Share

PUSAKA PEDANG BATU SELEMBUR
PUSAKA PEDANG BATU SELEMBUR
Penulis: Titik Balik Author

1. PEDANG BATU SELEMBUR

Di bawah terik matahari yang membakar kulit. Kumpulan awan putih tipis membentuk barisan sejauh mata memandang, begitu indah dan mempesona. Sosok pria paruh baya yang seluruh rambutnya telah memutih itu, duduk bersila di atas sebuah batu besar. Kedua tangannya membentuk huruf O, dengan menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya.

Kedua matanya terpejam erat. Dia memfokuskan pikirannya pada satu titik buta. Tak ada yang mampu mengalihkan konsentrasinya dalam beberapa jam terakhir.

Tiba-tiba langit cerah, berubah gelap. Gumpalan awan putih, kini telah menghitam pekat. Angin yang berhembus pun sangat kencang, seolah badai besar akan datang.

Pepohonan mulai menari-nari mengikuti hembusan angin yang datang dari segala penjuru, sili berganti. Kendati suasana telah berubah mencekam, pria paruh baya itu tetap fokus dan tidak sedikitpun bergerak dari posisinya.

Detik demi detik berlalu, hingga berganti menit. Hembusan angin, kilat yang menyambar dan suara guntur saling menyahut, sama sekali tidak mengusik ketenangan pria paruh baya itu.

Hingga, sebuah batu berukuran dua kepalan tangan manusia, memancarkan cahaya merah menyala, seperti luapan lava pijar yang keluar dari perut bumi. Batu itu, melayang di udara, menghampiri pria sepuh itu, seolah sedang terpanggil.

Suhu batu tersebut sangatlah panas. Meskipun begitu, tidak terlihat asap yang mengepul dari batu itu. Adiwilaga pun membuka matanya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menangkap batu tersebut dalam genggamannya.

Bersamaan dengan suara petir yang menyambar, Adiwilaga menggunakan seluruh kekuatannya untuk mengubah batu tersebut menjadi sebuah senjata pusaka.

Ya, tidak dalam hitungan jam, batu tersebut pun telah berubah bentuk menjadi sebuah pedang dengan ukiran seperti sisik di bagian tengahnya.

Adiwilaga melompat ke udara. Berputar-putar mengikuti arah angin yang menghembus. Dalam waktu bersamaan, sebuah petir menyambar pedang tersebut. Seolah mengalirkan tenaga besar ke dalam pedang tersebut.

Adiwilaga menginjakkan kaki kembali ke tanah. Menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan. Dia menatap pedang yang berada dalam genggamannya itu.

"Senjata ini, akan membuat dunia persilatan gempar. Kebaikan akan melawan kejahatan. Namun, ia akan sangat mematikan, bilamana jatuh ke tangan yang salah," gumamnya, disertai rasa kekhawatiran yang sangat tinggi. Kendati demikian, ia masih memiliki harapan lain akan adanya kedamaian di masa depan.

***

Hari berikutnya.

"Hei kau, Pak Tua! Kalau kau ingin hidup, maka berikan senjata itu padaku!" seru pria bertubuh gagah, menggenggam sebuah pedang yang masih tersarung, di tangan kirinya.

Napasnya memburu, setelah bertukar beberapa jurus dengan pria paruh baya yang terkenal sebagai Mpuh Penempa Besi dari Desa Gala itu.

"Tidak akan kubiarkan, orang jahat seperti kalian menguasai benda pusaka ini! Pedang Batu Selembur, diciptakan bukan untuk melawan kebaikan, melainkan menghancurkan kebatila!"

Sementara itu, Adiwilaga tampak mulai kelelahan. Napasnya terengah-engah. Dia berdiri di atap rumahnya yang masih terbuat dari daun kelapa itu.

Entah sudah berapa banyak orang, yang datang sepagian ini, dengan tujuan ingin memiliki benda pusaka yang baru saja ia ciptakan itu. Belum ada satu hari, ternyata kabar ini telah menyebar seantero negeri.

"Orang-orang jahat, seperti kalian yang haus darah dan kekuasaan, tidak akan mampu menguasai pusaka ini!" lanjut Adiwilaga berseru lantang sambil mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi.

"Bedebah, kau! Tua bangka!" umpat pria itu, sangat kesal sambil membuang ludahnya ke sisi kiri.

Di waktu bersamaan, dia menarik pedangnya secara kasar. Membuang sarung itu, sembarang tempat, seolah benda tersebut tidak lagi digunakan. Selanjutnya ia menggunakan ajian meringankan tubuh. Melompat ke udara, melayang-layang sambil mengayunkan pedangnya cepat.

Ayunan pedang itu, mengandung tenaga dalam yang kuat, sehingga tercipta seperti gelombang angin, berpacu cepat, mengarah pada Adiwilaga di sana.

Hub ...

Adiwilaga juga mengayunkan pedangnya, tidak mau kalah di waktu bersamaan. Gelombang tenaga dalam yang dihasilkan dari benda pusaka yang diberi nama 'Pedang Batu Selembur ' itu, nyatanya lebih kuat dibandingkan dengan lawannya.

Gelombang angin yang tercipta dari ayunan pedang Batu Selembur, melesat cepat melewati pria itu.

Dwaaaarrrrr ...

Menghantam sebuah batang pohon di sana. Pohon tersebut tumbang dan terbakar. Ledakan yang besar membuat pria tersebut menjadi waspada. Dapat dibayangkan jika gelombang kekuatan tadi, mengenai tubuhnya? Kemungkinan besar ia akan bernasib sama dengan pohon tadi.

"Kekuatannya memang dahsyat, seperti yang dikabarkan. Aku harus memiliki pedang itu, bagaimanapun juga! Pusaka itu, akan membuatku menjadi pendekar tak tertandingi!"

Tekadnya untuk merebut pedang pusaka itu, semakin kuat, setelah melihat bagaimana kekuatan itu tercipta.

Benar kabar yang santar terdengar. Bahwa sebuah benda pusaka telah tercipta. Kekuatannya mampu meluluhlantakkan sebuah desa dengan satu kali ayunan saja.

Mungkin kabar burung itu, benar adanya. Dengan kata lain, ia harus hati-hati sekarang karena bisa saja kekuatan besar itu, balik melumpuhkannya tanpa kata ampun.

Pertarungan nyatanya masih belum usai. Setelah mengayunkan pedang dengan mengalirkan banyak tenaga dalam, membuat Adiwilaga kehilangan sebagian energinya.

Tenaganya hanya cukup untuk bertarung tiga sampai empat jurus lagi. Setidaknya akan cukup untuk melawan satu pria ini.

Pria itu kembali menyerang. Namun, kali ini jurus yang digunakannya berbeda dari yang sebelumnya.

Pedang miliknya melayang di udara dengan dibantu tenaga dalam. Telapak tangannya berada di ujung gagang pedang. Dia menjatuhkan tatapan tajam pada Adiwilaga di sana.

Hub ...

Dia mendorong pedang itu supaya melaju cepat ke arah lawannya. Adiwilaga telah siap dengan jurusnya.

CLANG!

Dua pedang itu saling membentur. Tekanan yang diberikan dari Pedang Batu Selembur mampu menangkis pedang sang lawan, hingga terpental cukup jauh, posisi masih melayang di udara hampa.

Pria itu berdecak kesal. Merasa geram dan sangat marah. Dia mengendalikan pedangnya dari jarak jauh. Sehingga benda tajam itu kembali berputar-putar di udara.

Adiwilaga berpindah tempat. Mengayunkan kakinya secepat mungkin. Berlari selagi bisa, sambil membawa benda pusaka yang baru diciptakannya itu.

Pedang Batu Selembur, harus dipertahankan sekuat tenaga. Menjaganya segenap jiwa, meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Saat melayang di udara, Adiwilaga melihat murid satu-satunya, yang sedang dikepung sekelompok orang memakai topeng tengkorak, hanya sebatas menutupi mata.

Adiwilaga tahu betul, muridnya itu memiliki fisik lemah dan tidak mampu bertarung layaknya seorang pendekar.

"Menyingkirkan kalian dari dia!" teriak Adiwilaga sambil mengayunkan pedangnya dengan sangat kuat. Seluruh tenaga ia kerahkan demi memastikan keselamatan sang murid.

"Guru Adiwilaga!" Ekawira tersentak kaget. Begitu juga dengan yang lain.

Hub ...

Bola cahaya berukuran sedang melesat cepat ke arah kelompok bertopeng itu. Mereka menoleh serentak. Namun, langkah yang diambil kalah cepat. Nyatanya seruan Ekawira tadi tidak mampu menyelamatkan mereka.

Bola cahaya itu menghantam tubuh mereka. Termasuk Ekawira. Murid kesayangan Adiwilaga, yang memang tidak paham cara melindungi diri dari serangan.

Fokus Adiwilaga pun terpecah belah, antara menyelamatkan nyawanya dan Ekawira, dari mereka yang berniat buruk, sekaligus mempertahankan Pedang Batu Selembur.

Pendekar aliran hitam yang datang, mereka para pembunuh bayaran yang kerap kali disewa oleh petinggi kerajaan untuk menjaga sesuatu wilayah. Adiwilaga mengenal mereka, meski tidak secara personal.

Yaaaacccchhhhh!!!

Ayuna pedang datang dari arah belakang. Pria itu menyerang saat Adiwilaga kehilangan konsentrasinya. Mengayunkan pedangnya dan mengenai punggung Adiwilaga.

Pria paruh baya itu, langsung berbalik badan. Menggenggam erat Pedang Batu Selembur dengan kedua tangan, lalu mengayunkannya sangat kuat.

Sang lawan yang terkena gelombang energi dari Pedang Batu Selembur pun, terpental jauh. Senjatanya lepas dari tangan dan jatuh ke tanah. Tak berselang lama, dia pun tersungkur setelah menghantam sebuah pohon besar.

Benturan keras membuat pohon tersebut roboh.

Adiwilaga segera menghampiri Ekawira yang terkapar tak sadarkan diri. Dia dapat melihat empat pendekar bertopeng itu, juga mengalami hal yang sama dengan Ekawira.

Adiwilaga menempelkan dua jarinya tepat di leher Ekawira, "dia harus segera diobati, atau nyawanya dalam bahaya."

Pria paruh baya itu, dapat merasakan, denyut nadi Ekawira sangat lemah untuk sekarang ini. Napas pun tidak stabil.

Adiwilaga menggendong tubuh Ekawira dengan kedua tangan dan sisa tenaga yang ada. Sedangkan Pedang Batu Selembur, ia selempangkan di bahu. Selanjutnya, melompat ke udara, mengayunkan kakinya secepat mungkin, pergi dari tempat yang kedamaiannya telah terusik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status