Sekarang Kiran, Arland bersama pihak berwajib begitupun beberapa dokter baru saja menemukan hal yang mengejutkan. Apalagi setelah dilakukannya visum pada Ziel dan beberapa test dari psikolog anak.
“Aku benar-benar nggak percaya dengan semua ini,” gumam Kiran berpikir. “Membunuh orang tuanya dan beralibi kalau mereka bunuh diri. Kemudian menyiksa dia hingga luka fisik dan mental. Bersyukur banget aku om dan tantenya itu hangus kebakar sama mobil. Jadi nggak menuh-menuhin sel dan buang buang jatah makanan buat mereka. Dan selanjutnya bagaimana kehidupan dia, ya? Bukankah hanya tinggal sebatang kara.”
Arland tak menanggapi perkataan istrinya. Ia seolah fokus pada makanannya.
“Land! Kamu dengar aku nggak, sih?” Kiran malah kesal saat Arland tak merespon perkataannya dan asik makan begitu saja.
“Maaf, Ki ... aku benar-benar lapar. Perutku sakit karena belum makan dari tadi pagi,” ungkapnya dengan ta
Ziel terbangun dari tidurnya, membuka mata dan mendapati Kiran masih setia di sampingnya. Ia tersenyum, saat apa yang diharapkannya terkabul. Ya, wanita yang rasanya benar-benar dekat dengannya kini, tak meninggalkannya.“Sudah bangun,” ujar Kiran membelai lembut wajah itu.Ziel mengangguk. “Mama nggak meninggalkanku. Aku senang,” ucapnya.“Ziel, apa kamu benar mau tetap di sini denganku?”Ziel mengangguk cepat.“Kenapa?”“Aku nggak punya mama sama papa lagi. Aku juga nggak punya siapapun lagi. Percuma warisan banyak, tapi aku sendirian. Boleh, kan ... aku numpang hidup sama Mama? Aku janji akan jadi anak baik dan pintar. Aku janji akan jadi anak yang berbakti dan bersikap seperti pada orang tuaku sendiri.&rdquo
Kiran selesai menyiapkan sarapan. Berniat memanggil Ziel, ternyata anak itu sudah datang duluan.Arland meletakkan ponselnya di meja, saat anaknya itu datang. Setidaknya ia harus menghentikan kebiasaan ini jika di rumah.“Zi, nanti pulang sekolah Papa yang jemput, ya,” ujar Kiran menatap serius pada Ziel yang sedang menikmati nasi goreng kesukaannya. Tak ada suara, melainkan hanya anggukan yang ia terima dari bocah itu.Tenang. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terkadang bersenggolan dengan piring. Jadi, mau berkilah seperti apalagi, saat dua cowok ini memiliki sikap dan sifat yang sama.Selesai makan, Ziel turun dari kursinya. Begitupun dengan Arland. Keduanya bersiap untuk berangkat.“Belajar yang pintar, ya,” pesan Kiran pada Ziel.“Iya, Ma ... aku sekolah dulu,” pamitnya sambil mencium punggung tangan Kiran.“Papanya nggak dikasih pesan apa apa, gitu?” tanya Arland berkomen
Punya orang tua yang menyayangi, punya adik kembar dan ditambah lagi dengan harta berlimpah. Setidaknya ia bisa memiliki yang namanya kebahagiaan dunia. Ya ... itu menurut semua orang yang beranggapan tentang dirinya. Tapi sebenarnya ia tak sebahagia itu. Karena sampai saat ini, masalah hati, ia masih kalah. Meskipun banyak wanita yang berminat untuk menjadi pendampingnya, tetap saja menurutnya belum ada yang cocok.Sebagai seorang putra dari Alvin, ia mewarisi sifat dan sikap papanya. Dingin jika sedang serius, meskipun dia selalu serius di setiap waktu.Pekerjaan adalah hal yang paling digemarinya. Setidaknya dengan begitu ia tak merasa sepi. Hanya perasaannya, tapi sebenarnya orang-orang di sekitarnya begitu banyak. Dirinya saja yang seolah ingin menyibukkan diri. Pun dengan pagi ini."Kamu mau ke kantor?" tanya Kim melihat penampilan putranya yang sudah rapi dengan setelan kantor."
Ceryl yang kesal akan tingkah Arland padanya, ternyata benar-benar mengadukan itu semua pada Kim, mamanya Arland. Karena ia tahu betul, wanita paruh baya ini akan menuruti keinginannya seperti biasanya."Tante.”Ceryl datang-datang langsung mewek nggak jelas. Tentu saja itu membuat Kim jadi bingung. Apa yang terjadi pada gadis ini?"Ceryl ... kamu kenapa, kok datang-datang sedih gitu?" tanya Kim."Kak Arland, Tante. Dia nggak mau nemenin aku ke acara ulang tahun temenku ntar malam," jelasnya masih mewek-mewek. “Malah aku dimarahin lagi.”"Benarkah?""Iya, Tan. Dia juga bilang kalau nggak sayang lagi sama aku.""Ya udah, kamu tenang aja. Nanti biar Tante yang bilang sama dia, pasti dia mau kok dengerin omongan mamanya.""Beneran, ya, Tan?"""Iya," angguk Kim.Pada saat yang bersamaan, Dilla juga datang. Yang je
Dia yang tadinya sudah bersiap mengobati luka di tangan Arland, malah menghentikan seketka itu juga sambil memasang wajah kesal."Kalau tahu kamu orangnya, aku nggak akan nolongin," kesalnya beranjak dari hadapan Arland dan berlalu pergi begitu saja.Saking kesalnya, dia tak sengaja malah menyenggol siku Arland, membuatnya sedikit meringis. Tentu saja reaksinya itu membuat kedua adiknya terlihat cemas."Sakit banget ya, Kak?""Ngga, kok," jawabnya mengelak sambil sedikit tersenyum. Padahal aslinya lumayan perih.Dia yang tadinya sudah berlalu pergi, tiba-tiba saja kembali menghampiri Arland. Kemudian mengambil kotak obat yang berada di tangan Lauren dan lanjut membersihkan serta mengobati luka di siku Arland. Ya ... meskipun wajahnya itu sangat menunjukkan kalau dirinya sedang kesal."Apa rasanya sakit?" Dia bertanya, meskipun pandangannya hanya
Melelahkan, apalagi mengajak dua gadis heboh seperti Lauren dan Lhinzy, yang tadi bisa diam. Tulang belulangnya seakan mau patah.“Gimana jalannya, seru dong?” tanya Alvin yang menyambut ketiga anaknya yang baru sampai.“Seru, Pa,” jawab keduanya."Lemes amat jawabnya," komentar Alvin melihat ekspresi Lauren begitupun Lhinzy yang tak jauh berbeda."Ngantuk, Pa," jawab keduanya serentak."Ya udah, kalau gitu gih pada tidur. Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, ya," pesan Alvin pada keduanya yang segera mereka angguki dan berlalu pergi menuju kamar.Setelah memarkirkan mobilnya, Arland memasuki rumah. Ini hari yang melelahkan. Tapi tak apa, asal adiknya senang."Loh, ini kamu kenapa pada luka-luka gini sih?" tanya Alvin pada Arland yang balik dari garasi mobilnya. Bagaimana ia tak bertanya seperti itu saat dibagian siku dan tangan putranya terdapat luka yang dipl
Lauren dan Lhinzy menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Seperti biasa, keduanya mana pernah turun tangga dengan langkah lambat."Bibik ... Kak Arland dimana?" tanya Lauren pada asisten Rumah tangga yang bernama Bik Ani."Di kamar mungkin, Non. Soalnya dari tadi pagi Bibik belum lihat Den Arland keluar," jawab wanita paruh baya itu sambil menghentikan aktivitas mencuci piringnya."Nggak ada di kamarnya, Bik," balas Lhinzy."Lah, Den Arland kemana dong?" Giliran Bibik yang bertanya."Aduhh si Bibik, ditanya, eh ... sekarang malah balik nanya," gerutu Lauren sambil berlalu pergi dengan Lhinzy yang terus mengekorinyaDi ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Alvin yang saat itu hendak keluar rumah."Loh, anak-anak Papa pada ngapain dari dapur? Hmm ... habis bantuin Bibik masak, ya?"Tebakan macam apa yang dikatakan Alvin. Di usia mereka yan
Kesan pertemuan pertamanya dengan cowok ini dalam mode yang tak mengenakkan. Hingga membuatnya kesal dan sudah mencap Arland sebagai daftar orang yang tak ia sukai. Dan sekarang, ia harus meminta pertolongannya? Aih ... dunia sempit sekali."Ada apa lagi?" tanya Arland dengan ekspresi dingin sambil berdiri berhadap-hadapan dengan Kiran."Lagi? Itu berarti kalian sudah saling kenal, begitukah?'' tanya Tristan. Rasa keponya meningkat tajam. Ayolah ... jarang-jarang sobatnya ini berurusan dengan seorang wanita."Pernah ketemu, bukan berarti mengenal," komentar Arland tak terima dengan perkataan Tristan.Tristan malah tertawa mendengar pernyataan sobatnya itu. "Wah ... jarang-jarang lo kenal cewek selain, Mama lo, si kembar, Ceryl, Dilla dan Keyra," jelas Tristan.Apa Tristan berniat meledeknya di depan Kiran. Ingin menghajar sobatnya itu, tapi takutnya gadis ini malah memandangnya sebagai cowok psyco.