Share

PRS - 7

FANISA POV

~

Kutatap ponsel meski layarnya hanya gelap. Memantulkan wajahku yang kumal dan lusuh. Hingga tidak ada tanda-tanda ponselku ini menyala. Akhirnya kugenggam dengan menurunkan tangan yang mendekap erat lututku.

Kuhembus napas kasar. Sudah lima hari berlalu, tapi Bang Elang justru tidak ada memberi kabar sama sekali. Hanya kabar terakhir darinya, yang memberitahuku bahwa ia akan langsung bertolak ke Surabaya setelah kukirimkan alamat perempuan itu.

Perempuan yang Mas Rafka panggil dengan nama Purnama. Entah siapa perempuan itu. Namun, tak bisa kupungkiri. Jika namanya memang secantik paras pemiliknya.

Hatiku kembali berdenyut.

Kugelengkan kepala dengan cepat. Mengenyahkan kilasan kejadian saat aku bertemu perempuan itu pertama kalinya. Perempuan yang membuat kepercayaanku terhadap Mas Rafka pecah terbelah dan tak berbentuk lagi.

Drrrt Drrrt Drrt.

Ponsel di genggaman tangan bergetar. Aku pun mengangkatnya berada di hadapanku. Panggilan masuk dari Tia—karyawan butik.

"Halo?" jawabku lesu.

"Bu, hari ini ada klien yang mau ketemu. Mau bicarakan rancangan gaun untuk acara akad nikah dan resepsi," ucap Tia di ujung telepon.

Kuhembus napas kasar. "Bilang saja saya tidak ke butik hari ini," jawabku kemudian.

"Ibu mau membatalkan lagi?" tanya Tia lagi.

"Iya."

"Tapi ... ini sudah klien ke sepuluh lho yang Bu Fanisa tolak."

"Saya sedang tidak ingin diganggu, Ya!" tegasku pada Tia.

"B-baik, Bu ...."

"Jaga butik dengan baik. Saya belum bisa ke sana. Kalau ada yang mau konsul lagi, bilang saja saya sibuk dan sedang tidak ingin diganggu."

"E ... iya, iya. Baik, Bu."

"Hmmm."

Panggilan dengan Tia selesai. Layar ponselku kembali menggelap. Kuhempas begitu saja benda pipih tersebut di atas karpet yang menjadi alasku duduk.

Sudah lima hari aku berdiam di dalam kamar. Pekerjaanku di butik sampai terbengkalai semua. Aku sudah kehilangan pemasukan bernilai puluhan juta, karena kerjasama yang dibatalkan. Aku tidak akan bisa bekerja, saat hati dilanda gundah seperti sekarang.

Aku masih betah duduk sambil memeluk kedua lutut seperti saat ini. Memandangi akuarium bulat berisi sepasang ikan hias di dalamnya.

Hanya seperti ini yang kulakukan sejak pulang dari Surabaya. Hanya seperti ini kegiatanku setelah tahu Mas Rafka mengkhianatiku. Sungguh, aku kehilangan gairah dalam hidup ini.

Aku memang memintanya pergi. Aku telah mengusirnya dari rumah yang susah payah kami bangun bersama. Aku juga memang membenci apa yang sudah dia lakukan terhadap pernikahan ini.

Tapi ternyata, aku tidak bisa menghapus tentangnya begitu saja dalam hati ini.

Kenyataannya, aku tidak mampu melupakan Mas Rafka. Kebersamaan yang kami lalui, terlalu indah untuk dilupakan. Namun juga, terlalu sakit untuk terus dikenang.

Seharusnya pun, aku sudah mendaftarkan gugatan ceraiku terhadapnya. Sehingga kami bisa lebih cepat berpisah dan mengakhiri hubungan ini. Karena saat pergi, Mas Rafka belum menjatuhkan talaknya.

Namun, aku sendiri bahkan tak sanggup keluar dari rumah ini. Aku merasa kerdil dan kehilangan pegangan setelah Mas Rafka pergi.

Aku takut menghadapi dunia. Aku tak mampu melewati hari-hariku sebagaimana biasanya. Aku tak sanggup dan aku rapuh.

Bang Elang yang seharusnya sudah kembali. Justru menghilang tanpa kabar. Bahkan, aku menunggu saat dia membawa Mas Rafka kembali ke hadapanku. Membuatnya berlutut dan memohon agar aku kembali. Lalu di saat itu, aku akan melupakan perjanjian pernikahan kami. Karena semua tak lagi penting setelah hari ini. Seluruh harta benda ini seakan tak bernilai tanpa dia bersamaku.

Aku justru akan memberinya pilihan andai Bang Elang berhasil membawa Mas Rafka kembali ke hadapanku. Karena aku, tak mampu sendiri. Aku mandiri secara finansial, tapi semua tak akan pernah menjadi sempurna tanpa Mas Rafka.

Hatiku kembali menangis.

Kenapa semua ini harus terjadi padaku?

"Ah ...." Aku mendesah. Merasakan nyerinya hati yang berdenyut.

Drrt Drrt Drrrt!

Ponselku kembali berbunyi disertai vibrasinya. Hingga dengan malas, tanganku terulur mengambilnya. Berharap Bang Elang yang mengabariku. Namun ternyata bukan. Ponselku berbunyi karena sebuah jadwal pengingat.

"Tahun meninggalnya Ibu," ucapku membaca jadwal pengingat yang masih menyala.

Lantas aku mematikan alarm ponsel. Kutarik napas dalam-dalam mengisi rongga dada. Peringatan hari meninggalnya ibu tahun ini tidak tepat. Karena rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja sekarang ini.

Mengumpulkan segenap kekuatan, aku pun akhirnya bangkit. Kemudian bersiap untuk pergi ke makam.

~

"Assalamualaikum yaa ahlal kubur ...," ucapku sembari berjongkok di samping pusara berkepala nisan marmer hitam. Kubersihkan ranting serta dedaunan yang jatuh di atas badan makam. Seluruh permukaan badan makam ini berselimutkan rumput Jepang.

Kulakukan hal yang sama pada makam di sebelahnya. Setelah itu, kubacakan doa ziarah kubur. Lekas mengucurkan air mawar dan menaburkan bunga mawar hingga memenuhi bagian atas dua makam yang bersebelahan.

Kubersihkan kepala nisan yang sedikit berdebu dengan tisu. Kemudian kuusap pelan kepala nisan di hadapanku saat ini.

"Bu, Fanisa datang. Tapi hari ini Fanisa datang sendiri. Tahun ini lain, Bu. Tidak ada Mas Rafka yang ikut bersama Fanisa ke makam Ibu dan adik hari ini ...," ucapku lirih.

Air mataku kembali luruh di samping pusara Ibu. Mengingat setiap tahun, Mas Rafka tidak pernah absen menemaniku ke mari. Bahkan, dia yang selalu mengingatkan sehari sebelumnya. Dia yang juga memetik mawar-mawar putih di taman rumah kemudian dibuatnya menjadi taburan bunga serta buket kecil.

Selama dua belas tahun, maka tahun inilah kedatanganku ke makam Ibu tanpa Mas Rafka. Lalu bagaimana aku bisa kuat untuk hari ini?

Di samping makam Ibu, makam adikku bersemayam. Makam seorang bayi perempuan yang meninggal saat baru berusia enam bulan.

Adikku lahir saat aku masih sekolah menengah pertama. Setelah kelahiran adikku itu, sikap Ayah berubah. Terutama pada Ibu. Bahkan sering kudengar, Ayah memaki-maki Ibu. Mengatai Ibu gendut. Dekil bahkan jelek. Ayah tak lagi berselera melihat Ibu. Di mata Ayah, ibu terlalu memuakkan.

Hingga Ayah pergi meninggalkan aku, Bang Elang dan juga Ibu, setelah sehari sebelumnya Ayah membawa wanita muda dan cantik ke dalam rumah.

Keadaan Ibu tidak stabil. Ibu lebih murung, tak banyak bicara dan kurang memperhatikan bayinya. Aku dan bang Elang mengurus adik kecil kami tanpa tahu apa-apa. Hingga satu hari adik kecil kami harus dilarikan ke rumah sakit karena seluruh tubuhnya panas lalu kejang. Nyawanya tidak lagi tertolong. Tuhan memanggil adik kecilku dan Bang Elang kembali ke pangkuan-Nya.

Sejak kematian adik kecilku itu, Ibu sering sakit. Kondisinya semakin tidak stabil.

Hari-hari sulit kulalui bersama abangku. Jatuh bangun hidup tanpa seorang Ayah dan mengurusi Ibu yang sakit-sakitan.

Bang Elang bahkan sangat dekat dengan dunia malam. Sedangkan aku, tertolong karena memiliki Mas Rafka.

Berbanding terbalik denganku yang besar di keluarga broken home. Mas Rafka justru berada di tengah-tengah keluarga yang begitu hangat, tulus, dan penuh cinta.

Keluarga Mas Rafka sangatlah harmonis dan saling melindungi. Jika tidak bersama dengannya, mungkin masa-masa SMA-ku sangatlah suram. Mas Rafka dan keluarganya, bagai pelita yang menerangi jalan hidupku. Hingga aku lulus sekolah menengah atas. Ibu pun menyusul putri kecilnya.

Pengkhianatan Ayah pada Ibu. Penderitaan Ibu hingga akhirnya tutup usia. Menjadikan alasan kuat bagiku untuk tidak ingin memiliki seorang anak.

Aku tidak ingin berubah gendut. Aku tidak ingin terlihat jelek. Aku tidak ingin terlihat memuakkan di mata Mas Rafka. Aku tidak ingin kehilangan dia sama seperti saat ayah meninggalkan ibu yang tak menarik lagi di matanya.

Apa itu salah?

Apa itu satu kesalahan? Hingga Mas Rafka melakukan hal yang sama seperti Ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status