FANISA POV
~Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.Hatiku kembali berdenyut.Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.Drrrt Drrrt Drrt.Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik."Halo?" jawabku lesu."Bu, hari ini ada klien yang mau ketemu. Mau bicarakan rancangan gaun untuk acara akad nikah dan resepsi," ucap Tia di ujung telepon.Kuhembus napas kasar. "Bilang saja saya tidak ke butik hari ini," jawabku kemudian."Ibu mau membatalkan lagi?" tanya Tia lagi."Iya.""Tapi ... ini sudah klien ke sepuluh lho yang Bu Fanisa tolak.""Saya sedang tidak ingin diganggu, Ya!" tegasku pada Tia."B-baik, Bu ....""Jaga butik dengan baik. Saya belum bisa ke sana. Kalau ada yang mau konsul lagi, bilang saja saya sibuk dan sedang tidak ingin diganggu.""E ... iya, iya. Baik, Bu.""Hmmm."Panggilan dengan Tia selesai. Layar ponselku kembali menggelap. Kuhempas begitu saja benda pipih tersebut di atas karpet yang menjadi alasku duduk.Sudah lima hari aku berdiam di dalam kamar. Pekerjaanku di butik sampai terbengkalai semua. Aku sudah kehilangan pemasukan bernilai puluhan juta, karena kerjasama yang dibatalkan. Aku tidak akan bisa bekerja, saat hati dilanda gundah seperti sekarang.Aku masih betah duduk sambil memeluk kedua lutut seperti saat ini. Memandangi akuarium bulat berisi sepasang ikan hias di dalamnya.Hanya seperti ini yang kulakukan sejak pulang dari Surabaya. Hanya seperti ini kegiatanku setelah tahu Mas Rafka mengkhianatiku. Sungguh, aku kehilangan gairah dalam hidup ini.Aku memang memintanya pergi. Aku telah mengusirnya dari rumah yang susah payah kami bangun bersama. Aku juga memang membenci apa yang sudah dia lakukan terhadap pernikahan ini.Tapi ternyata, aku tidak bisa menghapus tentangnya begitu saja dalam hati ini.Kenyataannya, aku tidak mampu melupakan Mas Rafka. Kebersamaan yang kami lalui, terlalu indah untuk dilupakan. Namun juga, terlalu sakit untuk terus dikenang.Seharusnya pun, aku sudah mendaftarkan gugatan ceraiku terhadapnya. Sehingga kami bisa lebih cepat berpisah dan mengakhiri hubungan ini. Karena saat pergi, Mas Rafka belum menjatuhkan talaknya.Namun, aku sendiri bahkan tak sanggup keluar dari rumah ini. Aku merasa kerdil dan kehilangan pegangan setelah Mas Rafka pergi.Aku takut menghadapi dunia. Aku tak mampu melewati hari-hariku sebagaimana biasanya. Aku tak sanggup dan aku rapuh.Bang Elang yang seharusnya sudah kembali. Justru menghilang tanpa kabar. Bahkan, aku menunggu saat dia membawa Mas Rafka kembali ke hadapanku. Membuatnya berlutut dan memohon agar aku kembali. Lalu di saat itu, aku akan melupakan perjanjian pernikahan kami. Karena semua tak lagi penting setelah hari ini. Seluruh harta benda ini seakan tak bernilai tanpa dia bersamaku.Aku justru akan memberinya pilihan andai Bang Elang berhasil membawa Mas Rafka kembali ke hadapanku. Karena aku, tak mampu sendiri. Aku mandiri secara finansial, tapi semua tak akan pernah menjadi sempurna tanpa Mas Rafka.Hatiku kembali menangis.Kenapa semua ini harus terjadi padaku?"Ah ...." Aku mendesah. Merasakan nyerinya hati yang berdenyut.Drrt Drrt Drrrt!Ponselku kembali berbunyi disertai vibrasinya. Hingga dengan malas, tanganku terulur mengambilnya. Berharap Bang Elang yang mengabariku. Namun ternyata bukan. Ponselku berbunyi karena sebuah jadwal pengingat."Tahun meninggalnya Ibu," ucapku membaca jadwal pengingat yang masih menyala.Lantas aku mematikan alarm ponsel. Kutarik napas dalam-dalam mengisi rongga dada. Peringatan hari meninggalnya ibu tahun ini tidak tepat. Karena rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja sekarang ini.Mengumpulkan segenap kekuatan, aku pun akhirnya bangkit. Kemudian bersiap untuk pergi ke makam.~"Assalamualaikum yaa ahlal kubur ...," ucapku sembari berjongkok di samping pusara berkepala nisan marmer hitam. Kubersihkan ranting serta dedaunan yang jatuh di atas badan makam. Seluruh permukaan badan makam ini berselimutkan rumput Jepang.Kulakukan hal yang sama pada makam di sebelahnya. Setelah itu, kubacakan doa ziarah kubur. Lekas mengucurkan air mawar dan menaburkan bunga mawar hingga memenuhi bagian atas dua makam yang bersebelahan.Kubersihkan kepala nisan yang sedikit berdebu dengan tisu. Kemudian kuusap pelan kepala nisan di hadapanku saat ini."Bu, Fanisa datang. Tapi hari ini Fanisa datang sendiri. Tahun ini lain, Bu. Tidak ada Mas Rafka yang ikut bersama Fanisa ke makam Ibu dan adik hari ini ...," ucapku lirih.Air mataku kembali luruh di samping pusara Ibu. Mengingat setiap tahun, Mas Rafka tidak pernah absen menemaniku ke mari. Bahkan, dia yang selalu mengingatkan sehari sebelumnya. Dia yang juga memetik mawar-mawar putih di taman rumah kemudian dibuatnya menjadi taburan bunga serta buket kecil.Selama dua belas tahun, maka tahun inilah kedatanganku ke makam Ibu tanpa Mas Rafka. Lalu bagaimana aku bisa kuat untuk hari ini?Di samping makam Ibu, makam adikku bersemayam. Makam seorang bayi perempuan yang meninggal saat baru berusia enam bulan.Adikku lahir saat aku masih sekolah menengah pertama. Setelah kelahiran adikku itu, sikap Ayah berubah. Terutama pada Ibu. Bahkan sering kudengar, Ayah memaki-maki Ibu. Mengatai Ibu gendut. Dekil bahkan jelek. Ayah tak lagi berselera melihat Ibu. Di mata Ayah, ibu terlalu memuakkan.Hingga Ayah pergi meninggalkan aku, Bang Elang dan juga Ibu, setelah sehari sebelumnya Ayah membawa wanita muda dan cantik ke dalam rumah.Keadaan Ibu tidak stabil. Ibu lebih murung, tak banyak bicara dan kurang memperhatikan bayinya. Aku dan bang Elang mengurus adik kecil kami tanpa tahu apa-apa. Hingga satu hari adik kecil kami harus dilarikan ke rumah sakit karena seluruh tubuhnya panas lalu kejang. Nyawanya tidak lagi tertolong. Tuhan memanggil adik kecilku dan Bang Elang kembali ke pangkuan-Nya.Sejak kematian adik kecilku itu, Ibu sering sakit. Kondisinya semakin tidak stabil.Hari-hari sulit kulalui bersama abangku. Jatuh bangun hidup tanpa seorang Ayah dan mengurusi Ibu yang sakit-sakitan.Bang Elang bahkan sangat dekat dengan dunia malam. Sedangkan aku, tertolong karena memiliki Mas Rafka.Berbanding terbalik denganku yang besar di keluarga broken home. Mas Rafka justru berada di tengah-tengah keluarga yang begitu hangat, tulus, dan penuh cinta.Keluarga Mas Rafka sangatlah harmonis dan saling melindungi. Jika tidak bersama dengannya, mungkin masa-masa SMA-ku sangatlah suram. Mas Rafka dan keluarganya, bagai pelita yang menerangi jalan hidupku. Hingga aku lulus sekolah menengah atas. Ibu pun menyusul putri kecilnya.Pengkhianatan Ayah pada Ibu. Penderitaan Ibu hingga akhirnya tutup usia. Menjadikan alasan kuat bagiku untuk tidak ingin memiliki seorang anak.Aku tidak ingin berubah gendut. Aku tidak ingin terlihat jelek. Aku tidak ingin terlihat memuakkan di mata Mas Rafka. Aku tidak ingin kehilangan dia sama seperti saat ayah meninggalkan ibu yang tak menarik lagi di matanya.Apa itu salah?Apa itu satu kesalahan? Hingga Mas Rafka melakukan hal yang sama seperti Ayah.POV ELANGAku menatap pantulan wajahku di depan cermin oval. Kusentuh pipi sebelah kananku yang tak mulus. Terdapat bekas luka melintang di bawah kelopak mataku hingga mendekati telinga. Luka yang timbul karena tusukan pecahan beling yang begitu dalam menembus lapisan kulit pipiku. Begitu dalamnya tusukan itu, hingga mengubah rupa wajahku.Dari tahun ke tahun, bekas lukanya tidak kunjung hilang. Seperti yang dikatakan dokter bertahun-tahun yang lalu. Hingga aku harus menerima bekas luka ini tetap ada di pipiku.Kujauhkan telapak tangan dari pipi. Seiring mata yang memejam. Teringat saat perempuan yang ada di rumah yang sama dengan Rafka mengamuk. Histeris dan mengusirku pergi dari sana.Melihat perempuan itu begitu kacau saat memintaku pergi membuatku tak berdaya. Membuatku yang seharusnya menyeret Rafka, justru melupakan tujuan utama datang ke kota ini. Lalu menjauh dari rumah mungil itu.Bahkan kulihat dari jauh, perempuan itu tak sadarkan diri dalam dekapan Rafka yang bercucuran da
POV ELANGAku masih betah memandangi sepasang manik hazel di hadapanku saat ini. Tanganku bahkan telah menangkup kedua pipinya.Garis wajahnya, hidung mancung serta rambutnya yang ikal sebahu. Seperti aku sedang memandangi foto masa kecilku.Kulitnya yang hitam kecoklatan dan bibirnya yang tipis. Nyaris tidak diturunkan dari perempuan berwajah bak bulan purnama itu. Melainkan lebih condong sepertiku.Tanpa dikomando, tanganku tiba-tiba saja terulur membelai puncak kepalanya. Mengusapnya lembut hingga ujung rambutnya.Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Terasa menggetarkan dan menyeruak memenuhi hati ini. Rasa yang aku sendiri tidak mengerti."Hey!"Suara teriakan membuatku menoleh ke arah lobi rumah sakit.Anak kecil di pangkuanku itu, cepat-cepat menarik dirinya hingga akhirnya berdiri. "Om, sekali lagi aku minta maaf. Aku buru-buru karena ingin menemui Ibu," tukasnya seolah panik.Aku meraih tangannya dengan cepat. "Jangan takut. Om akan bicara dengan petugasnya," ucapku mencegah ke
"Rumah sakit jiwa?" gumamku dengan tangan terulur melayang tanpa sambutan. Rafka telah hilang dari pandangan mata. Dibawa lajunya mobil ambulance yang mulai menjauh dari gedung rumah sakit.Tanpa membuang waktu. Aku membawa kaki ini untuk berlari. Begitu lebar hingga akhirnya pun keluar melewati pagar rumah sakit.Kebetulan sekali, sebuah taksi melintas di depanku. Buru-buru aku menghentikannya dan duduk di kursi belakang."Ikuti ambulans di depan sana, Pak!" titahku segera.Sopir taksi tak banyak bertanya. Mobil seketika kembali melaju membelah jalanan lengang pagi hari. Di dalam mobil, hati ini resah. Segala kemungkinan terlintas dalam benakku.Mungkinkah perempuan bernama Purnama itu sengaja merusak ketenangan rumah tangga Fanisa dan Rafka? Karena Purnama tahu, jika Fanisa adalah adikku. Mungkinkah Purnama sengaja melakukannya, sehingga dalam satu tembakan peluru, dia berhasil menghancurkan dua target sekaligus?Aku meremas rambutku kasar seraya mendengkus. Aku pusing dengan apa ya
Malam menyapa. Bulan bersinar penuh di singgasananya.Aku sudah kembali berada di dalam rumah sakit jiwa. Mengenakan sweater dan juga masker penutup wajah. Aku berjalan seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan para pekerja di sini.Langkahku berhenti tepat di depan kamar yang diisi Purnama. Terlebih aku mendengar suara Rafka dari dalam sana.Aku mendekatkan tubuhku pada tembok. Mengintip dari celah tralis besi ke arah dalam. Ranjang itu masih ditempati Purnama. Perempuan itu nampak memejamkan matanya. Di sisi ranjang, terdapat Rafka duduk di dekat kepala Purnama. Sementara di hadapan Rafka, duduk seorang perempuan yang lebih tua darinya. Kutaksir usianya sudah sampai kepala lima. Namun masih terlihat sehat."Pak Rafka, saya Bu Rianti. Saya melakukan pendekatan pada pasien-pasien di sini dengan cara mendengarkan mereka. Berdasarkan laporan, Bu Purnama ini baru masuk hari ini dan keadaannya benar-benar kacau. Bahkan tadi pagi, ia sempat melakukan percobaan bunuh diri. Satu jam ya
POV FANISA—Bip Bip Bip!Ponselku berbunyi. Deretan pesan masuk, tertuju ke dalamnya. Aku menghentikan sejenak aktivitas di depan layar laptop. Meraih benda pipih di atas meja yang sama dengan laptop di hadapanku.Aku melihatnya malas. Namun, seketika pun terkesiap. Saat tahu yang mengirimkan pesan adalah Abangku.Kedua tangan memegangi ponsel. Lalu membuka satu demi satu pesan yang masuk dari Bang Elang dan membacanya dengan seksama.Keningku mengernyit. Kala pesan di urutan pertama memunculkan satu buah foto. Seseorang nampak tersungkur dengan seluruh badan tengkurap.Wajahnya nampak dari samping. Namun terlihat begitu jelas babak belur. Lebam dan bersimbah darah. Begitu juga kedua lengan yang dipenuhi luka. Kedua kakinya berada dalam keadaan terikat.Aku menatapnya lekat. Meski wajahnya dipenuhi luka, lebam, serta darah. Tapi aku bisa mengenalinya. Dari postur tubuh dan potongan rambutnya yang juga berlumur darah
Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan."Argh! Bang Elang ke mana?" tanyaku lirih seorang diri.Usai kepergian Mba Inayah dari ruangan kerjaku ini. Aku buru-buru menghubungi Bang Elang. Sudah hampir lima kali aku menghubungi nomornya. Namun selalu saja sama. Suara operator perempuan yang kudengar.Aku ingin memastikan keadaan Mas Rafka.Entah untuk apa.Namun setelah kepergian Mba Inayah dari hadapanku. Sejenak aku merenung. Aku pun teringat, bagaimana sebelum Mas Rafka menerima keputusanku untuk tidak memiliki anak, ia selalu membujuk dan meyakinkan bahwa kehidupanku akan tetap baik-baik saja setelah memiliki buah hati.Aku pun merasa ditarik oleh memori. Bagaimana sejak masa SMA, keluarga Mas Rafka begitu menerimaku. Mereka sangat terbuka, merangkul serta memberiku rasa nyaman. Keluarga besar Mas Rafka begitu harmonis. Aku seperti memiliki keluarga yang utuh saat berada bersama mereka.Aku mendesah mengingat masa-masa silam. Rasa nyeri semakin menyebar dan menggerogoti
Tok Tok Tok!Kriet!Baru saja tanganku akan membuka salah satu amplopnya, pintu ruangan diketuk dan dibuka seketika. Membuatku menoleh ke arah pintu di mana Helena muncul."Maaf, Bu. Tia tadi menyusul dan meminta Ibu segera ke butik," jelasnya di ambang pintu sana.Aku pun hanya mengangguk. Lantas bangkit seraya memasukkan amplop tadi ke dalam tas. Kubawa kaki melangkah menuju pintu hingga keluar.Helena telah berjalan lebih dulu meninggalkanku di depan ruang kerja Mas Rafka. Kuusap sudut-sudut mataku bergantian, memastikan tidak ada jejak air mata yang tertinggal. Lepas itu, barulah aku melangkahkan kaki menjauh dari pintu ruangan kerja di belakangku. Melewati kembali meja bundar yang hanya diisi Helena dan Aldi."Maaf, Bu. Kalau boleh tahu, Pak Bos ke mana?" tanya Aldi yang berhasil menghadang langkahku.Lelaki yang merupakan orang kepercayaan Mas Rafka di kantor ini berdiri menjulang di depanku. Kepalaku bahkan sampai
Tapi Mas Rafka sudah terkapar di tangan Bang Elang.Akh, aku tak mengerti.Aku hanya bisa menikmati kembali pemandangan yang indah antara Ibu dan anak di hadapanku saat ini."Fanisa, apa kabar?" Suara lelaki membuatku menoleh. Hingga mataku menangkap sosok suami Sabia, memasuki ruang kerjaku ini.Aku memaksakan senyum di bibir. "Aku baik. K-kamu?" jawab serta tanyaku."Aku juga baik. Rafka ke mana? Aku gak lihat dia ada di sini," jawab serta tanya Arda yang kemudian menghempas bobotnya di sisi Sabia. Arda meraih tubuh putra lelakinya dari Sabia."Emm ... Mm?mas Rafka ada pekerjaan," jawabku sesantai mungkin. Menutupi yang sebenarnya terjadi dari mereka."Quenara gak ikut?" tanyaku mengalihkan pembicaraan."Quenara sama Oma-nya, udah besar dia. Udah gak mau buntutin Mami Papinya," kekeh Sabia yang diikuti anggukan kepala oleh sang suami. Aku pun hanya mengangguk kecil.