Share

Bab 2

Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya.

"Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang.

"Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius.

"I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masih kotor ….," jelas si pelayan muda.

Wanita tua yang sudah mengabdi belasan tahun pada keluarga kaya itu menatap tepat ke wajah juniornya. Terlihat sekali bahwa dia sangat kesal dengan kinerja gadis berusia dua puluhan itu. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya beralih pandang ke putri sang majikan.

"Non Diva mau pakai sepatu yang pink?" tanya wanita tua bernama Maryam itu dengan lembut.

"Iya," jawab lugas anak itu.

"Bagaimana kalau warna sepatunya yang lebih serasi dengan baju yang sedang Non pakai sekarang aja? Biar terlihat lebih bagus," bujuknya. Namun sepertinya sia-sia. Anak itu tetap merajuk, tak mau menurut.

"Tapi aku mau yang pink, Bi'. Aku nggak mau yang lain!" bentaknya.

"Baiklah, kalau begitu biar bibi' bersihkan dulu sepatunya. Non Diva tunggu sebentar ya?"

"Nggak mau! Kelamaan! Aku maunya sekarang! Titik!" Teriakan anak itu justru makin keras, membuat Maryam panik seketika. Wajahnya pun mulai pucat saat kemudian muncul sesosok pria gagah berwajah rupawan dengan balutan setelan jas bernuansa abu gelap memasuki ruangan. Wajah pelayan muda yang sedari tadi hanya menunduk pun tak kalah pucatnya.

"Ada apa ini?!" tanya pria pemilik suara bariton itu dengan nada tinggi. Raut mukanya menampakkan ketidak-sukaan melihat wajah putri semata wayangnya cemberut.

"Ma-afkan saya, Pak Abi. Non Diva ingin memakai sepatu pink-nya yang masih kotor. Saya belum sempat mencucinya Pak, maafkan saya," ujar Maryam dengan terbata.

"Terus kenapa? Kamu kan bisa bersihin sepatu itu sekarang, Bi'. Anakku pengen pakai itu, ya ikuti saja apa maunya. Kerja kayak gini aja apa kalian nggak bisa?!" Kalimat bernada bentakan itu membuat nyali dua asisten rumah tangga itu langsung ciut.

"Ma-maaf, Pak. Baik, akan saya cuci segera." Maryam tak berani membantah. Dia langsung bangkit dan bermaksud meninggalkan ruangan.

"Kerja gitu aja nggak becus!" Masih terdengar oleh telinga tuanya bahwa pria itu kembali mengumpat.

"Tapi, Pak …." Berbeda dengan Maryam yang langsung melangkahkan kaki, si pelayan muda justru terkesan ingin membela diri. Melihat gelagat itu, Maryam segera mengurungkan niatnya pergi dari ruangan itu dan bermaksud mencegah juniornya melakukan hal konyol.

"Baik Pak, akan segera kami bersihkan. Ayo kita ke bawah!" ajaknya.

"Cepatlah! Jangan sampai kalian membuat anakku menunggu," kata ketus pria itu. "Dan kamu! Sudah berapa lama kamu kerja di sini?!" Dengan geram pria itu menatap si pelayan muda. "Kerja Kamu nggak beres. Kamu dipecat hari ini!" lanjutnya dengan gusar.

"Ta-pi Pak, Saya …." Seolah tak terima dengan keputusan tuannya, wanita muda itu terlihat maju satu langkah untuk memprotes. Tapi sebelum dia sempat melanjutkan kalimatnya, pria bernama lengkap Abidzar Aidan Adhitama itu sudah mendahuluinya berucap.

"Aku tidak pernah menerima alasan untuk kesalahan apapun. Tinggalkan rumah ini segera! Bi', kamu urus pesangon untuknya!" perintahnya pada Maryam. Tanpa bisa membantah, pelayan senior itu pun hanya bisa mengangguk patuh pada perintah sang majikan.

*****

Satu jam lamanya Abidzar terpaksa harus menunda keberangkatan ke kantor hanya karena harus menunggui putri kecilnya yang sedang merajuk, hingga sepatu yang diinginkannya kembali bisa dipakai.

Setengah jam perjalanan dengan salah satu koleksi mobil mewahnya, barulah lelaki dengan garis wajah tegas dan sorot mata tajam itu tiba di salah satu gedung perkantoran pencakar langit di pusat kota.

Melihatnya turun dari mobil, seorang petugas keamanan langsung sigap menggantikan posisi untuk memarkirkan kendaraannya itu di tempat khusus. Sementara seorang petugas lainnya segera meraih tas kerja dan mengiringi langkah sang bos memasuki gedung 15 lantai yang merupakan kantor resmi Three Vibes Holdings dimana lebih dari 60 persen sahamnya adalah milik pribadi Abidzar.

Salah satu orang kepercayaan menyambutnya di lobby dan segera pula mengikuti langkahnya menuju lift dengan mulut berkomat-kamit mengucapkan sesuatu.

"Hari ini ada meeting jam sembilan dengan divisi marketing, Pak. Lalu jam satu, bapak sudah harus ada di Hotel El Amor untuk bertemu klien dari Jepang," jelas lelaki berperawakan tambun itu sambil terengah , mengimbangi langkah kaki jenjang sang bos. Lelaki berambut klimis itu bermaksud melanjutkan kalimatnya usai menghela nafas sejenak, tapi Abidzar ternyata mendahuluinya.

"Kenapa kamu yang membacakan jadwalku, Steve? Kemana Sheila?"

"Sekretaris pribadi Anda sedang ijin hari ini, Pak. Dia sakit," jawabnya dengan buru-buru.

"Sheila sakit?" Dahi Abidzar berkerut. Tapi sejurus kemudian, dia menyunggingkan senyum miringnya yang meremehkan. Baru sebulan bekerja dengannya, wanita seksi dengan rambut diwarna pirang itu sudah ambruk.

'Wanita lemah,' batin Abidzar sinis.

"Kirim surat pemecatan untuknya hari ini dan carikan aku sekretaris baru secepatnya!" perintahnya tanpa basa-basi.

Steven Chaniago terbengong. "Ta-pi, Pak …." Orang berstatus paling dekat dengan Abidzar di kantor itu nampak ingin memberi penjelasan. Namun seperti biasa, raut muka sang bos menyiratkan ketidak-sukaannya.

"Steve, kamu tau kan aku paling nggak suka kata 'tapi'?" Mata tajam itu menatap tepat pada bawahannya.

"Iy-ya, Pak. Maafkan saya," sesal Steve.

"So, do it! Don't talk too much!"

Lelaki berusia nyaris kepala empat itu nampak menghembuskan nafas pelan dan hati-hati. Tentu dia tak ingin dilihat sedang mengeluh oleh atasannya yang berdiri dengan gusar di sebelahnya. Keringat pun segera bercucuran di balik kemeja Steve, padahal di dalam lift itu suhunya sangatlah dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status