Share

Bab 5

Kacau!

Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.

Pertemuan tak sengaja dengan pria dari masa lalu membuatnya kehilangan konsentrasi. Dan parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar.

'Ini gila!' rutuknya dalam hati.

Belasan tahun telah berlalu, namun pesona seorang Abidzar nyatanya masih bisa mempengaruhinya sedalam itu.

Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Optimismenya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu sekarang hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview super kacaunya itu.

Hilang sudah harapannya untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya selama ini. Walau sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak putus harapan.

Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada wawancara kerja istrinya hari itu. Wanita itu jarang bisa menyembunyikan warna hatinya dan Dhimas tahu saat melihatnya pulang dengan wajah tertekuk, maka sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.

Dhimas mengenal Binar sebagai sosok yang sangat ekspresif. Dia bisa menggambarkan saat-saat sedih atau bahagia dengan cara yang gampang ditebak. Dan langkah kaki Binar yang terlihat begitu berat menapaki rerumputan halaman rumah mereka, menggambarkan jelas pada Dhimas bagaimana hasil dari usahanya hari itu.

"Gimana, Sayang?" Pertanyaan basa-basi yang meluncur dari mulut suaminya, membuat Binar teringat kembali untuk mengambil nafas panjang. Lalu dengan gontai, wanita itu menuju sofa ruang tamu dan mendudukkan diri dengan lemas di sana.

"Nggak diterima deh Mas kayaknya."

"Masa'? Perusahaan mana yang sebodoh itu menolak untuk mempekerjakan istriku?" Dhimas ikut duduk di samping Binar setelah sebelumnya mengambilkan sebotol air mineral dingin dari lemari es di dapur.

Binar sangat tahu kalimat seperti itu memang selalu digunakan suaminya untuk menghiburnya saja. Dhimas selalu tahu bagaimana harus bersikap saat istrinya itu sedang merasa sedih.

"Sudah, jangan sedih dong. Tuh diliatin Aaron," tunjuk Dhimas pada buah hati mereka yang sedang bermain di lantai.

"Nggak sedih juga sih Mas sebenarnya. Cuma sayang aja, soalnya itu perusahaan paling bonafit yang aku masuki lamaran. Kalau bisa diterima disitu, pasti kelar semua masalah kita." Binar menghembuskan nafas panjang, lalu beranjak bangkit.

"Ntar ya Mas, aku ke kamar dulu. Mas udah makan belum?"

"Belum. Kan nungguin kamu pulang."

"Aaron juga belum makan?"

"Sudah. Tadi sudah aku suapin. Habis banyak kok makannya."

"Ya udah kalau gitu. Aku ganti baju dulu, habis itu kita makan ya, Mas?"

"Iyaa. Senyum dulu dong tapi," canda Dhimas seperti biasa.

Dan Binar pun dengan terpaksa memunculkan wajah badutnya di hadapan suaminya. Selalu saja seperti itu, berpura-pura tersenyum padahal hatinya sedang sangat kacau.

*****

Beberapa menit menikmati kebersamaan makan siangnya dengan Dhimas tanpa suara di meja makan, tiba-tiba ponsel yang diletakkannya di samping piring makan berbunyi. Nomor tidak dikenal. Tapi terlihat deretan angka dari nomor lokal. Siapa?

Ditelannya makanan yang masih lumayan banyak di mulut dengan susah payah sebelum akhirnya Binar mengangkat panggilan itu.

"Ya?" sapanya.

"Dengan Kak Binar Kanaya Shasmita?" Suara seksi dan formal seorang wanita dari seberang telepon.

"Betul, saya sendiri."

"Kami dari Three Vibes Holdings, ingin mengucapkan selamat karena anda telah diterima bekerja pada perusahaan kami, Kak. Dan silahkan datang ke kantor kami di bagian HRD besok pagi untuk menandatangani perjanjian kontrak kerjanya."

"Apa? Saya? Maaf, tapi anda tidak sedang salah orang kan?"

Entah harus bahagia atau kaget. Namun Binar merasa sedikit aneh kenapa dia bisa menerima telepon dari perusahaan elit itu yang mengabarkan bahwa dirinya diterima bekerja di sana.

'Ini pasti salah,' pikirnya.

"Nama yang saya sebutkan di awal tadi benar Anda kan, Kak?" tanya si wanita di seberang sana setelah terdiam beberapa saat.

"Iya, benar itu nama saya."

"Tanggal lahir 12 November?"

"Benar."

"Alamat di jalan perisai raya nomor 40?"

"Iya, itu alamat saya."

"Berarti kami tidak salah. Sekali lagi selamat, Kak Binar. Kami tunggu kehadiran Anda besok pagi," kata si wanita di telepon. Dan kali ini dengan nada lebih ramah dari saat awal menelpon.

Binar masih terpaku di kursinya setelah sambungan telepon itu terputus. Sementara di kursinya, Dhimas terlihat mengerutkan dahi.

"A-ku diterima kerja, Mas." Ucapannya seperti tercekat, tidak percaya.

"Benarkah?" Senyum Dhimas mulai mengembang terpaksa di bibirnya yang masih mengunyah makan siangnya. Sejujurnya dia sangat heran dengan kabar itu karena biasanya gambaran wajah Binar tidak pernah salah. Jika dia sedih, maka sebenarnya itulah yang sedang terjadi padanya. Namun kesedihan istrinya kali ini ternyata sepenuhnya tidak beralasan.

*****

Sementara itu, empat jam sebelumnya, di ruang kerjanya yang super mewah bernuansa dark grey, Abidzar berdiri terdiam memandang jauh ke luar dinding kaca besar yang mengelilingi ruangan itu. Pemandangan yang paling dia sukai selama ini. Gedung-gedung pencakar langit di depannya membuatnya merasa seolah sedang berada di angkasa tanpa batas.

Tak lama kemudian, dia pun melangkah menuju meja kerjanya, menekan sebuah tombol di saluran internal yang menghubungkan antar bagian di kantornya.

Dari seberang, didengarnya suara Stephen Chaniago yang seperti biasa, sedikit gugup.

"Bagaimana rekrutmen karyawan baru hari ini?"

"Masih berlangsung, Pak," jawab Steve singkat. Untung saja dia telah menyempatkan diri mampir ke ruangan interview sebelum masuk ke ruang kerjanya. Jika tidak, dia pasti akan salah menjawab pertanyaan dari sang bos dan sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi setelahnya.

"Aku mau seorang wanita bernama Binar untuk ditempatkan di posisi sekretaris menggantikan sekretaris lamaku." Kalimat itu terdengar sangat memerintah. Tapi tentu tidak terlalu mengagetkan untuk Steve.

"Binar? Siapa dia, Pak?" tanya pria bertubuh kurus tinggi itu.

"Pergilah ke ruang interview dan temukan dia untukku."

"Baik, Pak."

Stephen Chaniago pun segera menuju ke ruang interview dimana masih sedang berlangsung sesi wawancara untuk beberapa calon karyawan baru di perusahaan itu. Namun tak berapa lama kemudian, Steve ke luar dengan tergesa dari ruangan dan segera menghubungi ponsel pribadi bosnya.

"Maaf Pak, tapi nama yang Anda sebutkan tadi melamar untuk posisi administrasi, bukan sekretaris," jelasnya di telepon setelah Abidzar mengangkatnya.

"Steve!" panggil si bos dari seberang.

"Ya, Pak?"

"Apa aku harus mengajarimu lagi bagaimana caranya bekerja denganku?" Nada bicara yang sangat dingin, dan Steve tahu apa artinya.

"Baik, Pak. Ma-afkan saya. Saya mengerti. Akan segera saya urus."

"Good! Siapkan kontrak kerjanya secepatnya. Aku mau dia sudah ada di sini besok pagi."

"Baik, Pak."

Steve pun kembali lagi ke ruang interview. Lalu terlihat membisikkan sesuatu pada kepala HRD yang sedang berada di ruangan itu mengawasi jalannya wawancara.

Gemma, Wanita berusia hampir paruh baya yang telah bertahun-tahun menjabat kepala HRD itu nampak menarik nafas berat. Mengamati foto di resume wanita bernama Binar Kanaya Shasmita. Dia adalah wanita yang sangat beruntung rupanya. Hasil interviewnya yang begitu buruk tak bisa membuatnya gagal mendapatkan pekerjaan.

Bagi Gemma, peristiwa semacam itu sebenarnya sudah tidak asing baginya. Abidzar, bos besarnya itu, memang tidak akan pernah gagal mendapatkan keinginannya. Entah apa hal istimewa yang dilihat dari wanita bernama Binar itu sebenarnya, hingga membuat bosnya memberikan posisi tanpa melihat kemampuannya. Bahkan setahu Gemma, penampilan Binar bukan lah tipe yang disukai oleh sang bos. Gemma pun mulai menyimpulkan sendiri bahwa kemungkinan besar Binar sudah berhasil menaklukkan pria kaya raya itu. Mungkin saja di ranjangnya, hingga kemudian dia bisa mendapatkan posisinya saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status