Zulfa Zahra El-Faza, seorang putri kiai yang tidak pernah tertarik dengan cinta, apalagi pernikahan di usianya yang masih relatif muda. Jika ada lamaran yang datang, tanpa pikir panjang akan gadis itu tolak tanpa peduli siapa yang melamar, entah seorang gus yang terkenal tampan dan piawai atau bahkan seorang kiai. Zulfa belum tertarik sama sekali. Namun, semenjak Fatih Thoriqul Firdaus datang dalam hidupnya, segalanya berubah. Gus dari pesantren tempatnya menimba ilmu itu berhasil mengetuk hati Zulfa dan merajainya ketika Zulfa menjadi istrinya. Kepada Fatih, Zulfa memberikan seluruh cintanya, dan itu mungkin kesalahan terbesar yang pernah Zulfa lakukan dalam hidup. Sebab Fatih penuh rahasia, dan rahasia-rahasia itu adalah pemicu luka dan air mata bagi Zulfa. Akankah mereka berakhir bahagia jika dibayangi juga oleh orang ketiga? "Sejatinya kunci sebuah hubungan bukan hanya cinta, tapi kejujuran dan kepercayaan dua hati yang ada di dalamnya."
View More"Lagi." Di tempat dengan pencahayaan temaram itu, suara musik yang sangat keras mengalun seperti dentuman. Menghentak dan membuat tubuh-tubuh manusia yang ada di lantai dansa menggeliat seperti cacing kepanasan. Menggila dengan lampu berwarna-warni yang sesekali menyorot wajah mereka. Aroma parfum yang bercampur rokok merajai udara, membuat sesak paru-paru orang yang belum biasa berada di sana. "Sendirian aja. Aku temenin, ya." Seorang perempuan dengan pakaian ketat yang kurang bahan menghampiri tempat Aldo yang baru memesan segelas alkohol lagi di depan meja bartender. Menggelayutkan kedua tangannya di tubuh Aldo dengan gerakan seringan kapas lalu memasang senyum menggoda ke arahnya. Aldo menatap perempuan cantik dengan dandanan menor itu lekat sambil mengulas senyum menyeringai. Meraih salah satu tangannya kemudian mengelusnya lembut. Perempuan itu pun langsung mendudukkan dirinya di atas pan
June dan keluarganya. Keluarga laki-laki itu adalah keluarga yang suka memberikan kebebasan. Robert Aldrian Adams dan Camelia Margareth, kedua orang tua June itu sama-sama orang yang berpikiran terbuka dan akan mendukung apa pun keputusan June yang mereka anggap baik dan bisa membahagiakannya. Mereka tidak pernah mengekang June meski laki-laki itu adalah anak tunggal---Itulah kenapa, June tidak ragu saat dirinya mengajak Pelita meninggalkan Indonesia dan hidup bersama di Australia dua tahun yang lalu, di negeri tempat Papanya dilahirkan. Sebab June tahu benar, orang tuanya akan mengizinkannya meski di awal mereka mungkin akan marah kepadanya karena ia yang mengambil keputusan sendiri dan secara tiba-tiba. Mereka bahkan tidak melarangnya saat June keluar dari UI dan pindah ke tempat kuliah Pelita di Bandung. Meninggalkan universitas ternama Indonesia dan memilih masuk swasta. Mereka merasa kecewa? Iya. Tapi kebahagiaan putra
"Hufft ...." Pelita menghembuskan napas kasar.Ingatan itu masih terasa sangat baru di kepalanya. Seolah terjadi baru saja. Saat dirinya memutuskan pergi meninggalkan Jakarta setelah berselisih paham dengan Papa dan istri barunya lalu disusul June di Bandung.Pelita tidak menyangka jika sudah dua tahun lamanya waktu berputar sejak hari itu. Tapi dirinya masih sama dan belum bisa berdamai dengan masa lalu. Mungkin tidak akan pernah bisa.June mengemudikan mobilnya dalam diam di kursi kemudi yang ada di sebelah kanan Pelita. Tidak ada percakapan. Benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing yang sama-sama berkecamuk.Seberapa besar usaha Pelita untuk melupakan masa lalu, masa lalu itu selalu datang menghantuinya. Lagi dan lagi. Tidak peduli seberapa keras dirinya menyibukkan diri. Kuliah, modeling, menulis dengan beberapa akun sekaligus, mengolah channel YouTube dan mengelola Instagram. Masa lalu itu selalu menemukan celah untuk mengusiknya diam-d
"Pulang kamu gimana? Aku antar, ya! Sekali-kali boleh lah mampir ke tempat kamu! Aku penasaran gimana selera tempat tinggal kamu." Pelita hanya terkekeh kecil menanggapi kata-kata yang dilontarkan Cecilia kepadanya. "Ayolah! Nggak akan nggak, aku nggak akan bocorin alamat kamu ke orang lain! Kita udah kerja sama selama dua tahun nerbitin buku. Tapi di data pribadi penulis yang kamu isi, alamat yang kamu sertakan selalu alamat kamu yang ada di Jogja. Kamu ... sebenarnya orang mana sih? Jogja, Jakarta, atau Bandung?" Pelita tertawa lagi dengan sedikit lebih keras. "Kalau bisa aku pengin liat KTP kamu secara langsung rasanya," tambah Cecil lagi. Yang diajak bicara Cecil kembali tertawa di balik kacamata hitam yang masih dikenakannya. "Buat apa sih, Mbak Cecil?" balas Pelita kemudian. "Aku itu seperti salah satu judul tetralogi novelnya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. Anggap aja gitu. Jadi tinggalku bis
"Pelita, di sini!" Seorang perempuan berambut panjang dikuncir dengan setelan jins biru tua dan kaos lengan pendek warna putih yang dilapisi kardigan rajut warna moka melambaikan tangan ke arah pintu masuk kafe begitu orang yang ditunggunya terlihat di pandangan. "Di sini, di sini!" ulangnya yang membuat beberapa pengunjung kafe yang lain menatap bergantian ke arahnya dan ke arah seseorang yang baru masuk ke dalam kafe. Keduanya terlalu eye chatching untuk tidak menarik perhatian. Pelita yang baru datang hanya mengulas senyum cerah, melambaikan tangan sebentar sebagai balasan kemudian berjalan ke arah Cecilia, perempuan berambut panjang dikuncir yang barusan menyerukan namanya. "Mbak Cecil, udah lama, ya?" tanyanya sembari menarik kursi untuk duduk. "Enggak. Baru aja. Tuh, mejanya masih kosong belum ada apa-apanya." Pelita memasang senyum lagi. "Oh, ya udah, Mbak. Aku pesenin min
[Den, Aden di mana? Ibu sama Bapak bertengkar lagi. Barang-barang di rumah banyak yang dilempar pecah.] Aldo menghela napas setelah membaca SMS yang masuk ke ponsel miliknya dari salah satu pembantu di rumahnya. Seperti biasa, orang tuanya kembali bertengkar. "Dan, gue pergi dulu, ya. Lagi ada urusan mendadak di rumah," katanya menepuk bahu Bondan yang duduk sambil mengunyah gorengan di sampingnya. Setelah melihat kepergian Adhim yang katanya pulang ke rumahnya di Kediri, Aldo, Bondan, dan beberapa pemuda lain yang mengaku tidak memiliki kegiatan sepakat meluncur ke warung Abah Suta untuk ngopi dan mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan selama Adhim yang notabenennya ketua klub motor mereka tidak ada. Khususnya membicarakan mengenai anak-anak yang tinggal di rumah singgah. Anak-anak itu adalah anak-anak jalanan yang ditolong Adhim dari kekejaman premanisme Bandung, anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki rumah dan kel
June Aldrian Adams POV Seperti yang sudah kukatakan, melihat Pelita bersikap seolah dirinya baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit dan aku merasa gagal melindunginya. Menjaga Pelita, memastikannya bahagia dan baik-baik saja adalah tujuan hidupku sejak lama. Pukul 06.30, Pelita turun dari kamarnya di lantai dua dengan dandanannya seperti biasa setiap kami akan menemui klien. Jika tidak mengenakan dress panjang yang dilapisi jaket atau kardigan, Pelita biasanya memakai celana jins dengan atasan kemeja atau blus yang kadang juga dilapisi jaket. Dan kali ini, Pelita memakai opsi yang kedua. Ia memakai celana jins hitam dan kemeja kuning bergaris yang dipadukan kerudung cokelat muda. Make up tipis terpoles di wajah cantiknya yang menurutku lebih memesona saat tidak memakai make up dengan kacamata hitam yang bertengger sempurna di atas hidung. Kami duduk saling berhadapan di meja makan saat aku menyuruhnya memakan sarapan yang sudah kusiapkan. Setangkup sandwich isi sayuran
June Aldrian Adams POV Melihat Pelita bersikap seolah ia baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit. Sekali lagi aku merasa telah gagal melindunginya, melindungi Pelita, perempuan yang kucinta. Firasatku sudah buruk sejak kemarin. Dan hal itu terbukti benar saat pagi-pagi sekali Pelita tidak bisa kuhubungi padahal ponselnya menyala. Ia mengabaikan telepon yang masuk dariku---sesuatu yang sangat jarang terjadi kecuali dirinya sedang sibuk pemotretan. Selama ini, Pelita akan selalu menjawab teleponku meski dirinya sedang meeting atau setidaknya mengirimiku pesan jika dirinya sedang mengikuti kelas di kampus. Dan pagi ini Pelita benar-benar mengabaikannya. Aku juga sempat menelepon Arina dan memintanya menelepon Pelita. Arina menjawab teleponku pada dering percobaan kelima dengan suara serak khas bangun tidur. Siapa tahu Pelita akan merespons temannya, tapi sama saja, Pelita juga tidak mengangkat telepon gadis bersurai kecokelatan hasil pewarna rambut itu. Tanpa membuang-bu
Dua tahun yang lalu Tampilan sebuah layar plasma: Semua orang memiliki ketakutan terbesar masing-masing dalam hidupnya. Aku juga. Dan ketakutan terbesarku, adalah Mamaku. Bukan! Aku tidak benar-benar takut dengan Mama. Tapi aku merasa takut dengan kematiannya. Aku takut dengan apa yang menimpa Mama. Saat semua orang mengatakan Mama meninggal karena bunuh diri---bahkan Papa, laki-laki yang sangat dicintai Mama dan kepadanya Mama mengabdikan seluruh hidupnya, aku tidak mempercayainya. Aku tahu Mamaku. Dan Mamaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia adalah wanita paling baik yang pernah kutemui selama hidup. Mama yang cantik. Mama yang lemah lembut. Mama yang penuh kasih sayang. Mama yang penyabar. Mama yang perhatian. Mama adalah anugerah terbaik dari Tuhan yang pernah kupunya, juga terenggut dariku dengan begitu kejamnya. Hari itu usiaku masih tujuh belas tahun. Seorang siswi SMA. Hari di mana aku menemukan Mama sudah dalam kondisi tak bernyawa di kamarnya dengan tali ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.