Melelahkan, apalagi mengajak dua gadis heboh seperti Lauren dan Lhinzy, yang tadi bisa diam. Tulang belulangnya seakan mau patah.
“Gimana jalannya, seru dong?” tanya Alvin yang menyambut ketiga anaknya yang baru sampai.
“Seru, Pa,” jawab keduanya.
"Lemes amat jawabnya," komentar Alvin melihat ekspresi Lauren begitupun Lhinzy yang tak jauh berbeda.
"Ngantuk, Pa," jawab keduanya serentak.
"Ya udah, kalau gitu gih pada tidur. Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, ya," pesan Alvin pada keduanya yang segera mereka angguki dan berlalu pergi menuju kamar.
Setelah memarkirkan mobilnya, Arland memasuki rumah. Ini hari yang melelahkan. Tapi tak apa, asal adiknya senang.
"Loh, ini kamu kenapa pada luka-luka gini sih?" tanya Alvin pada Arland yang balik dari garasi mobilnya. Bagaimana ia tak bertanya seperti itu saat dibagian siku dan tangan putranya terdapat luka yang diplester.
"Keserempet motor tadi, Pa," jawabnya. "Tapi nggak apa-apa, kok. Cuman gores doang," tambahnya menjelaskan. Nggak mungkin ia jujur, kalau sebenarnya Lauren lah yang hampir saja celaka. Nanti papanya malah heboh.
"Udah diobati, kan?"
"Udah, Pa," jawabnya.
Alvin sedikit berpikir sebelum mengeluarkan kata-katanya. Tapi kalau tak membahas, sepertinya akan semakin rumit.
"Land, Papa mau bicara sama kamu," ujar Alvin.
"Iya, Pa," jawabnya yang segera mengikuti langkah Alvin menuju ruang keluarga dan ternyata di sana sudah ada Kim, mamanya.
Tentu saja Arland bingung, apa yang akan dibicarakan kedua orang tuanya padanya. Karena sepertinya akhir-akhir inipun ia tak pernah ada masalah.
"Papa mau bicara apa?"
"Apa kamu mencintai Ceryl?" tanya Alvin langsung.
"Meski aku nggak menjawab nya pun, Papa sudah tahu jawabannya, kan," komentar Arland.
Karena ia tahu betul, papanya bisa melihat, ada tidaknya cinta di matanya untuk Ceryl.
"Tapi Ceryl cinta sama kamu," timpal Kim langsung menyerobot disela-sela penjelasan Arland.
Ya, setidaknya ia paham dengan perkataan mamanya itu. Tak hanya sekali dua kali mamanya melakukannya. Beliau seolah terus memaksa agar ia dan Ceryl bisa dekat.
"Ma, sebaik-baik hubungan itu harus didasari rasa cinta dari kedua belah pihak, bukan hanya dari salah satu. Jadi, jangan memaksa ku untuk melakukan sesuatu yang tak ku inginkan," balas Arland tertuju pada Kim.
Kim sangat tak terima dengan jawaban yang diberikan putranya.
"Tapi buktinya, Mama sama Papa bisa. Bahkan kami tidak saling mengenal sedikitpun," komentar Kim tak mau kalah.
"Jadi maksudnya, Mama mau melakukan hal itu padaku juga?"
"Tentu saja, kalau itu yang terbaik."
Mendengar jawaban Kim, tak hanya Arland yang menolak. Bahkan, Alvin pun sangat tak setuju dengan keputusan yang diambil istrinya itu. Ia tahu, pengaruh orang tua dalam hubungan seorang anak adalah kunci dari kebahagiaan. Tapi, tidak dengan memaksakan kehendak seperti ini.
"Udahlah ... jangan bersikap seperti itu terus padanya," ingatkan Alvin pada Kim akan sikapnya. “Ingat apa yang ku katakan padamu, kan?”
Tapi sepertinya Kim tak bisa dibantah. Ia beranggapan kalau omongannya selalu benar meskipun kadang itu salah dan lebih terkesan memaksa.
"Mama mau kamu menikah dengan Ceryl. Dia adalah calon istri yang Mama pilihkan untukmu. Lagian, kita juga sudah mengenalnya dari dulu."
"Apa Mama berniat balas dendam atas perlakuan Kakek Nenek sama Mama? Dan sekarang, aku yang jadi pelampiasannya. Begitukah?"
Ia tahu bagaimana awal hubungan kedua orang tuanya yang berawal juga karna perjodohan. Jadi, bukan tidak mungkin kalau hal yang sama juga akan dilakukan orang tuanya padanya. Tapi maaf saja, ia tak bisa melakukan itu. Karena ia juga berhak memilih, bukan dipilihkan.
"Mama bukan balas dendam. Mama hanya ingin kamu punya pendamping yang terbaik. Ada di saat kamu susah maupun bahagia, dan menurut Mama Ceryl lah yang cocok."
"Tapi itu menurut Mama, harusnya Mama menanyakan dulu padaku," komentar Arland masih tak bisa terima.
Alvin memandang serius pada Kim. "Jangan buat keputusan seperti ini, tanya anaknya dulu, mau atau tidak? Yang akan ngejalanin kan dia, bukan kita.”
Alvin mulai ikut berkomentar saat Kim tetap pada pendiriannya. Dia merasa kalau apapun keputusannya harus dituruti.
"Tapi, sebagai seorang anak yang berbakti sama orang tua, harusnya dia paham dong."
Arland yang tadinya masih berusaha menahan emosinya, seolah tak tahan lagi atas keputusan mamanya.
"Cukup, Ma. Bukan karna aku ingin jadi anak yang durhaka. Selama ini aku selalu menuruti semua keinginan Mama apapun itu. Tapi tidak untuk yang satu ini, aku menolaknya," jelas Arland langsung berlalu pergi dari hadapan kedua orang tuanya.
"Arland! Kamu mau kemana? Mama belum selesai bicara!"
Panggilan mamanya ia abaikan begitu saja. Kalau terus berdebat dan beradu argument dengan wanita yang melahirkannya ke dunia ini, membuat emosinya malah jadi naik. Ujung-ujungnya tindakannya malah berakhir layaknya anak yang durhaka. Daripada itu terjadi, pergi adalah solusi yang terbaik.
Ia tahu kalau mamanya melakukan ini karena menyayanginya, memberikan yang terbaik untuk dirinya. Tapi, tidak harus melakukan perjodohan juga.
Kim memberengut kesal ketika putranya tak menghiraukan apa yang ia inginkan. Apalagi berlalu pergi di saat dirinya masih bicara.
"Lihat, kan, sikap kamu yang nggak sabaran itu membuatnya marah. Aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Kamu sendiri pun tahu bagaiamana perasan Arland pada Ceryl, tapi tetap saja mengacuhkan itu," komentar Alvin ikutan kesal atas sikap istrinya itu.
Kim berdecak. "Ck ... apa yang salah? Aku melakukan ini untuk kebaikan dia juga, kan. Tapi sepertinya anak itu tak mengerti sama sekali apa yang diinginkan orang tuanya," berengutnya.
Alvin menarik napasnya berat, ketika mendengar ocehan istrinya. "Sudahlah, terserah apa kata kamu. Toh, apa yang kamu inginkan nggak bisa dibantah. Tapi aku nggak mau tahu, ya ... kalau Arland sampai marah. Tahu, kan ... bagaimana putramu itu jika dia marah dan kesabarannya sudah habis," ujar Alvin pada Kimmy dan berlalu pergi menuju kamar.
---000---
Arland tak pernah menyangka kalau mamanya akan melakukan ini. Ia juga tahu kalau seorang anak harus menuruti keinginan orang tuanya. Tapi, apakah dengan menolak keinginan mamanya yang satu ini ia akan dicap sebagai anak yang durhaka? Semoga saja tidak.
Sedih, kesal dan kecewa ... itulah yang dirasakannya saat ini. Ia merasa seolah olah mamanya melakukan ini semua karna kehidupan di masa lalu. Tapi, apa ia juga harus ikut menanggungnya?
Untuk saat ini, sebaiknya ia tak bertemu dengan mamanya dulu. Takut emosinya tersulut jika berhadapan dengan wanita yang melahirkannya itu.
"Lo ngapain malam-malam kesini?" tanya Tristan yang tak sengaja melihat kedatangannya di Apartment. Kebetulan Apartment keduanya bersebelahan.
"Gue lagi pusing," jawab Arland langsung memasuki Apartment-nya.
Tingkat kekepoan Tristan tiba-tiba meningkat. Ia langsung saja mengekori Arland untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada masalah apa?" tanya Tristan sambil mengambil segelas air mineral dan menyodorkan pada Arland.
"Ini masalah hubungan gue sama Ceryl," jawabnya sambil meneguk air minum hingga habis.
"Ceryl?" Dahi Tristan berkerut. "Tapi kalian berdua kan memang nggak punya hubungan apapun."
"Mama gue yang akan bikin kita punya hubungan," balas Arland sambil memijit pelipisnya karena pusing.
Jujur saja, ini salah satu masalah terberat yang pernah ia hadapi. Hidupnya seolah diatur oleh mamanya. Mulai dari pendidikan, pekerjaan, bahkan sekarang masalah jodoh.
"Maksud lo?" tanya Tristan bingung.
"Mama ngejodohin gue sama Ceryl," terangnya.
"Serius?" tanya Tristan tak percaya atas pernyataan Arland.
Bagaimana tidak kaget ... Tristan tahu betul kalau Arland tak pernah menyukai Ceryl. Dia menyanyangi gadis itu hanya sebatas rasa sayang seorang Kakak terhadap adik perempuannya. Tak seperti rasa sayangnya pada Ceryl, yang sampai detik inipun seolah tak terlihat sama sekali oleh gadis itu.
"Gila, kan? Gue akan mengulang kisah mereka di masa lalu," berengut Arland.
"Tapi lo nggak terima, kan?" Berharap banyak kalau Arland tak akan menerima itu semua.
"Nggaklah. Kalau gue terima, itu sama saja dengan mempermainkan hatinya Ceryl. Dia berharap gue mencintainya, tapi tetap, gue nggak bisa," jelas Arland.
Ya, Tristan juga tahu itu. Hanya saja, Ceryl menginginkan yang lebih.
"Ya sudah, lo istirahat aja, gue ke sebelah dulu. Oiya, besok lo libur?" tanya Tristan sebelum meninggalkan kediaman Arland.
"Hmm ..." Angguknya.
"Bagus. Jadi lo bisa istirahat."
Seperginya Tristan, Arland kembali dalam pemikirannya. Entah apa yang salah dengan perhatiannya selama ini pada Ceryl, hingga membuat gadis itu terus-terusan mengejarnya.
Di saat yang bersamaan tiba-tiba ponselnya berdering. Saat ia lihat, ternyata papanya lah yang menghubungi. Segera, ia menggeser tombol hijau ke arah kanan.
"Ya, Pa ..."
"Kamu dimana?"
"Di apartment, Pa," jawabnya.
"Jangan hiraukan perkataan mamamu tadi, ya," saran Alvin pada putranya.
"Aku juga inginnya begitu, Pa. Tapi tetap saja tak bisa. Daripada nantinya malah aku berdebat dengan Mama, lebih baik aku nggak pulang dulu," terangnya pada Alvin.
"Yasudah. Kalau itu mau kamu."
Jadilah malam ini ia menginap di apartment yang sudah beberapa lama tak ditempati. Biasanya ia akan menginap di sini setiap malam minggu. Tapi akhir-akhir ini enggak, karena tiap mau menginap Lauren dan Lhinzy malah ikutan.
Lauren dan Lhinzy menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Seperti biasa, keduanya mana pernah turun tangga dengan langkah lambat."Bibik ... Kak Arland dimana?" tanya Lauren pada asisten Rumah tangga yang bernama Bik Ani."Di kamar mungkin, Non. Soalnya dari tadi pagi Bibik belum lihat Den Arland keluar," jawab wanita paruh baya itu sambil menghentikan aktivitas mencuci piringnya."Nggak ada di kamarnya, Bik," balas Lhinzy."Lah, Den Arland kemana dong?" Giliran Bibik yang bertanya."Aduhh si Bibik, ditanya, eh ... sekarang malah balik nanya," gerutu Lauren sambil berlalu pergi dengan Lhinzy yang terus mengekorinyaDi ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Alvin yang saat itu hendak keluar rumah."Loh, anak-anak Papa pada ngapain dari dapur? Hmm ... habis bantuin Bibik masak, ya?"Tebakan macam apa yang dikatakan Alvin. Di usia mereka yan
Kesan pertemuan pertamanya dengan cowok ini dalam mode yang tak mengenakkan. Hingga membuatnya kesal dan sudah mencap Arland sebagai daftar orang yang tak ia sukai. Dan sekarang, ia harus meminta pertolongannya? Aih ... dunia sempit sekali."Ada apa lagi?" tanya Arland dengan ekspresi dingin sambil berdiri berhadap-hadapan dengan Kiran."Lagi? Itu berarti kalian sudah saling kenal, begitukah?'' tanya Tristan. Rasa keponya meningkat tajam. Ayolah ... jarang-jarang sobatnya ini berurusan dengan seorang wanita."Pernah ketemu, bukan berarti mengenal," komentar Arland tak terima dengan perkataan Tristan.Tristan malah tertawa mendengar pernyataan sobatnya itu. "Wah ... jarang-jarang lo kenal cewek selain, Mama lo, si kembar, Ceryl, Dilla dan Keyra," jelas Tristan.Apa Tristan berniat meledeknya di depan Kiran. Ingin menghajar sobatnya itu, tapi takutnya gadis ini malah memandangnya sebagai cowok psyco.
Arland dan Kiran sampai di rumah sakit. Keduanya berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih. Itu anggapan orang-orang yang tak mengenal keduanya. Padahal aslinya mah mereka tak saling mengenal.Beberapa suster menyapa dan melemparkan senyuman pada Arland. Jangan dikira dirinya akan membalasnya dengan senyuman juga. Paling hanya anggukan tak berarti. Bikin kesal, sih, tapi tetap saja cewek-cewek pada antri mendapatkan hatinya. Yang jelas-jelas sangat susah untuk dicairkan.Sementara Kiran yang terus mengekorinnya dari semenjak turun dari mobil pun baru percaya 100%, kalau ternyata Arland benar-benat seorang dokter. Tadinya, sih, ia masih ragu."Kenapa kamu terus saja mengikuti saya?" tanya Arland pada Kiran yang juga hendak masuk mengikutinya ke ruang ganti."Nggak boleh, ya?""Apa kamu juga mau ikut saya buat ganti baju, hmm?"Kiran hanya tersenyum g
Arland tertidur di ruangannya dengan berbantalkan lengan. Bahkan, saat seseorang menyelinap masuk dan menghampirinya pun, ia tak sadar dan terbangun sama sekali.Beberapa saat kemudian, barulah, sebuah deringan ponsel miliknya yang membuatnya terbangun. Saat ia lihat, ternyata papanya lah yang menelepon. Segera, ia menggeser tombol hijau yang ada di layar datar itu."Iya, Pa,” sahutnya."Ini Mama, bukan Papa."Ekspressi mengantuknya langsung berubah."Ada apa, Ma?" Mamanya tahu, kalau meneleponnya tak akan dijawab. Malah menggunakan ponsel papanya."Mama mau kamu pulang sekarang," suruh Kim."Aku lagi sibuk, Ma,'' elak Arland."Mama nggak mau tahu ... pokoknya kamu pulang sekarang!"Kim langsung mengakhiri pembicaraannya begitu saja tanpa menunggu tanggapan Arland."Pasti Ce
Pada saat pak Satpam datang sambil membopong Arland, tak sengaja ia bertemu dengan Tristan yang baru saja keluar dari kamarnya."Padahal udah di bilang jangan sampai mabuk, masih aja ngeyel ni orang,” ujar Tristan yang langsung menghampiri Arland dan membantu membawanya ke kamar."Iya mas Tristan, mabuk berat kayaknya ini Mas Arland nya," ujar pak Satpam."Apa tadi dia bawa mobil sendiri, Pak?""Nggak, Mas ... barusan ada gadis yang mengantarkannya.""Gadis?" bingung Tristan."Iya, itu loh mas ... gadis yang kemaren bareng Mas Arland ke Rumah Sakit," jelas pak satpam pada Tristan mengingatkan.'Gadis yang bernama Kiran kemaren kah,' batin Tristan."Kalau begitu saya permisi dulu, Mas " pamit pak satpam pada Tristan ."Oke, makasih, Pak.”---000---Pagi ini Arland masih tertidur nyeyak di ranj
Arland yang baru saja sampai di Rumah sakit, bergegas menuju ruangannya. Panggilan mendadak dari Rumah Sakit membuatnya harus meninggalkan meeting di kantor. Dan untungnya ada si Tristan, meskipun selama ini sobatnya itu tak pernah mau saat ia minta untuk memimpin meeting.Terburu-buru, membuatnya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang sampai dia terhentak ke lantai."Astaga!” keluhnya sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri."Maaf,” ucap Arland merasa bersalah dan membantu gadis itu untuk bengun."Kamu?" kaget Arland melihat siapa yang ia tabrak barusan. Yap, Kiran. Gadis yang seharian kemarin berurusan dengannya."Duh, dokter ... apa jangan-jangan efek mabuk semalam masih berasa, ya, dok?”"Apa?!”Bagaimana ia tak kaget. Kenapa Kiran bisa tahu kalau dirinya semalam mabuk?“Permisi dokter, saya
"Loh, kamu kok ada di sini?"Kiran mengarahkan pandangannya pada seorang cowok yang menghampirinya saat langkahnya mendekati pintu.Dahi Kiran berkerut sambil berpikir. "Kamu bukannya yang kemaren ada di apartementnya dokter Arland, kan?""Tepat sekali,” sahut Tristan cepat. “Ternyata kamu masih mengingatku. Aah ... tapi sepertinya bukan aku yang kamu ingat, melainkan Arland,” godanya menambahkan.Kiran tersneyum manis mendengar penuturan Tristan. "Nggaklah, kebetulan saja masih ingat.”“Ngomong-ngomong, kok kamu ada di sini?” tanya Tristan."Lagi ngelamar kerja, tapi ternyata nggak bisa,” jawabnya dengan senyuman berat mengiringi."Kenapa?""Aku nggak punya pengalaman kerja dan statusku juga masih mahasiswi,” ungkapnya berusaha tenang, tapi dalam hatinya terasa sedih.Tristan hanya ma
Turun dari taksi, ia segera berlari untuk memasuki rumah. Tentunya dengan perasaan deg-deg'an yang sudah merasuki hatinya dari tadi. Karna ia tau pasti apa yang sudah menantinya di dalam rumah."Kamu dari mana saja?!"Pertanyaan dengan sedikit bentakan itu membuat langkahnya yang baru memasuki rumah, terhenti seketika. Pandangannya mengarah ke asal sumber suara. Wajah dengan pandangan kesal sedang menatap padanya."Kamu keluyuran terus, bukannya nyari kerjaan! Pulang sore-sore, pulang tengah malam!” bentak Dewi memandang kesal pada Kiran."Aku nggak keluyuran, kok, Ma,” bantah Kiran."Lalu, apa hasilnya?”"Aku ... aku udah dapet kerjaan,” gagap Kiran sedikit menundukkan kepalanya.Ia sebenarnya bingung, apakah menerima tawaran Arland untuk menjadi kekasih bohongan adalah sebuah pekerjaan? Tapi setidaknya, ia tak mendapatkan omelan yang lebih panjang lagi