Kho telat datang, omelannya merembet ke mana-mana.
Huh.
“Neng, obatmu habis?” Tiba-tiba Ibu melongo dari ambang pintu. Bibirnya menyengir lebar, sementara alisnya bergerak-gerak. Kenapa coba? Kayak orang cacingan gitu. Eh. Maaf, Bu. Keceplosan.
“Ibu dah pulang? Obat apa, sih?” tanyaku sambil mengangkat kepala, juga kedua sikut menopang tubuh. Ibu masih di tempatnya. Berdiri tegak di ambang pintu kamarku.
“Itu ... barusan ibu lihat ketawa-ketawa sendiri. Kirain habis obat,” timpalnya sambil melengos pergi. Cekikikan pula.
“Astaga! Ibu ...,” teriakku sambil melempar bantal ke arah pintu. Sementara di luar kamar, suara tawa Ibu terdengar semakin nyaring. “Kok tega, sih ngatain anak sendiri?”
Huaaaaa ...
“Tidur, Neng. Berisik! Udah malam ini,” teriak Ibu, entah dari mana. “Nanti dikira gila beneran hayoloh!”
Huaaaaa ... aku mau nangis guling-guling ajalah, Bu. Huaaaa ... Punya Ibu kok ngomongnya sompral? Aku ini nggak gila, Bu. Cuman stres aja gegara ditinggal kawin. Huaaaa
Mandi sudah, pake seragam sudah, cantik pun sudah. Kenapa Bian ninggalin aku coba? Eh ... bukan-bukan. Kenapa jadi belok mikirin Bian lagi, sih? Kerja, Tik. Kerja! Ya, Allah. Pak Dodot keluar taring, tahu rasa nanti.“Ok!” seruku di depan cermin, sembari menilik tubuh dari atas sampai ke bawah sekali lagi. Takut kalau sampai ada yang lupa terpasang. Kerudung atau sepatu gitu misalnya. Kan malu-maluin kalau nanti tiba-tiba ketemu jodoh di jalan.Iya! Karena kata orang, jodoh itu, kan jorok. Ya, siapa tahu kalau jodohku emang masih keliaran di jalan. Atau mungkin, jodohku itu tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Secara, jalan menuju rumah ini kan banyak belokannya. Awokawok.Selesai dengan urusan perdandanan, buru-buru kuraih tas selendang yang menggantung di samping meja rias. Lalu aku melesat keluar kamar untuk memanasi si Monic terlebih dulu. Kuda Besiku itu memang manja. Kalau nggak dipanasi, pasti &
“Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan,
“Kejutaaaaan!”Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu ja
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
“Sumpah, si Bos tuh bikin kaget aja tadi. Mana pake acara tuduh-menuduh lagi! Apaan coba?”Sekembalinya beristirahat, Tania merutuk sambil mengunyah makan siangnya. Lalu sesekali menenggak air mineral, karena mungkin nasinya itu susah untuk ditelan. Karena sebenarnya, pas tadi aku masak nasi untuk makan bersama, prosesnya memang terlalu buru-buru. Sampai lupa takaran, berapa banyak air yang harusnya aku masukan.“Dahlah biarin. Ngapain juga dipikirin? Dia kan emang gitu!” Aku pun sama-sama sedang mengunyah nasi. Pelan-pelan, karena nasinya memang terlalu keras. Sekeras hatiku yang masih aja mikirin Bian.“Nah, betul tuh kata si Tika. Lu kayak baru denger Pak Bos ngomel aja!” timpal Kho, yang justru baru selesai makan. Dia memang jagonya kalau soal kunyah-mengunyah. Mau lembek kek, keras kek, nggak pernah sekali pun memprotes siapa yang menanak nasi.“Iya, sih. Tapi tetep aja gue kaget,